Pages

Selasa, 28 Februari 2012

Belitung!

Negeri Serumpun Sebalai

oleh: Henry Adrian

Perjalanan ke Pulau Belitung adalah perjalanan yang sudah lama saya dan teman-teman dari Atma Jaya Photography Club (APC) nantikan. Selama ini Pulau Belitung hanya kami jumpai di televisi dan foto-foto semata. Tak mudah bagi kami untuk dapat berkunjung ke Pulau Belitung. Hal ini disebabkan karena kami harus membawa 20 orang lebih dengan dana yang sangat terbatas. Berulang kali kami harus berjibaku dengan permasalahan dana perjalanan yang cukup membuat pusing kepala.
Anggota Atma Jaya Photography Club di Pelabuhan Tanjung Priok. (APC)
Pantai Tanjung Tinggi, Belitung. (Henry Adrian)
Pemandangan dari puncak mercusuar di Pulau Lengkuas, Belitung. (Henry Adrian)
Berbagai hal kami lakukan agar dana yang kami miliki cukup untuk melakukan perjalanan. Kiranya tak mungkin kami dapat pergi kesana tanpa bantuan berbagai pihak. Mulai dari pak Abdul Fatah, Sekretaris Daerah Kabupaten Belitung yang bersedia meminjamkan bus dinas Kabupaten Belitung hingga pak Furqon, paman dari teman kami yang merelakan rumahnya di Belitung untuk kami acak-acak selama beberapa hari secara cuma-cuma.
Kami memulai perjalanan menuju Pulau Belitung dari Yogyakarta. Bertolak menuju Jakarta dari Stasiun Lempuyangan, perjalanan dengan kereta ekonomi ini memakan waktu sekitar sebelas jam. Berangkat jam lima sore dan tiba di Stasiun Pasar Senen Jakarta pada jam empat pagi.
Biasanya, perjalanan menuju Jakarta dengan kereta ekonomi ini selalu menjadi perjalanan yang memuakkan. Kereta penuh sesak, banyak penumpang tak kebagian tempat duduk, asap rokok di mana-mana, dan para pedagang berjualan di dalam kereta sesuka hati tanpa mempedulikan penumpang yang telah kelelahan.
Namun saat ini kereta ekonomi tampak lebih tertata rapi. Tiket berdiri ditiadakan dan keberadaan pedagang pun dibatasi sehingga tidak mengganggu para penumpang. Meski begitu, kereta masih sering berhenti dan mengalah untuk memberi jalan bagi kereta bisnis dan eksekutif yang akan lewat. Tapi setidaknya, perjalanan di kereta murah ini lebih bisa kami nikmati sekarang dibanding dulu.
Setibanya di Jakarta, kami langsung menuju rumah salah seorang teman kami di Tangerang untuk beristirahat. Meski masih subuh, namun bus yang kami naiki dari Senen sudah penuh sesak oleh para penumpang kereta yang juga baru turun di Stasiun Pasar Senen. Perjalanan yang ditempuh sekitar satu jam ini sangat menyebalkan. Meski semua dapat duduk, namun rengkatnya jarak tempat duduk membuat kaki pun tak nyaman.
Selain itu, kami masih harus duduk seraya memangku tas carrier yang rata-rata berkapasitas 60 liter yang penuh dan berat. Jarak tempuhnya memang satu jam, tapi ditambah kelelahan karena perjalanan sebelumnya, duduk di bus tersebut terasa lebih melelahkan daripada sebelas jam berada di kereta ekonomi!
Begitu tiba di rumah teman kami di Tangerang, teh hangat dan gorengan panas yang disajikan tuan rumah pun langsung kami santap dengan lahap. Setelah itu, kami pun terlelap di seantero penjuru rumah. Ada yang di ruang tamu, di depan TV, dan di kamar tidur.
Siangnya, setelah berebut giliran mandi dan makan, kami pun berangkat menuju Pelabuhan Tanjung Priok. Pengalaman menggunakan bus tadi pagi membuat kami berketetapan untuk menyewa tiga angkot. Dua angkot digunakan untuk mengangkut kami, dan yang terakhir untuk barang. Setelah kesepakatan tentang harga sewa dengan sopir angkot tercapai, sekitar jam dua siang kami pun menuju ke Pelabuhan Tanjung Priok.
Perjalanan ke pelabuhan tersebut kami lakukan lewat jalan tol. Beberapa dari kami baru pertama kali menginjakkan kaki ke Jakarta. Oleh karena itu, rasa kagum pun seringkali terucap dari mulut mereka yang baru pertama kali berkunjung ke Jakarta saat melihat deretan bangunan pencakar langit dan mobil-mobil seperti Bentley dan Ferrari yang selama ini hanya mereka lihat di film-film. Bahkan, ukuran papan iklan raksasa yang banyak terdapat di jalan tol pun menjadi kekaguman tersendiri bagi mereka. Dasar udik!hahahaha!
Selama berada di dalam angkot, kami serasa melaju di pacuan kuda. Maklum, dari ketiga sopir angkot, hanya satu yang tahu jalan menuju Pelabuhan Tanjung Priok. Alhasil, kedua angkot yang mengikuti angkot terdepan memacu kendaraan tuanya sekuat tenaga agar tak tertinggal dari angkot yang memimpin jalan dengan cepat. Serong kiri serong kanan dengan cepat dan berulang kali hendak menyerempet kendaraan lain membuat jantung ini berdegup kencang. Setelah satu setengah jam serasa naik kuda, tibalah kami di pelabuhan. Akhirnya!
Sekitar jam empat sore kami pun mulai naik ke Kapal Leuser, sebuah kapal berkapasitas 1.000 penumpang yang akan membawa kami ke Pulau Belitung. Sesaat sebelum menaiki tangga kapal, beberapa petugas keamanan pelabuhan memperingatkan kami jika semua fasilitas di kapal seperti tempat tidur dan makan tidak akan dikenai biaya. Jika ada yang memungut biaya, dengan sedikit berteriak mereka berkata pada para penumpang untuk memukuli dan mengeroyok mereka saja.
Kapal Leuser. (Henry Adrian)
Ketika sudah berada di dalam kapal, aih… banyak orang yang memalak para penumpang. Caranya, mereka mengantar penumpang menuju ruang penumpang yang mirip barak militer. Setelah itu, mereka meminta uang dari para penumpang dengan kasar. Jumlahnya bervariasi, dari Rp 15.000 sampai Rp 80.000. Jika tak mau memberi, kekerasan pun menjadi ancaman mereka. Penumpang yang kebingungan dan ketakutan pun mau tak mau memberi mereka uang.
Namun, ada dua keanehan yang kami alami waktu itu. Pertama, setelah mengetahui jika kami adalah sekelompok mahasiswa, mereka lantas tak berani memintai kami uang. Kedua, di dalam kapal sama sekali tidak terlihat adanya petugas keamanan. Padahal sebelum naik ke kapal mereka sempat memperingatkan kami atas pemerasan tersebut.
Pemerasan tersebut sungguh sangat meresahkan. Kami pikir, mereka yang memilih transportasi kapal laut sebagian besar bisa dipastikan memiliki kondisi ekonomi yang terbatas. Oleh karena itu, kapal laut pun menjadi pilihan mereka dibanding pesawat. Namun jika akhirnya berujung pada pemerasan, maka bisa dikatakan jika transportasi yang murah itu selain tidak nyaman juga tidak aman!
Setelah setengah jam berada di dalam kapal, para pemeras ini pun berubah menjadi para pedagang. Entah itu merupakan penyamaran atau apa, namun tampaknya mereka tak berniat untuk berjualan. Lambat laun, para pemeras ini pun menghilang. Para penumpang pun mulai berani mengumpati kesialan yang telah mereka dapat.
Akhirnya setelah tiga jam menunggu di dalam kapal, sekitar jam tujuh malam kapal pun mulai berlayar. Saat itu suasana sudah tenang. Para penumpang yang semula tampak gelisah akhirnya bisa tersenyum begitu mendengar suara klakson yang berbunyi tiga kali tanda kapal akan segera berangkat.
Dari sekitar 20 orang yang mengikuti perjalanan ini, hanya dua orang yang pernah melakukan perjalanan menggunakan kapal laut. Alhasil, rasa penasaran pun membuat sebagian besar dari kami menjelajahi setiap sudut kapal. Pagi harinya, kami pun beramai-ramai melihat langit timur yang mulai diterangi matahari secara perlahan. Cerahnya langit membuat terbitnya matahari pagi itu terlihat sangat indah.
Sekitar jam satu siang kami sudah tiba di perairan Belitung. Para penumpang pun dijemput oleh sebuah kapal kecil karena Kapal Leuser yang kami tumpangi tidak bisa merapat di pelabuhan. Setelah 15 menit berlayar dengan sebuah kapal kecil, tibalah kami di Negeri Serumpun Sebalai!
Selama di Pulau Belitung, kami tinggal di rumah saudara salah seorang teman kami di Tanjung Pandan. Darinya kami memperoleh info tentang langkanya solar di Pulau Belitung. Di Tanjung Pandan hanya terdapat tiga SPBU. Solar dijual di SPBU sejak jam tujuh pagi. Namun, hanya dalam waktu satu jam solar akan segera habis.
Menurut penuturan beberapa pihak, mulai dari aparat pemerintah hingga penduduk setempat, kelangkaan solar ini disebabkan karena banyaknya oknum yang memainkan solar bersubsidi. Oknum-oknum ini terdiri dari polisi, tentara, dan pemilik SPBU sendiri. Para oknum ini lantas menjual solar bersubsidi ini ke perusahaan-perusahaan tambang dengan harga dibawah harga solar industri. Benar tidaknya hal ini kami pun tak tahu.
Langka dan mahalnya harga solar ini sempat membuat kami kelimpungan. Maklum, pemerintah Belitung hanya meminjamkan busnya pada kami. Sedangkan untuk biaya dan cara mendapatkan bahan bakarnya menjadi tanggungan kami. Untung, selama di Belitung kami tidak pernah kehabisan persediaan solar. Ucapan terima kasih patut saya sampaikan pada dua orang sopir bus kami yaitu pak Pendek dan bang Andika yang rela antri solar dari subuh di SPBU.
Setelah tiga hari menikmati keindahan Pulau Belitung dan memaki kerusakan alamnya karena tambang, kami pun kembali ke Yogyakarta. Dari Belitung, perjalanan kami lakukan melalui udara menuju Jakarta. Selain karena mendapat harga tiket murah, hal ini kami lakukan karena Kapal Leuser tidak setiap hari merapat di Pulau Belitung. Periode perjalanan kapal ini untuk merapat di Pulau Belitung adalah 14 hari sekali. Itupun dengan syarat jika kondisi perairan mendukung. Sesampainya di Jakarta, kami langsung menuju Stasiun Pasar Senen untuk mengejar kereta ekonomi yang menuju Yogyakarta. Sebuah kota yang pernah diejek W.S Rendra sebagai kasur tua, namun terbuat dari rindu dan pulang seperti kata Joko Pinurbo.

Ebook "Belitung: Negeri Serumpun Sebalai" yang berisi rangkaian cerita dan foto yang diangkat Atma Jaya Photography Club di Belitung dapat didownload di sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tweet Share