Pages

Kamis, 14 Maret 2013

Di Balik Garis Batas

Kisah Penghuni Garis Batas yang Dituduh Melakukan Kejahatan Serius di Timor Leste

oleh: Henry Adrian

Sore itu Maternus Bere merasa was-was. Belum lama anggota intelijen datang ke rumah Komandan Kompi Laksaur Kota Suai ini. Intelijen Kodim Suai tersebut mengatakan jika rumah Maternus hendak diserang.


Maternus Bere, mantan Komandan Kompi Laksaur Kota Suai. (Henry Adrian)

Laksaur adalah kelompok milisi utama di Covalima, Timor Leste. Menjelang Jajak Pendapat 1999, banyak kelompok milisi yang bermunculan di Timor Leste. Kelompok yang berpihak pada Indonesia tersebut sering dianggap bertanggungjawab atas pelanggaran HAM yang banyak terjadi di Timor Leste sekitar periode Jajak Pendapat.
Kekhawatiran Maternus ini bertambah saat ia ingat jika senapannya sudah ditarik oleh Olivio Mendonza, Komandan Bataliyon Laksaur. Penarikan ini dilakukan beberapa hari sebelum Jajak Pendapat atas perintah Kodim Suai. Sebelumnya, Maternus sempat membawa senapan G3 dan SKS.

Rabu, 13 Maret 2013

Tanpa Gereja, Tanpa Negara

“Kami tidak melakukan kriminalitas, kami hanya mau beribadah.”

oleh: Henry Adrian

“Hoi! Pulang hoi!” teriak puluhan orang yang menghadang jemaat HKBP Filadelfia pada awal November 2012 lalu. Penghadangan ini selalu terjadi tiap minggu, saat jemaat HKBP Filadelfia hendak melakukan kebaktian di depan lokasi tanah gereja mereka yang disegel Pemda Bekasi.

Jemaat HKBP Filadelfia dihadang sekelompok massa saat hendak beribadah di depan lokasi tanah gereja mereka 
yang disegel Pemda Bekasi. (Henry Adrian)
Palti Panjaitan, Pendeta HKBP Filadelfia, berada di baris depan jemaatnya. Ia hanya bisa tertunduk sabar
di atas motornya sembari mendengarkan berbagai cemooh yang diteriakkan massa penghadang. (Henry Adrian)
Jemaat HKBP Filadelfia berfoto bersama usai melakukan kebaktian bersama GKI Yasmin di depan Istana Negara, Jakarta. (Henry Adrian)
Massa penghadang ini terdiri dari orang-orang muda dan tua. Berbagai cemooh mereka teriakan pada puluhan jemaat HKBP Filadelfia yang hanya bisa tertahan di jalan dan tidak bisa melaksanakan kebaktian. “Masuk neraka kalian nanti!” teriak salah seorang perempuan muda pada jemaat.
“Kita bukannya tidak toleran, tapi kalau mau kebaktian kan ada tempatnya, bukan di pinggir jalan seperti ini!” ungkap Ustad Naimun di baris terdepan massa penghadang. Ia adalah salah satu tokoh utama yang malatarbelakangi penolakan pembangunan Gereja HKBP Filadelfia.

Selasa, 12 Maret 2013

Mengungsi di Negeri Sendiri

Pemerintah sudah tidak menganggap kami, jadi kami menyimpulkan kalau yang bisa menyelesaikan masalah ini hanya kami sendiri.

oleh: Henry Adrian & Dody Andri

Serangan yang menimpa jemaat Ahmadiyah di Dusun Sambielen, Desa Loloan, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Barat terjadi pada tanggal 22 Juni 2001. Massa penyerang yang berjumlah ratusan datang dengan membawa parang, batu, dan dirigen berisi bensin.

Syahidin berdiri di depan reruntuhan rumahnya di Dusun Ketapang, Desa Gegerung, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat. (Henry Adrian)

Seorang jemaat Ahmadiyah yang biasa disapa Pak Haji duduk di dalam kamarnya di Transito. Satu-satunya harta yang berhasil diselamatkannya sebelum rumahnya dihancurkan massa adalah potret dirinya yang sedang berdampingan dengan Hadhrat Mirza Tahir Ahmad, khalifah ke-empat Ahmadiyah. (Henry Adrian)
Seorang jemaat Ahmadiyah yang biasa disapa Pak Haji duduk di dalam kamarnya di Transito. Satu-satunya harta yang berhasil diselamatkannya sebelum rumahnya dihancurkan massa adalah potret dirinya yang sedang berdampingan dengan Hadhrat Mirza Tahir Ahmad (pojok kiri atas foto). (Henry Adrian)
Sebelum massa datang, jemaat Ahmadiyah sudah meninggalkan rumah mereka dan bersembunyi. Hal ini disebabkan karena sebelumnya mereka sudah mendapat peringatan dari seorang jemaat Ahmadiyah yang mengetahui rencana penyerangan tersebut. Meski begitu, seorang jemaat Ahmadiyah yang bernama Papuq Hasan menolak untuk meninggalkan rumahnya.
“Biar saya mati, saya harus mati di sini, rumah saya ini biar dibakar, biar habis, yang penting saya pertahankan mushola itu. Masak dia tega, orang-orang  yang datang itu kan kenal saya, mereka saudara saya, anak-anak saya juga, ucap Hasan saat itu seperti ditirukan oleh Syahidin, seorang jemaat Ahmadiyah yang waktu itu mengajak Hasan untuk meninggalkan rumahnya.
“Serbu! Allahu Akbar! Kafir! Kafir! Ahmadiyah Kafir! Serbu!” teriak ratusan orang yang datang menyerang. Mendengar teriakan itu, Hasan pun langsung menuju mushola untuk menghalau massa. Namun massa yang tak menghiraukannya justru memukuli Hasan dengan kayu dan batu. Telinganya terkena sabetan parang. Hasan yang sudah berlumuran darah ahkirnya terjatuh dengan beberapa luka di tubuhnya.
Melihat suaminya dikeroyok massa, Inaq Ruqiah berusaha menolongnya. Saat ia berlari, salah seorang dari penyerang mengejarnya dan menusukan keris ke dada sebelah kanannya dari arah belakang. Inaq Ruqiah ditusuk sebanyak delapan kali hingga akhirnya jatuh dan tak sadarkan diri.

Senin, 11 Maret 2013

Atas Nama Iman

Ketika Iman Dijadikan Alasan Kekerasan

oleh: Henry Adrian

Pagi itu kabut telah menghilang ketika sekelompok massa berkerumun di batas Dusun Nangkernang, Desa Karang Gayam, Omben, Sampang, Madura. Seiring naiknya matahari, massa yang berkerumun semakin banyak. Berbekal senjata tajam, sekitar jam sepuluh pagi mereka serempak berjalan menuju ke Madrasah Misbahul Huda yang terletak di dusun tersebut.
Tajul Muluk, pendiri dan pengasuh madrasah yang dianggap beraliran Syiah itu sedang berada di tempat pengasingannya di Malang ketika penyerangan terjadi. Sudah setahun Tajul Muluk tinggal di sana setelah ia diusir dari Madura pada 2011 lalu. Di lokasi kejadian hanya ada kakaknya, Iklil Al Milal, dan puluhan jamaah Syiah yang tak berdaya menghalau massa.
Tajul Muluk. (Henry Adrian)

Tanpa mendapat perlawanan, massa dengan leluasa menyerang dan membakar Madrasah Misbahul Huda. Rumah Tajul Muluk yang terletak sekitar 20 meter dari madrasah pun tak luput dari amarah massa. Mereka membakar dan meratakan rumah tersebut.
Setelah membakar madrasah dan rumah Tajul Muluk, massa kemudian beranjak ke rumah Iklil Al Milal yang terletak di Dusun Geding Laok, Desa Blu’uran, Karang Penang, sekitar satu kilometer dari madrasah. Sesampainya di sana, rumah Iklil pun dibakar habis oleh massa.
Belum padam api di rumah Iklil, dari kejauhan tampak asap mengepul dari tenggara. Rumah Ummi Hanik, adik bungsunya, dan Khoirul Ummah, ibunya, juga tak luput dari pembakaran.
Tweet Share