Pages

Minggu, 04 September 2011

Matinya Kijang Putih

“Sebuah kasus kalau tidak dikawal wartawan bisa dibelokkan.”

oleh: Henry Adrian

Malam itu Heru Prasetya sedang bekerja di kantor Bernas. Suasana kantor tampak seperti biasanya. Sebagian besar wartawan telah pulang, sedangkan yang masih berada di kantor kebanyakan adalah redaktur.
Fuad Muhammad Syafruddin. (Dok. Buku "Kasus Udin: Liputan Bawah Tanah")
Di tempat lain, seorang wartawan Bernas bernama Fuad Muhammad Syafruddin dianiaya oleh orang tak dikenal di beranda rumah kontrakannya. Akibatnya, pria yang akrab disapa Udin ini jatuh bersimbah darah tak sadarkan diri. Sejak saat itu Udin tidak pernah sadar. Koresponden Bernas untuk daerah liputan Bantul ini akhirnya meninggal tiga hari kemudian. 16 Agustus 1996 menjadi tanggal terakhir yang tertera di nisannya.

Sabtu, 03 September 2011

All That Glitters Is Not Gold

“The gold mining industry has come to stink in the nostrils of so many thousands of people.”
(J. H. Curle in The Goldmines of The World)

oleh: Henry Adrian

Saat itu waktu menunjukkan hampir jam 12 malam. Di depan sebuah hotel yang terletak di perbukitan gelap Samarinda, Kalimantan Timur, Bondan menunggu. Tepat jam 12 malam Bondan pun masuk ke hotel tersebut. “Kalau saya ngga turun dalam waktu satu jam, kamu segera lapor ke polisi, bilang bahwa saya hilang di situ,” ucap Bondan pada supir taksi yang mengantarnya.
Bondan Winarno. (Henry Adrian)
Bondan tidak hendak mencicipi hidangan kuliner di sana. Waktu itu ia hendak mewawancarai Letnan Kolonel Edi Tursono, orang yang paling ditakuti oleh Bondan karena ia memiliki potensi untuk membunuhnya. Edi Tursono adalah saksi kunci kematian Michael Antonio Tuason de Guzman, Manajer Eksplorasi Bre-X Corp, sebelum ia dinyatakan bunuh diri dengan terjun dari helikopter yang dipiloti oleh Edi Tursono.
Sepanjang wawancara, Edi Tursono selalu menjawab pertanyaan Bondan dengan mengatakan tidak. "Jadi ya sudah, tapi saya sudah ketemu dia, dan saya sudah tahu dari wajah dan cara dia menjawab, saya tahu bahwa sebetulnya orang ini yang seharusnya ditangkap oleh pemerintah Indonesia. Jadi kalau dia ngga ditangkap dan masih bebas, itu adalah ketololan polisi, ketololan pemerintah Indonesia. Dia pegang peran, dia pegang kunci," jelas Bondan.

Selasa, 19 Juli 2011

Orkestra Sepak Bola

Gegap Gempita Pemain Keduabelas, dari Sepak Bola hingga Politik

oleh: Henry Adrian

Yuli Sumpil saat memimpin puluhan ribu Aremania bernyanyi dan menari di Stadion Kanjuruhan, Malang. (Henry Adrian)
Yuli Sumpil saat menjadi konduktor Aremania di Stadion Kanjuruhan, Malang. (Henry Adrian)
Seorang pria melompat dari pagar yang memisahkan lapangan dengan bangku penonton. Setelah melompat, ia lantas meluncurkan dirinya di atas bendera Arema yang diikat miring menghadap lapangan layaknya aksi-aksi Jacky Chan di film yang ia tonton. Namun sial, bendera yang diikat tersebut tak mampu menahan berat badannya. Ia pun terjatuh ke dalam selokan yang terletak di bawah bendera tersebut. Kedalaman selokan itu sekitar dua meter. Pria yang hendak meredakan amarah suporter Arema yang terjadi di belakang gawang itu pun jatuh pingsan. Ketika sadar, ia sudah ditangani oleh seorang dokter yang lantas menanyainya.
“Pusing Yul?”
“Iyo, pusing, tapi ngga ngerti pusing minuman atau pusing jatuh.”
“Pingin muntah ngga?”
“Iyo, tapi ngga ngerti muntah mabuk atau muntah jatuh.”
“Wah, repot ini Yul.”

Minggu, 10 Juli 2011

Ikan Cakalang dari Blora

Catatan Sepuluh Tahun Pengasingan dan Pembuangan

oleh: Henry Adrian

Hampir seharian ratusan tahanan politik itu dijemur di Pelabuhan Sodong, Nusa Kambangan. Mereka menunggu kapal yang akan membawa mereka ke Pulau Buru, Maluku. Sebuah pulau yang akan menjadi tempat pengasingan bagi mereka. 
Pramoedya Ananta Toer, sastrawan yang dipenjara di Pulau Buru, menyelesaikan karya-karyanya dengan sebuah mesin tik tua pada masa penahanannya. (Sindhunata)

Selagi menunggu kapal, beberapa tahanan beramai-ramai memakan daun bluntas mentah yang terletak di sejalur pagar bluntas dekat tempat mereka berbaris. Daun yang dipenuhi oleh debu jalanan ini tak sempat dicuci, andaikata sempat pun, mereka akan kena pukul terlebih dulu sebelum sempat meninggalkan barisan. Salah satu tahanan pemakan daun bluntas tersebut bernama Pramoedya Ananta Toer.
Pria yang saat itu berusia 44 tahun ini menceritakan bagaimana para tahanan melawan kelaparan. Sebagian memakan tikus kakus yang gemuk dan besar. Lainnya memakan bonggol pepaya ataupun pisang tanpa dimasak. Adapula yang memakan lintah darat. Bahkan, ada seorang tahanan yang menelan cicak mentah-mentah. “Keberanian menantang kelaparan adalah kepahlawanan tersendiri,” ungkap Pramoedya dalam bukunya ini.

Kamis, 05 Mei 2011

The Idea of Indonesia

Sejarah Perjalanan dan Perselisihan Sebuah Konsep Negara Kesatuan

oleh: Henry Adrian

Sebelum abad kedua puluh, gagasan politis Indonesia belum lahir. Kata Indonesia sendiri baru muncul pada tahun 1850 dalam bentuk Indu-nesians. George Samuel Windsor Earl, seorang pengamat sosial asal Inggris, menggunakan kata tersebut sebagai istilah etnografis bagi cabang ras Polinesia yang menghuni kepulauan Hindia. Sejak saat itulah, pemaknaan atas gagasan Indonesia terus mengalami perkembangan, entah dimaknai sebagai istilah etnografis ataupun geografis. Namun, tidak ada yang memaknai gagasan Indonesia dalam pengertian politis, yaitu sebagai daerah jajahan Belanda yang bernama Hindia Timur Belanda.

(Cas Oorthuys)

Penggunaan gagasan Indonesia dalam pengertian politis baru muncul pada abad kedua puluh. Dalam buku The Idea of Indonesia, R. E. Elson menyebut dua penyebab munculnya pengertian politis dalam gagasan Indonesia. Pertama, menyebarnya kekuasaan Belanda ke seluruh kepulauan Indonesia. Hampir selama abad kesembilan belas, daerah Hindia Timur Belanda tidak lebih dari pulau Jawa. Berbagai daerah di luar pulau Jawa baru masuk ke dalam kekuasaan kolonial Belanda pada peralihan menuju abad kedua puluh.

Rabu, 04 Mei 2011

Dari Khrushchev hingga Mandela


Melihat Sejarah Kecil Indonesia dari Kaca Mata Seorang Wartawan

oleh: Henry Adrian

Pada awal tahun 1960, Perdana Menteri (PM) Rusia, Nikita Khrushchev mengadakan kunjungan kenegaraan ke Indonesia. Ia adalah seorang PM yang menurut bahasa Rosihan Anwar, merupakan seorang diktator yang ingin populer. “Tabiatnya lain dari Stalin yang mengunci dirinya di Kremlin dan pada waktu-waktu tertentu mengeluarkan fatwa dengan akibat fatal berupa hilangnya nyawa musuh-musuhnya.”
Soekarno dan Nikita Khrushchev. (John Dominis)

Cerita di atas merupakan satu dari beberapa cerita yang dikisahkan Rosihan Anwar dalam buku Sejarah Kecil (Petite Historie) Indonesia. Saat itu, Rosihan Anwar berusia 38 tahun. Sebagai Pemimpin Redaksi harian Pedoman, ia menceritakan pengalamannya mengkuti perjalanan Khrushchev selama 10 hari di Indonesia. Perjalanan itu diikuti oleh 11 wartawan Indonesia dan 77 wartawan asing, termasuk Rosihan Anwar sendiri.
Seluk beluk perjalanan Khrushchev ini diceritakan Rosihan Anwar dengan menarik. Mulai dari sikap wartawan Rusia yang tertutup, hingga kesibukan awak pesawat Garuda Indonesia Airlines yang melayani perjalan Khrushchev dari Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Bali dan Ambon pergi-pulang.

Selasa, 03 Mei 2011

Indonesia Bercerita

Kekerabatan yang Ditelan Sengketa tak Berkesudahan

oleh: Henry Adrian

Malaysia merupakan negara yang asing bagi saya. Gambaran tentang Malaysia sebagian besar hanya saya dapatkan dari berbagai pemberitaan di media massa. Pemberitaan yang hampir semuanya berbicara tentang konflik antara Indonesia dan Malaysia. Mulai dari sengketa wilayah, kebudayaan, hingga penyiksaan TKI yang bekerja di Malaysia.
Ketika melihat berita-berita tersebut, banyak orang Indonesia yang marah. Mereka meneriakan pekik anti-Malaysia dalam berbagai bentuk. Hubungan antara Indonesia dengan Malaysia sebagai negara serumpun seolah terputus. Masing-masing pihak berdiri di garis kebangsaannya masing-masing dan sejarah pun dilupakan.

Senin, 02 Mei 2011

Memahami Akar Kekerasan Massa

"Manusia-manusia yang secara buta menempatkan diri di  dalam kolektif sudah membuat diri mereka menjadi sesuatu seperti bahan dan memadamkan diri mereka sebagai makhluk yang menentukan diri."
(T.W. Adorno)

oleh: Henry Adrian

Massa, terror dan trauma adalah pengalaman-pengalaman negatif yang selalu membayangi Indonesia. Pembantaian etnis Cina di Batavia pada tahun 1740, pembantaian anggota atau mereka yang diduga sebagai anggota PKI pada tahun 1965, kerusuhan Mei 1998, hingga pembantaian etnis Madura di Sampit pada tahun 2001. Pengalaman-pengalaman tersebut merupakan beberapa pengalaman negatif yang telah dilalui oleh negara ini. Namun, ancaman akan terjadinya hal serupa di masa mendatang semakin besar seiring dengan proses globalisasi pasar. Proses ini siap mengorbankan mereka yang tersingkir menjadi massa dalam pertentangan-pertentangan ekonomis, politis, ideologis ataupun agama.
Pada 4 April 1945, Pasukan Sekutu membebaskan Kamp Konsentrasi Ohrdruf di Jerman.

Massa tidak dipahami sebagai sekumpulan orang pada suatu tempat dan waktu semata. Namun massa dipahami sebagai aksi-aksi dari sekumpulan orang yang melampaui batas-batas institusional. Mereka dianggap sebagai massa ketika aksi-aksinya mengabaikan norma-norma sosial yang berlaku dalam situasi sehari-hari. Massa dalam arti ini selalu berkaitan dengan situasi khusus, yaitu keadaan yang abnormal.
Dalam buku ini, negativitas tidaklah dipahami sebagai sikap ataupun perilaku. Namun, negativitas dipahami sebagai sesuatu yang memungkinkan sikap atau perilaku itu muncul. Destruksi adalah ekspresi fenomenal dari negativitas, ia adalah fakta. Namun negativitas melampaui fakta, karena ia berada di ranah metafisis sebagai conditio humana atau kondisi manusia.
Tweet Share