Negeri Serumpun Sebalai
oleh: Henry Adrian
Perjalanan ke Pulau Belitung adalah perjalanan yang sudah
lama saya dan teman-teman dari Atma Jaya Photography Club (APC) nantikan. Selama ini Pulau Belitung hanya kami jumpai di televisi dan
foto-foto semata. Tak mudah bagi kami untuk dapat berkunjung ke Pulau Belitung.
Hal ini disebabkan karena kami harus membawa 20 orang lebih dengan dana yang sangat
terbatas. Berulang kali kami harus berjibaku dengan permasalahan dana
perjalanan yang cukup membuat pusing kepala.
![]() |
Anggota Atma Jaya Photography Club di Pelabuhan Tanjung Priok. (APC) |
![]() |
Pantai Tanjung Tinggi, Belitung. (Henry Adrian) |
![]() |
Pemandangan dari puncak mercusuar di Pulau Lengkuas, Belitung. (Henry Adrian) |
Berbagai hal
kami lakukan agar dana yang kami miliki cukup untuk melakukan perjalanan.
Kiranya tak mungkin kami dapat pergi kesana tanpa bantuan berbagai pihak. Mulai
dari pak Abdul Fatah, Sekretaris Daerah Kabupaten Belitung yang bersedia
meminjamkan bus dinas Kabupaten Belitung hingga pak Furqon, paman dari teman
kami yang merelakan rumahnya di Belitung untuk kami acak-acak selama beberapa
hari secara cuma-cuma.
Kami memulai
perjalanan menuju Pulau Belitung dari Yogyakarta. Bertolak menuju Jakarta dari
Stasiun Lempuyangan, perjalanan dengan kereta ekonomi ini memakan waktu sekitar
sebelas jam. Berangkat jam lima sore dan tiba di Stasiun Pasar Senen Jakarta
pada jam empat pagi.
Biasanya,
perjalanan menuju Jakarta dengan kereta ekonomi ini selalu menjadi perjalanan
yang memuakkan. Kereta penuh sesak, banyak penumpang tak kebagian tempat duduk,
asap rokok di mana-mana, dan para pedagang berjualan di dalam kereta sesuka hati
tanpa mempedulikan penumpang yang telah kelelahan.
Namun saat ini
kereta ekonomi tampak lebih tertata rapi. Tiket berdiri ditiadakan dan
keberadaan pedagang pun dibatasi sehingga tidak mengganggu para penumpang. Meski
begitu, kereta masih sering berhenti dan mengalah untuk memberi jalan bagi
kereta bisnis dan eksekutif yang akan lewat. Tapi setidaknya, perjalanan di
kereta murah ini lebih bisa kami nikmati sekarang dibanding dulu.
Setibanya di
Jakarta, kami langsung menuju rumah salah seorang teman kami di Tangerang untuk
beristirahat. Meski masih subuh, namun bus yang kami naiki dari Senen sudah
penuh sesak oleh para penumpang kereta yang juga baru turun di Stasiun Pasar
Senen. Perjalanan yang ditempuh sekitar satu jam ini sangat menyebalkan. Meski
semua dapat duduk, namun rengkatnya jarak tempat duduk membuat kaki pun tak
nyaman.
Selain itu,
kami masih harus duduk seraya memangku tas carrier yang rata-rata berkapasitas
60 liter yang penuh dan berat. Jarak tempuhnya memang satu jam, tapi ditambah
kelelahan karena perjalanan sebelumnya, duduk di bus tersebut terasa lebih
melelahkan daripada sebelas jam berada di kereta ekonomi!
Begitu tiba di
rumah teman kami di Tangerang, teh hangat dan gorengan panas yang disajikan
tuan rumah pun langsung kami santap dengan lahap. Setelah itu, kami pun
terlelap di seantero penjuru rumah. Ada yang di ruang tamu, di depan TV, dan di
kamar tidur.
Siangnya,
setelah berebut giliran mandi dan makan, kami pun berangkat menuju Pelabuhan
Tanjung Priok. Pengalaman menggunakan bus tadi pagi membuat kami berketetapan
untuk menyewa tiga angkot. Dua angkot digunakan untuk mengangkut kami, dan yang
terakhir untuk barang. Setelah kesepakatan tentang harga sewa dengan sopir
angkot tercapai, sekitar jam dua siang kami pun menuju ke Pelabuhan Tanjung
Priok.
Perjalanan ke
pelabuhan tersebut kami lakukan lewat jalan tol. Beberapa dari kami baru
pertama kali menginjakkan kaki ke Jakarta. Oleh karena itu, rasa kagum pun
seringkali terucap dari mulut mereka yang baru pertama kali berkunjung ke
Jakarta saat melihat deretan bangunan pencakar langit dan mobil-mobil seperti
Bentley dan Ferrari yang selama ini hanya mereka lihat di film-film. Bahkan,
ukuran papan iklan raksasa yang banyak terdapat di jalan tol pun menjadi
kekaguman tersendiri bagi mereka. Dasar udik!hahahaha!
Selama berada
di dalam angkot, kami serasa melaju di pacuan kuda. Maklum, dari ketiga sopir
angkot, hanya satu yang tahu jalan menuju Pelabuhan Tanjung Priok. Alhasil,
kedua angkot yang mengikuti angkot terdepan memacu kendaraan tuanya sekuat
tenaga agar tak tertinggal dari angkot yang memimpin jalan dengan cepat. Serong
kiri serong kanan dengan cepat dan berulang kali hendak menyerempet kendaraan
lain membuat jantung ini berdegup kencang. Setelah satu setengah jam serasa
naik kuda, tibalah kami di pelabuhan. Akhirnya!
Sekitar jam
empat sore kami pun mulai naik ke Kapal Leuser, sebuah kapal berkapasitas 1.000
penumpang yang akan membawa kami ke Pulau Belitung. Sesaat sebelum menaiki
tangga kapal, beberapa petugas keamanan pelabuhan memperingatkan kami jika
semua fasilitas di kapal seperti tempat tidur dan makan tidak akan dikenai
biaya. Jika ada yang memungut biaya, dengan sedikit berteriak mereka berkata
pada para penumpang untuk memukuli dan mengeroyok mereka saja.
![]() |
Kapal Leuser. (Henry Adrian) |
Ketika sudah
berada di dalam kapal, aih… banyak orang yang memalak para penumpang. Caranya,
mereka mengantar penumpang menuju ruang penumpang yang mirip barak militer.
Setelah itu, mereka meminta uang dari para penumpang dengan kasar. Jumlahnya
bervariasi, dari Rp 15.000 sampai Rp 80.000. Jika tak mau memberi, kekerasan
pun menjadi ancaman mereka. Penumpang yang kebingungan dan ketakutan pun mau
tak mau memberi mereka uang.
Namun, ada dua
keanehan yang kami alami waktu itu. Pertama, setelah mengetahui jika kami
adalah sekelompok mahasiswa, mereka lantas tak berani memintai kami uang.
Kedua, di dalam kapal sama sekali tidak terlihat adanya petugas keamanan.
Padahal sebelum naik ke kapal mereka sempat memperingatkan kami atas pemerasan tersebut.
Pemerasan
tersebut sungguh sangat meresahkan. Kami pikir, mereka yang memilih transportasi
kapal laut sebagian besar bisa dipastikan memiliki kondisi ekonomi yang
terbatas. Oleh karena itu, kapal laut pun menjadi pilihan mereka dibanding
pesawat. Namun jika akhirnya berujung pada pemerasan, maka bisa dikatakan jika
transportasi yang murah itu selain tidak nyaman juga tidak aman!
Setelah
setengah jam berada di dalam kapal, para pemeras ini pun berubah menjadi para
pedagang. Entah itu merupakan penyamaran atau apa, namun tampaknya mereka tak
berniat untuk berjualan. Lambat laun, para pemeras ini pun menghilang. Para
penumpang pun mulai berani mengumpati kesialan yang telah mereka dapat.
Akhirnya
setelah tiga jam menunggu di dalam kapal, sekitar jam tujuh malam kapal pun
mulai berlayar. Saat itu suasana sudah tenang. Para penumpang yang semula
tampak gelisah akhirnya bisa tersenyum begitu mendengar suara klakson yang berbunyi
tiga kali tanda kapal akan segera berangkat.
Dari sekitar
20 orang yang mengikuti perjalanan ini, hanya dua orang yang pernah melakukan
perjalanan menggunakan kapal laut. Alhasil, rasa penasaran pun membuat sebagian
besar dari kami menjelajahi setiap sudut kapal. Pagi harinya, kami pun
beramai-ramai melihat langit timur yang mulai diterangi matahari secara
perlahan. Cerahnya langit membuat terbitnya matahari pagi itu terlihat sangat
indah.
Sekitar jam
satu siang kami sudah tiba di perairan Belitung. Para penumpang pun dijemput
oleh sebuah kapal kecil karena Kapal Leuser yang kami tumpangi tidak bisa
merapat di pelabuhan. Setelah 15 menit berlayar dengan sebuah kapal kecil,
tibalah kami di Negeri Serumpun Sebalai!
Selama di
Pulau Belitung, kami tinggal di rumah saudara salah seorang teman kami di
Tanjung Pandan. Darinya kami memperoleh info tentang langkanya solar di Pulau
Belitung. Di Tanjung Pandan hanya terdapat tiga SPBU. Solar dijual di SPBU
sejak jam tujuh pagi. Namun, hanya dalam waktu satu jam solar akan segera
habis.
Menurut
penuturan beberapa pihak, mulai dari aparat pemerintah hingga penduduk
setempat, kelangkaan solar ini disebabkan karena banyaknya oknum yang memainkan
solar bersubsidi. Oknum-oknum ini terdiri dari polisi, tentara, dan pemilik
SPBU sendiri. Para oknum ini lantas menjual solar bersubsidi ini ke
perusahaan-perusahaan tambang dengan harga dibawah harga solar industri. Benar
tidaknya hal ini kami pun tak tahu.
Langka dan
mahalnya harga solar ini sempat membuat kami kelimpungan. Maklum, pemerintah
Belitung hanya meminjamkan busnya pada kami. Sedangkan untuk biaya dan cara
mendapatkan bahan bakarnya menjadi tanggungan kami. Untung, selama di Belitung
kami tidak pernah kehabisan persediaan solar. Ucapan terima kasih patut saya
sampaikan pada dua orang sopir bus kami yaitu pak Pendek dan bang Andika yang
rela antri solar dari subuh di SPBU.
Setelah tiga
hari menikmati keindahan Pulau Belitung dan memaki kerusakan alamnya karena
tambang, kami pun kembali ke Yogyakarta. Dari Belitung, perjalanan kami lakukan
melalui udara menuju Jakarta. Selain karena mendapat harga tiket murah, hal ini
kami lakukan karena Kapal Leuser tidak setiap hari merapat di Pulau Belitung. Periode perjalanan kapal ini untuk
merapat di Pulau Belitung adalah 14 hari sekali. Itupun dengan syarat jika
kondisi perairan mendukung. Sesampainya di Jakarta, kami langsung menuju
Stasiun Pasar Senen untuk mengejar kereta ekonomi yang menuju Yogyakarta. Sebuah
kota yang pernah diejek W.S Rendra sebagai kasur tua, namun terbuat dari rindu
dan pulang seperti kata Joko Pinurbo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar