“Sebuah
kasus kalau tidak dikawal wartawan bisa dibelokkan.”
oleh: Henry Adrian
Malam itu Heru Prasetya sedang
bekerja di kantor Bernas. Suasana kantor tampak seperti biasanya. Sebagian
besar wartawan telah pulang, sedangkan yang masih berada di kantor kebanyakan
adalah redaktur.
![]() |
Fuad Muhammad Syafruddin. (Dok. Buku "Kasus Udin: Liputan Bawah Tanah") |
Di tempat lain, seorang wartawan
Bernas bernama Fuad Muhammad Syafruddin dianiaya oleh orang tak dikenal di
beranda rumah kontrakannya. Akibatnya, pria yang akrab disapa Udin ini jatuh bersimbah darah tak sadarkan
diri. Sejak saat itu Udin tidak pernah sadar. Koresponden Bernas untuk daerah
liputan Bantul ini akhirnya meninggal tiga hari kemudian. 16 Agustus 1996
menjadi tanggal terakhir yang tertera di nisannya.
***
Wajah pria itu sudah tampak
menua. Sebagian rambutnya telah memutih. Pembawaannya ramah dan nada bicaranya
tenang, tidak meledak-ledak. Pria itu adalah Heru Prasetya. Ia bekerja di Surat Kabar Harian Bernas sejak tahun 1990.
Saat itu, Bernas yang baru saja bergabung dengan Kelompok Kompas Gramedia membuka
lowongan untuk bekerja sebagai
wartawan. Merasa
tertarik, Heru pun
mendaftar ke Bernas. Menurutnya, bekerja sebagai wartawan itu menantang dan bisa
memiliki banyak pengetahuan.
Selama bekerja sebagai wartawan Bernas, Heru pernah ditempatkan di berbagai kota. Mulai dari Purwokerto, Semarang, hingga pada akhir tahun 1992 dipindah ke
Yogyakarta dan diberi tugas sebagai asisten redaktur halaman daerah.
Sejak bekerja sebagai asisten redaktur halaman itulah
Heru mengenal Udin. Saat pertama kali bertemu dengan Udin, Heru merasa takut. Maklum,
badan Heru kecil, tidak sebanding dengan
badan Udin yang tinggi dan besar. Wajah Udin pun serius dan jarang membuang senyum.
Namun seiring berjalannya
waktu, kesan pertama yang muncul di benak Heru pada Udin itu pun pupus. Meski
berperangai menakutkan, ternyata Udin pun dapat diajak berkelakar. “Orangnya
angker tapi tabiatnya sangat lemah lembut,” kenang Heru.
Malam sebelum dianiaya, Udin
datang ke kantor Bernas untuk mengetik berita dan menyerahkannya pada Heru
seperti biasa. Berita terakhir yang ditulis oleh Udin adalah tentang korupsi pembangunan jalan. Ketika berita itu
keluar di Bernas, Udin sudah tidak dapat membaca berita itu lagi karena ia
telah koma di rumah sakit.
Heru tidak ingat persis kapan
ia memperoleh kabar tentang penganiayaan Udin. Tapi yang jelas, ketika ia
datang ke Bernas keesokan paginya, suasana kantor sudah ramai membicarakan hal tersebut. Saat itu belum terbayang di
benak Heru dan teman-temannya di Bernas kalau Udin akan meninggal. “Apalagi
badannya mas Udin kan besar, jadi ngga nyangka kalau ternyata begitu parah, bahkan sampai meninggal,” jelas Heru.
Setelah itu, Heru pun pergi ke
tempat Joko Mulyono. Udin dan Joko Mulyono merupakan koresponden Bernas di
Bantul. Biasanya Udin meliput berita-berita kriminal di Bantul, sedangkan Joko meliput berita-berita seputar pemerintahan
Bantul. Heru pun bertanya tentang kabar penganiayaan tersebut pada Joko, tapi
Joko kebanyakan menjawab tidak tahu.
Menurut Heru, kisah
penganiayaan Udin waktu itu ternyata tidak menarik simpati dari pimpinan di Bernas.
Meski Udin merupakan koresponden Bernas, namun pimpinan Bernas waktu itu enggan
memuat berita tentang penganiayaan Udin di korannya. “Menurut pimpinan di kantor,
itu merupakan berita biasa, jadi ngga dimuat ngga apa-apa, ngga ada nilai
layaknya,” ucap pria 45 tahun ini.
Setelah mendapat alasan seperti
itu, Heru dan beberapa temannya di Bernas lantas melobi para pimpinan di kantornya
agar bersedia memuat berita tentang penganiayaan Udin. “Bagaimanapun, layak
atau tidak layak, Udin itu adalah saudara kita yang sedang terkena persoalan,
masa kita tidak memberitakan,” ucap Heru waktu itu. Akhirnya usaha tersebut tak sia-sia. Keesokan
harinya, berita penganiayaan Udin dimuat dalam sebuah kolom di Bernas.
Selang satu hari setelah berita
tersebut dimuat di Bernas, Udin
akhirnya meninggal. Ia meninggal sekitar jam lima sore di Rumah
Sakit Bethesda, Yogyakarta. Setelah
sore itu, bukan hanya gelapnya langit malam yang mengiringi kepergiannya, namun juga gelapnya sosok pelaku
pembunuhan yang belum terungkap hingga hari ini.
***
Semula Udin
sebenarnya ingin menjadi tentara. Ia pun mendaftar ke Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(ABRI) di Bandung. Namun karena
tidak diterima, pria kelahiran 18 Februari 1963 ini pun lantas kembali ke Yogyakarta untuk membantu
ayahnya yang bekerja sebagai tukang batu. Hingga akhirnya, pada tahun 1986 Udin
mendaftar ke Bernas dan diterima sebagai koresponden Bernas sekaligus agen
koran Bernas dan majalah Djoko Lodang. Pada tahun itu pula Udin diangkat
sebagai koresponden Bernas untuk daerah liputan Bantul dan sekitarnya.
Banyak pihak berpendapat jika kematian Udin berkaitan dengan berita-berita
yang ia tulis di Bernas sesaat sebelum ia dibunuh. Mulai dari penyunatan dana Inpres Desa Tertinggal (IDT) di Desa Karangtengah, Imogiri,
Bantul, sampai pada berita pemilihan Bupati Bantul.
“Saya masih meyakini sampai
sekarang bahwa latar belakang pembunuhan Udin adalah berita yang pernah ditulis
olehnya. Karena menurut saya sebagai
salah satu redakturnya, berita-beritanya itu memang kritis. Saya tidak
berbicara soal kualitas penulisan, saya berbicara tentang isi berita. Dan itu
saya tidak melihat di wartawan-wartawan di Bantul dari media manapun,” jelas
Heru.
Menurut Heru, berita-berita yang
ditulis oleh Udin akan membuat marah beberapa orang. Seingatnya, dalam seminggu Udin pasti selalu
menulis berita kritis. “Kalau ada yang salah dia betul-betul tulis bahwa itu
salah, dan dia tidak tedeng aling-aling
(basa-basi) ketika mengungkapnya,” kenang Heru.
Hal senada juga diungkapkan
oleh Muchamad Achadi, mantan koresponden Bernas yang waktu itu kerap menulis
berita tentang politik dan agama di Bernas. “Saya melihat sisi Udinnya cukup
kritis, mas Herunya sebagai redaktur juga cukup mengakomodir itu, dan secara
kelembagaan di Bernas, rasa-rasanya memang tidak ada sensor secara langsung. Saat
itu yang saya pahami kalau ada berita-berita keras paling kita mendapat telepon
dari Pangdam, Korem, dan
macem-macem.”
Meski sering menulis berita
kritis, hubungan Udin dengan narasumber tetap baik. Hal ini diungkapkan oleh
Heru karena ia sendiri seringkali meliput bersama Udin. “Di kantor polisi,
hampir semua reserse mengenal Udin, di pengadilan, pemerintah kabupaten, dan
DPRD juga begitu,” ungkap Heru.
Namun Heru sendiri tidak tahu
apakah Udin memiliki hubungan yang baik dengan Kolonel Sri Roso Sudarmo, Bupati Bantul waktu itu. Sri Roso merupakan tokoh
yang diduga
berada di balik pembunuhan Udin. Tulisan-tulisan Udin
yang sering menyerang Bupati Bantul dan membongkar korupsi di Bantul diduga
menjadi alasan pembunuhan. Meski begitu, secara hukum hal ini belum terbukti karena pelaku pembunuhan Udin yang sesungguhnya
belum terungkap.
Sebenarnya, beberapa hari
setelah pembunuhan itu terjadi,
Ade Subardan, Kapolres Bantul waktu itu, sempat berkata bahwa identitas pelaku
sudah diketahui. Ia bahkan sempat berkata, “dua sampai tiga hari ini dapat
tertangkap, percayakan saja pada kami,” ungkap Ade waktu itu. Namun perkataan Ade
ini tak pernah terlaksana. Tiga bulan kemudian Ade Subardan justru dipindahtugaskan
ke Inspektorat Kepolisian Daerah Irian Jaya.
“Kelihatannya dia tahu siapa
pelakunya. Nyatanya kemudian, ngga tahu ada tangan-tangan dari mana yang kemudian ikut campur,
dia dipindah ke Irian. Bahkan katanya sempat stres. Saya pernah menelepon dia
ketika dia di Irian. Dia bilang, 'oh maaf, saya sudah tidak mau lagi bicara soal itu.' Kelihatan dari nada bicaranya,
dia seperti orang yang sangat tertekan, terputus-putus ngomongnya, dan dia
merasa, sudah, saya tidak mau lagi mengingat masalah itu. Berarti kan ada
sesuatu,” ungkap L. N Idayanie, redaktur Koran Tempo Biro Jawa Tengah dan DIY yang dulu juga meliput kasus Udin.
***
Gelapnya latar belakang dan aktor yang berada di
balik pembunuhan Udin membuat berbagai media massa lokal, nasional, maupun
internasional ikut terjun meliput kasus ini. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)
sendiri sampai membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) untuk menyelidiki kasus kematian
Udin. “Karena yang meninggal adalah wartawan, dan Udin adalah anggota PWI, maka
mereka merasa punya kewajiban untuk mengungkap kasus itu, maka dibentuklah Tim
Pencari Fakta PWI,” jelas Heru.
Pada waktu itu anggota TPF PWI
terdiri dari lima orang wartawan. Diantaranya adalah Masduki Atamami yang
merupakan koordinator TPF PWI, Putut Wiryawan, Nurhadi, Sutirman Eka Ardana,
dan Asril Sutanmaraju.
Selain PWI, Bernas sendiri pada
awalnya juga membentuk tim khusus untuk meliput kasus ini. Meski begitu, tim
ini kemudian tidak berjalan dengan baik. Menurut Heru, salah satu penyebab
tidak jalannya tim ini adalah karena Putut Wiryawan, sebagai koordinator tim
dan juga wartawan senior di Bernas lebih terkonsentrasi di TPF PWI. Saat itu, Putut adalah salah satu
pengurus PWI cabang DIY.
“Pada waktu itu, PWI sebagai
organisasi profesi menuntut Tim Pencari Fakta yang jumlahnya lima orang itu
untuk bekerja maksimal. Pernyataan yang
dibuat oleh PWI itu nilainya strategis sekali. Artinya, ketika PWI atau TPF PWI
mengatakan kasus Udin ini murni berlatarbelakang pemberitaan, itu dampaknya
akan luar biasa. Karena PWI saat itu menjadi satu-satunya organisasi
kewartawanan di Indonesia,” jelas Putut.
Selain PWI, beberapa wartawan
Indonesia sebenarnya telah mendirikan organisasi profesi wartawan tandingan PWI
bernama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada 7 Agustus 1994. Saat itu, PWI
dianggap sebagai alat kekuasaan Soeharto. AJI didirikan lewat suatu deklarasi
yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi Sirnagalih setelah pemerintah membredel
tiga media massa nasional, yaitu Detik, TEMPO, dan Editor pada 21 Juni 1994.
Meski telah didirikan sejak tahun 1994, pada masa Orde Baru AJI belum mendapat
pengakuan dari pemerintah dan dianggap sebagai organisasi terlarang. Pemerintah
lewat Departemen Penerangan dan PWI memandang AJI sebagai suatu pembangkangan.
Kedua lembaga tersebut bahkan tak segan-segan menekan para pimpinan media massa
untuk memecat karyawannya yang terlibat di dalam AJI.
Setelah tim yang dibentuk oleh Bernas
tidak berjalan dengan baik, beberapa wartawan Bernas akhirnya berinisiatif
untuk meliput sendiri kasus Udin. Tak terkecuali Heru yang saat itu telah
menjabat sebagai redaktur halaman DIY. Ia bahkan sampai meninggalkan
pekerjaannya sebagai redaktur halaman agar dapat turun langsung ke lapangan. Secara
formal Heru memang tidak mengundurkan diri. Namun karena sering ke lapangan,
tugasnya sebagai redaktur halaman akhirnya digantikan oleh orang lain. “Saya
merasa perlu untuk terjun langsung di situ karena di Bernas waktu itu saya melihat gelagat bahwa kasus Udin
tidak akan dibesarkan beritanya,” ungkap Heru.
Meski begitu, pendapat Heru tentang keengganan Bernas
untuk membesarkan kasus Udin ini dibantah oleh Putut. “Di Bernas saya kira ngga
ada kebijakan untuk mereduksi pemberitaan Udin. Sama sekali tidak ada. Misalnya
mas Heru punya kekhawatiran itu, apakah dengan dia terjun langsung, terlibat
langsung, itu dia yang paling menentukan keluar tidaknya berita? Tidak. Berita
boleh dibuat oleh siapa saja, tapi ketika pemimipin redaksi memutuskan tidak ya
tidak. Ngga bisa dibantah itu,” jelas pria yang pada waktu itu menjabat sebagai
redaktur liputan di Bernas.
Di awal perjalanannya, para
wartawan Bernas ini tidak bekerja sendirian. Beberapa wartawan dari media lain
juga turut serta meliput bersama mereka. “Di awal liputan kita ke lapangan
bareng-bareng, kalau naik motor kan tidak praktis, karena banyak orang. Terus
karena kumpulnya di Bernas, maka pakai mobil Bernas. Kebetulan mobil Bernas
yang bisa dipakai di lapangan adalah mobil Kijang warna putih,” cerita Heru.
Secara formal, kelompok wartawan
yang pada akhirnya disebut sebagai Tim Kijang Putih ini tidak pernah terbentuk.
Mereka sendiri tidak pernah berpikir tentang penggunaan sebuah nama tertentu
untuk menyebut aktivitas
mereka dalam liputan ini. Awal nama Tim Kijang Putih ini sendiri datang dari
seorang wartawan koran sore Wawasan.
“Setelah berjalan beberapa waktu, ada wartawan Wawasan bernama mas Bowo yang
nyletuk, woh, nek
ngono jenenge Tim Kijang Putih iki
(wah, kalau begitu namanya tim kijang putih ini),” ucap Heru menirukan kata-kata
wartawan tersebut.
Para anggota Tim Kijang Putih biasanya
berkumpul di Bernas pada pagi hari. Di sana mereka mendiskusikan berbagai informasi baru dan tempat liputan
yang hendak dituju. Jika tempat liputan yang hendak dituju dirasa banyak,
mereka akan saling berbagi tugas. Siangnya, mereka akan saling menghubungi atau
berkumpul untuk kembali berbagi informasi.
“Kita langsung gabung aja waktu
itu, karena Bernas ada mobil yang setiap hari ke Bantul. Mobil itu memang
khusus untuk liputan Udin. Setiap hari sebelum jam sembilan kita sudah langsung
ke Bernas, menunggu teman-teman yang mau pada ikut ke sana. Setiap hari itu,” kenang
Idayanie yang dulu juga ikut meliput dalam Tim Kijang Putih.
Meski terdiri atas
wartawan-wartawan dari beragam media, eksklusifitas liputan tidak menjadi
penting lagi saat itu. “Eksklusif tidak menjadi nomor satu lagi ketika itu,
karena yang terpenting dan menjadi tujuan utama yaitu ingin mengungkap betul
apa penyebab meninggalnya Udin,” jelas Heru.
Hal senada juga diungkapkan
oleh Idayanie. Baginya, yang penting adalah terungkapnya kasus Udin. “Ngga peduli beritanya
bagaimana toh kemudian kalau kita menuliskannya, masing-masing orang kan punya
rasa sendiri, punya angle yang
berbeda. Ngga mungkin kan kita angle-nya sama,” ucap ibu dua anak
ini.
Pemerintahan Orde Baru yang
represif terhadap pers membuat kasus Udin menjadi momentum untuk melawan
pemerintah yang otoriter. “Dari situlah kami berpikir lebih baik kasus Udin ini
dijadikan simbol. Artinya jangan hanya terpendam, sehingga munculah Tim Kijang
Putih. Latar belakangnya kan untuk mengawal peristiwa, supaya menjadi momentum,
menimbulkan kesadaran sosial banyak orang,” jelas Achadi yang juga turut
bergabung di dalam Tim Kijang Putih.
Seiring berjalannya waktu,
seolah-olah terjadi persaingan antara Tim Kijang Putih dengan TPF PWI. “Bagi
wartawan kan setiap hari harus nulis berita, untuk nulis berita kan harus ada
bahan, di antara bahannya itu kita kepingin minta ke TPF, apa saja sih
perkembangan TPF yang bisa diberitakan, tapi TPF PWI ngga mau ngasih. Jadi sama
mereka disimpan sendiri untuk kepentingan organisasi, bukan pemberitaan,” jelas
Heru.
Saat itu tidak semua data yang
didapat TPF PWI dibagi ke wartawan. Namun Putut sendiri menolak jika dikatakan
bahwa TPF PWI tidak pernah membagi hasil kerjanya pada wartawan. “Kita
mengumpulkan fakta itu untuk dilaporkan pada organisasi. Tapi sekalipun
demikian, pada waktu itu kami juga tetap menyampaikan hasil-hasil yang kami
dapat kepada wartawan. Memang kemudian tidak setiap hari, tapi tetap saja ada,
yang namanya press conference yang
dilakukan oleh TPF PWI ataupun PWI tetap ada. Memang tidak semuanya bisa kita
buka, karena kalau sesuatu yang belum jelas kita buka nanti kan bisa
berantakan,” jelas pria yang sekarang menjadi Ketua Fraksi Partai Demokrat DPRD
DIY ini.
Menurut Heru, TPF PWI waktu itu
memiliki beragam keuntungan dibanding wartawan pada umumnya. Hal ini disebabkan karena TPF PWI
diperbolehkan untuk mewawancarai Edy Wuryanto secara khusus, sedangkan wartawan sendiri saat
itu tidak diperbolehkan mewawancarainya. Selain itu, TPF PWI juga diperbolehkan
untuk meminta berbagai data yang didapat oleh polisi. Sedangkan wartawan yang
sejak awal telah turut membantu penyelidikan kepolisian tidak diperbolehkan. “Mereka
lebih banyak berhubungan dengan kepolisian, sementara kami sudah melihat
kepolisian kerjanya tidak beres,” ungkap Heru.
Menurut Putut, sikap kooperatif
kepolisian terhadap TPF PWI ini disebabkan karena kelembagaan PWI dihormati
oleh siapapun. “Bahkan TPF PWI itu menyampaikan paparan di depan Direktur
Reserse Mabes Polri, dan itu kan tidak mungkin dilakukan oleh wartawan karena
wartawan kan untuk kepentingan pemberitaan, tapi kita TPF untuk kepentingan
organisasi dan profesi, sehingga akses kita memang lebih gampang,” ucap pria
yang pada Oktober 2004 lalu keluar dari Bernas setelah terkena PHK massal.
Edy Wuryanto sendiri adalah
anggota reserse Polres Bantul dan juga Kepala Unit (Kanit) yang bertugas
menyelidiki kasus kematian Udin. Pria asal Nanggulan, Kulon Progo ini menghilangkan
barang bukti berupa darah Udin yang dipinjam dari rumah sakit. Selain itu, ia
juga merupakan salah satu tokoh utama yang berada di belakang penjeblosan Dwi Sumaji
alias Iwik ke penjara. Iwik yang sehari-hari bekerja sebagai supir ini dituduh
oleh polisi sebagai pelaku pembunuhan Udin.
Menurut polisi, Iwik merasa sakit
hati karena istrinya berselingkuh dengan Udin. Meski tidak memiliki bukti-bukti
yang menguatkan Iwik sebagai pelaku pembunuhan, Polisi tetap menahannya. Kasus perselingkuhan yang digembar-gemborkan polisi
pun hanya mengada-ada karena tidak pernah terbukti. Bahkan, Berita Acara Pemeriksaan
(BAP) yang diserahkan kepolisian ke Kejaksaan
Tinggi DIY sampai ditolak empat kali karena tidak kuatnya bukti-bukti dalam BAP
tersebut.
Sebelum Iwik ditangkap,
beberapa wartawan termasuk Heru pergi meliput ke Polwil DIY (waktu itu belum
Polda DIY) untuk bertemu dengan Sukoharianto, Kabag Serse waktu itu. Waktu itu Heru melihat beberapa
analisis yang dibuat oleh kepolisian tentang penyebab terbunuhnya Udin. “Yang
ditulis di situ, semua kemungkinan mengarah ke berita, tidak ada yang lain. Jadi
polisi dari awal sudah mengarahkan hal itu ke berita. Tapi ini kan aneh, kenapa
yang ditangkap justru tidak ada sangkut pautnya dengan berita ini. Jadi ini
berita yang sudah dianalisis oleh polisi, mestinya juga sudah didalami, dan
mereka dari awal sudah menyangka hal itu sebagai latar belakang persoalan
penganiayaan Udin. Tetapi kemudian yang muncul tersangkanya malah Iwik,” ungkap
Heru.
Meski akhirnya bebas, namun
Iwik sempat meringkuk di tahanan Mapolda DIY selama 58 hari. “Sebuah kasus
kalau tidak dikawal wartawan bisa dibelokkan. Contohnya kasus Udin sendiri.
Kalau tidak dikawal wartawan, pasti yang namanya Iwik itu sudah dipenjara.
Padahal itu orang bodoh, ngah-ngoh,
dan betul-betul secara intelektual ngga masuk akal untuk memiliki keberanian
sampai membunuh orang,” jelas Idayanie.
Selain wartawan, masyarakat sendiri
saat itu sudah melihat ketidakberesan dalam kasus penangkapan Iwik. Oleh karena
itu, mereka menginginkan Iwik segera
dibebaskan. Mereka menganggap
pria lulusan SMP ini sebagai korban kekuasaan.
Kekesalan karena penangkapan
yang mengada-ada tersebut tak hanya menimpa masyarakat. Bimo Anggoro, anak
Iwik, bahkan mendadak memiliki cita-cita untuk pandai seperti Habibie. Ia ingin
membuat bom untuk mengebom Polda!
Meski menjadi tersangka sebuah
kasus pembunuhan, Iwik justru tidak dikucilkan. Ia malah dielu-elukan. Ketika
penahanannya ditangguhkan, ia sempat pulang ke rumahnya di Panasan, Triharjo,
Sleman. Saat hendak memasuki desa, terpampang sebuah spanduk bertuliskan, “Selamat
Datang DSM/Iwik.”
Pada November 1999, Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menerbitkan sebuah buku berjudul Kasus Udin: Liputan Bawah Tanah. Buku
tersebut ditulis oleh Heru Prasetya bersama sepuluh wartawan lainnya yang
tergabung dalam Tim Kijang Putih. Dalam buku tersebut diceritakan bagaimana
suasana sidang terakhir terhadap Iwik di Pengadilan Negeri Bantul pada 27
November 1997.
Saat itu terdapat tiga kelompok
yang menghadiri persidangan Iwik. Kelompok pertama adalah pendukung Iwik yang
menuntut Iwik dibebaskan. Kelompok kedua adalah mereka yang menginginkan Iwik
dihukum sesuai tuntutan jaksa. Sedangkan kelompok ketiga adalah mereka yang
tidak memihak siapa-siapa.
Kelompok pertama yang juga
terdiri dari para wartawan ini lebih banyak berada di luar ruang sidang dibandingkan
kelompok kedua. Hal ini disebabkan karena kelompok kedua selalu datang lebih cepat
dan
memenuhi ruang
sidang yang tidak terlalu luas. Bukan rahasia lagi kalau kelompok kedua
tersebut sebagian besar adalah aparat keamanan. Kebanyakan dari mereka terdiri
dari para pria berambut cepak. Meski berpakaian sipil, sebagian dari mereka
lupa mengganti bawahan seragamnya yang berwarna cokelat.
“Itu intel tok isinya. Mereka mesti bawa tas selempang kecil. Terus pura-pura
nulis pakai block note. Kadang-kadang
ada yang bawa kamera. Jadi menyamar sebagai wartawan ceritanya. Terus nanti
provokatif gitu omongannya. Njelei wis
(menyebalkan)
pokoknya. Saya itu
saking (karena terlalu) jengkelnya sama intel, sampai kalau ada intel tak
potretin. Saya dulu sampai koleksi foto intel lho saking keselnya,” kenang Idayanie seraya tertawa.
Kelompok pertama akan bertepuk
tangan jika puas terhadap persidangan dan berteriak "huuuu…" jika kecewa. Sedangkan
kekecewaan kelompok kedua akan dilampiaskan dengan teriakan lantang seperti "goblok!" Endang
Sri Murwati, selaku Ketua Majelis Hakim dalam sidang tersebut pun lambat laun
geram dengan sikap kasar kelompok kedua. “Ini bukan pasar!” bentaknya waktu itu.
Meski sebelumnya sering
menerima teror dan ancaman agar Iwik dijatuhi hukuman, Endang akhirnya justru menutup
sidang dengan vonis bebas bagi Iwik. Kegembiraan kelompok pertama pun tumpah di
halaman pengadilan. Dalam buku The
Invisible Palace yang ditulis oleh Jose Manuel Tesoro diceritakan, “Someone began singing a patriotic song,
which everyone joined in and chated. Another person launched into the opening
bars of the Indonesian national anthem. Several audience member shouted: Long
live the judges! Long live Iwik! Long live the lawyers!”
Iwik memang telah bebas waktu itu. Namun terkadang ia masih merasa terkekang. Di Yogyakarta,
orang-orang masih sering memanggil namanya ketika ia lewat. Hal serupa terjadi
pula ketika ia berkunjung ke Surabaya. Sosoknya menjadi terkenal setelah kasus
Udin. Selang tiga tahun setelah peristiwa penangkapannya, ia
merasa identitasnya sudah tidak lagi dikenal. Ia pun mencoba membangun kehidupannya
lagi dari awal.
***
Wartawan yang tergabung dalam Tim Kijang Putih
sebagian besar adalah wartawan Bernas. Dalam perjalanannya, kinerja mereka terhambat
oleh berbagai hal. Mulai dari sikap kepolisian yang tidak jelas dalam mengungkap
kasus Udin, hingga dari sisi manajemen Bernas sendiri.
Tim Kijang Putih selalu memberi masukan pada
kepolisian agar dapat mengungkap kasus Udin. Namun kepolisian sendiri terkesan
acuh tak acuh. Salah satunya adalah masukan agar polisi memeriksa Edy Wuryanto
secara intensif dalam kaitannya dengan penghilangan beberapa barang bukti dan penangkapan Iwik. “Mereka itu selalu
bilang begini, 'saya itu pingin masukan dari
teman-teman, untuk mengungkap ini saya pingin masukan, jadi jangan hanya cuma
mengejar,' padahal
kita sudah sering memberi masukan,” jelas Heru.
Selain dari kepolisian, manajemen Bernas sendiri
seolah tidak menaruh perhatian khusus terhadap kasus pembunuhan Udin. “Manajemen
Bernas sendiri tidak sepenuh hati melakukan investigasi pada kasus ini, entah
jenuh atau ada persoalan yang lain, hingga pada akhirnya saya harus keluar dari
Bernas, teman-teman lain dengan persoalan yang berbeda juga harus keluar dari Bernas,”
ungkap Heru.
Setelah tujuh bulan melakukan
peliputan mendalam terhadap kasus ini, bukan simpati yang diperoleh Heru dari Bernas.
Ia justru diminta mengundurkan diri oleh Kusfandi, pemimpin umum di Bernas pada
waktu itu.
Saat itu bulan Maret tahun
1997. Sekitar tengah hari sebelum dhuhur,
Heru kembali
ke kantor Bernas usai meliput
sidang gugatan PDI pro Megawati. Saat memasuki kantor Bernas, ia diminta oleh seorang
sekertaris redaksi untuk menemui Kusfandi, pemimpin umum dan orang paling
berkuasa di Bernas pada waktu itu.
“Pak Heru disuruh
menemui pak Kus.”
“Pak Kus siapa?”
“Pak Kusfandi.”
“Kapan?”
“Saiki (sekarang), di ruangannya.”
Heru tidak paham tentang maksud
pemanggilan itu sebelumnya. Saat itu ia hanya merasa heran karena Kusfandi
tidak pernah memanggilnya. Sesaat kemudian Heru pun pergi menemui Kusfandi.
“Ada apa pak Kus?”
“Begini dik, ternyata setelah
kami cek berkas-berkasnya dik Heru ini, ternyata anda tidak bersih lingkungan.
Sehingga anda tidak bisa menjadi wartawan.”
“Lho kok bisa pak?”
“Iya, ini data-datanya memang
seperti itu.”
“Kalau saya memang tidak bersih
lingkungan, itu saya sudah bekerja di sini selama hampir tujuh tahun, selama hampir tujuh tahun kenapa baru
sekarang saya diberitahu seperti itu pak Kus?”
“Iya ngga tau, karena kemarin
kami memang ngga tau, nah sekarang setelah kami tahu, ya seperti itu. Jadi,
untuk enaknya begini saja dik, dik Heru membuat surat pernyataan pengunduran
diri.”
Ungkapan tidak bersih
lingkungan pada jaman Orde Baru merujuk pada seseorang yang memiliki
keterkaitan atau dianggap terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Biasanya, di KTP orang-orang
tersebut terdapat tulisan "ET" yang
merupakan singkatan dari Eks Tapol. Pencantuman tulisan "ET" pada
KTP seseorang seringkali menyebabkan orang tersebut mendapat perlakuan diskriminatif
di masyarakat, entah secara politis maupun sosial. Namun kadang tidak hanya
orang tersebut yang memperoleh perlakuan diskriminatif, keluarganya pun dapat
turut menanggung beban ini.
Hal ini jugalah yang menimpa
Heru. Ternyata setelah ditelusuri, terdapat tulisan ET di KTP ayah Heru yang
merupakan mantan guru sekaligus kepala sekolah di sebuah SD. “Tapi saya tanya
ayah saya dan dia mengatakan kalau tidak pernah menjadi anggota PKI. Tidak pernah ada persidangan,
tidak pernah ada pemeriksaan. Meski begitu, ayah saya tidak pernah dipecat dari
pekerjaannya tapi tidak digaji dan tidak boleh masuk kerja,” ungkap Heru.
Heru tidak tahu dari mana Bernas mengetahui hal itu. Ia sendiri yakin jika memang ia
tidak bersih lingkungan, maka ia tidak mungkin menuliskan data mengenai hal
tersebut. Artinya, Bernas pasti memperoleh data tersebut dari pihak lain.
“Ternyata, setelah saya tanya ke teman-teman yang lain, pagi harinya, sebelum
saya datang ke ruangannya pak Kus, beberapa pimpinan Bernas baru saja datang ke
Korem,” ungkap Heru.
Maksud dari kunjungan ke Korem
tersebut tidak diketahui secara pasti oleh Heru. Namun dari penuturan beberapa
temannya, para pimpinan Bernas tersebut diundang ke Korem untuk membahas kasus Udin.
Salah satunya adalah permintaan Korem untuk menghentikan pemberitaan tentang Udin
di Bernas. Heru sendiri enggan menyebutkan identitas pimpinan di Bernas
tersebut.
Menurut Heru, cara yang paling
efektif untuk menghentikan wartawan agar tidak memberitakan kasus Udin adalah dengan
memecatnya. “Saya merasa tidak mendapat
perlakuan yang adil di sebuah perusahaan yang menurut ukuran saya sudah saya
bela mati-matian. Saya tidak diperlakukan dengan layak di situ,” ungkap Heru kecewa.
Saat itu, salah satu
permasalahan yang melintas di benak Heru adalah keluarganya. “Saya kan punya
orang tua di rumah, ada ayah, ibu, dan juga adik serta keponakan saya yang
masih sekolah, juga di bawah tanggungan saya, jadi saya kan harus berpikir. Bukan berpikir
untuk saya saja, tapi juga berpikir untuk keluarga,” kenang Heru.
Lebih dari sepuluh tahun
kemudian, Achadi mengingat peristiwa pemecatan itu. “Saya hanya melihat mas
Heru ngomong dia dah ngga kuat lagi dengan terornya dan menangis,” ucapnya
mengenang.
***
Secara resmi Heru akhirnya
mengundurkan diri pada bulan April 1997. Namun hal ini ternyata belum menjadi
akhir dari sengkarut Tim Kijang Putih. Hampir semua wartawan Bernas yang
tergabung dalam tim ini akhirnya dimutasi ke berbagai daerah, seperti Solo,
Semarang, Magelang, Purworejo, Purwokerto, dan Wonosobo.
Selang waktu antara
pemecatan Heru dengan pemutasian teman-temannya ini berdekatan. Bahkan surat
pengunduran diri Heru saja pada waktu itu belum ditulis ketika teman-temannya
dimutasi. “Jadi tidak salah kalau kemudian banyak orang mencium gelagat bahwa
ini memang upaya untuk menghentikan berita tentang Udin,” ucap Heru yang setelah keluar dari Bernas
tidak dapat meliput kasus ini dengan intens lagi.
Dalam buku Kasus Udin: Liputan Bawah Tanah dikatakan, “alasan formal yang
diberikan pimpinan koran kecil itu adalah karena daerah-daerah tadi sangat
membutuhkan wartawan handal, sehingga terpaksa ada yang dipindahkan.”
Namun alasan ini seolah
dibantah oleh Kusfandi sendiri akhirnya. Dalam wawancaranya dengan TEMPO
Interaktif pada September 1997, Kusfandi mengatakan “mereka itu bukannya
wartawan yang bagus atau berani.” Secara tidak langsung, hal ini menyiratkan
bahwa alasan pemutasian itu hanya mengada-ada belaka. Hal ini tidak dapat saya
konfirmasi pada Kusfandi karena pada tahun 2002 lalu ia telah meninggal dunia
dalam usia 62 tahun.
Akhirnya, tidak semua wartawan Bernas yang tergabung dalam Tim Kijang
Putih ini bersedia dimutasi. Sebagian besar dari mereka memilih untuk
mengundurkan diri. Jika dijumlah, saat itu terdapat 15 orang yang mengundurkan
diri dari Bernas sejak Tim Kijang Putih dipecah belah. Beberapa wartawan Bernas
yang mengundurkan diri tersebut diantaranya seperti Tarko Sudiarno, Triatmoko
Sukmo Nugroho, Purwani Dyah Prabandari, Miftahuddin, Triyanto Heri, dan
Muchamad Achadi.
“Mengapa kami mundur, atau
dikeluarkan secara halus, itu jelas karena kasus Udin sudah tidak bisa
dikendalikan lagi. Apalagi saat itu semangatnya sedang semangat melawan Orde
Baru dan pers mulai menunjukan giginya,”
ucap Achadi.
Menurut Achadi, persoalan Udin
bukan menjadi satu-satunya alasan bagi mereka untuk keluar dari Bernas. Kejenuhan
terhadap manajemen Bernas juga menjadi sebab lainnya. “Sejauh yang saya pahami,
kami ngga cocok dengan manajemen yang ada di situ, kan susah kalau hidup
dalam manajemen yang tidak ada upaya perbaikan. Kami ini bukan yang memiliki
perusahaan, namun concern kami kalau
lembaga ini dikelola baik itu akan maksimal apa yang kita lakukan,” ungkap pria
lulusan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini.
Achadi mengatakan, Bernas saat
itu merupakan media massa lokal di Yogyakarta yang cukup berani. Baginya, keberanian Bernas
dalam meliput dan membahas permasalahan-permasalahan politik dan sosial membuat
koran ini menjadi bacaan yang menarik bagi mahasiswa waktu itu. “Saya saat itu
merupakan aktivis, sehingga saya kira Bernas bisa cukup mengakomodir ekspresi
teman-teman,” kenang pria kelahiran 1972 ini.
Beberapa hari setelah Heru dipecat, Achadi pun diminta untuk
pindah ke Semarang dengan janji akan diangkat sebagai wartawan tetap Bernas.
Namun Achadi menolak karena ia belum menyelesaikan kuliahnya di IAIN. “Saya
masih bertahan di Jogja tapi sama saja, perusahaan pelan-pelan bilang ya kalau
kamu di Jogja sama saja dengan kamu mengundurkan diri,” ucap pria yang saat ini
menjadi anggota DPRD Magelang dari fraksi PKB ini.
Keberanian Bernas dalam
mengungkap hasil liputannya ini juga dibenarkan oleh Idayanie. “Tapi kemudian
polisi mencari-cari kesalahan orang, karena dianggap Bernas ini sangat berani
menentang polisi. Bahkan menentang Bupati Bantul dan sebagainya. Bupati kan yang berkuasa waktu itu. Dan yang
paling penting, bupati ini sangat dekat dengan Argomulyo, adiknya Soeharto itu. Udin
sering sekali memberitakan kasus-kasus kedekatan mereka,” jelas perempuan yang dulu sempat bekerja di majalah
D&R setelah TEMPO dibredel ini.
Argomulyo yang dimaksud
Idayanie merujuk pada sosok Noto Soewito, Kepala Desa Kemusuk, Argomulyo,
Bantul, saat itu. Udin pernah memberitakan selebaran yang dilayangkan ke
seluruh fraksi DPRD Tingkat II Bantul menjelang pemilihan Bupati Bantul untuk
masa jabatan 1996-2001. Selebaran itu berisi pernyataan Sri Roso Sudarmo yang
bersedia memberi uang satu miliar pada Yayasan Darmais yang dipimpin oleh
Soeharto, penguasa Orde Baru. Uang ini akan ia berikan jika ia kembali terpilih
sebagi Bupati Bantul untuk kedua
kalinya. Dalam selebaran tersebut terdapat tanda tangan Noto Soewito, adik tiri
Soeharto. Pada tahun 1999 lalu, Sri Roso akhirnya divonis sembilan bulan
penjara oleh Mahkamah Militer Tinggi Semarang karena kasus tersebut.
Menurut Achadi, kasus Udin
dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, kasus ini berkaitan dengan masalah
politik. Pemerintah saat itu bersikap represif terhadap dunia pers, sehingga arus informasi dan
demokrasi selama Orde Baru menjadi tersumbat. Baginya, kasus Udin merupakan
salah satu letupan yang menuntut perbaikan terhadap ketersumbatan ini. “Karena
yang terkena adalah pelaku demokrasi yaitu wartawan, solidaritasnya menjadi
massif. Media massa, ormas, mahasiswa, dan yang lain-lain jadi menemukan momentumnya. Sehingga kasus Udin
itu menurut saya merupakan bagian dari letupan yang menekan Orde Baru untuk
membuka keran demokrasi,” ungkap Achadi.
Sedangkan sisi kedua berkaitan
dengan dinamika perusahaan yang muaranya ke bisnis. “Ketika Bernas itu tumbuh,
tentu semangat Kompas dan Bernas itu berbeda dengan pemilik lokal. Kalau
pemilik lokal tentu semangatnya berdagang, bagaimana koran ini laku, survive, dan lain-lain. Kami ini ada
dalam dinamika profesionalisme, jadi bukan dalam kerangka dinamika bisnis.
Sehingga pemilik perusahaan lokal ini juga kerepotan mengendalikan kita. Saat
itu sudah sampai pada tekanan-tekanan di internal, ngapain sih kita beritakan
terus soal Udin, kan ngga baik untuk bisnis,” ujarnya.
Pada Agustus 1990, Bernas
menjalin kerjasama dengan Kelompok Kompas Gramedia. Komposisi sahamnya waktu
itu 45 persen dimiliki gabungan beberapa pemilik lama Bernas, 20 persen
karyawan Bernas dan sisanya 35 persen dimiliki Kompas. Sebelumnya, Kompas
hendak mendirikan koran lokal di Yogyakarta. Namun Departemen Penerangan tak
kunjung menerbitkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) bagi Kompas.
Akhirnya Kompas memilih bekerjasama dengan Bernas yang sudah memiliki SIUPP.
“Ketika awal koran Bernas dengan manajemen baru
itu terbit, oplahnya
banyak, sempat sampai kalau ngga salah 70 ribu, oplah yang sangat besar waktu
itu. Tetapi secara manajemen ngga dikelola secara baik, karena ternyata antara
pemilik lama, dalam hal ini pak Kus, dengan manajemen baru yang dikelola oleh
KKG itu ngga sinkron, ngga ada sinergi untuk membangun kebersamaan menjadi
koran nomor satu,” ungkap Heru.
Kesemrawutan manajemen,
pemecatan, dan pemutasian adalah kisah yang mewarnai dinamika Bernas setelah
kematian Udin. Achadi dan beberapa wartawan Bernas lainnya pun sempat terpikir
untuk melakukan perlawanan pada manajemen Bernas. “Saat
itu kami memang berpikir untuk melakukan perlawanan dan lain-lain, tapi kok
rasanya sudah lelah sekali, ngurusi kasus Udin itu sudah bagian dari kelelahan
yang luar biasa. Semangat kami kan ngga hanya semangat bekerja, tapi juga
semangat bersolidaritas, tapi selalu saja terbentur oleh kepentingan
perusahaan. Dari situlah bubar kita,” ucap Achadi.
“Sudah selesai menurut saya
itu, meskipun kami juga tetap ke lapangan, tapi memang itu usaha yang sangat
ampuh dan sangat jitu untuk menghentikan pemberitaan tentang Udin,” kenang
Heru.
***
Jika saya mati hari ini atau
besok pagi, saya ingin berdiri.
Kalau diperkenankan Tuhan,
di belakang arwah Udin yang
sedang menghadapnya.
Dan saya akan merasa bangga
karena itu.
Kini orang menyelesaikan
persoalan dengan jalan pintas;
membunuh, mengurung, membisukan
orang lain.
Terkadang kita bertanya-tanya,
benarkah hari ini manusia
memang layak mewakili Tuhan di bumi.
Hanya jiwa yang tidak gentar
seperti Udin yang bisa mengingatkan kita;
kita bukan makhluk nista.
Puisi diatas dikirim lewat
faksimili ke kantor Bernas oleh Goenawan Mohammad, salah satu pendiri TEMPO, sehari
setelah Udin meninggal. Tidak hanya Goenawan Mohammad yang menyampaikan dukanya
atas kepergian Udin. Warga Bawuran, Pleret, Bantul, juga turut menyampaikan dukanya
dalam sebuah surat.
“Telah banyak yang kamu berikan
kepada kami. Bukan hanya sekedar berita yang kami baca, tapi sebuah pencerahan
jiwa. Sebab berita yang kau tulis umumnya berhubungan dengan nasib rakyat yang
menderita. Yang sering tidak berdaya bila berhadapan dengan penguasa… Kehadiranmu
di desa kami telah memberikan pencerahan jiwa kami. Kami yang semula gelisah,
menjadi tenang karena ada perlindungan... Selamat jalan Udin. Jasamu tak akan
pernah kami lupakan…” demikian petikan surat warga Bawuran tersebut. Sebelum
meninggal, Udin dan beberapa wartawan lainnya pernah memperjuangkan nasib warga
Bawuran yang harus membayar biaya sertifikasi tanah lima kali lipat lebih
tinggi dari biaya seharusnya.
Dalam buku Kasus Udin: Liputan Bawah Tanah, Marsiyem, istri Udin, menulis. “Menjadi seorang wartawan memang telah menjadi tekadnya sejak awal.
Bahkan, sejak dini ia juga menyadari berbagai resiko yang harus dihadapi dengan
pilihan tersebut… Suatu saat pernah dia bilang, walau pun harus mati akan aku
terima. Itulah yang selalu aku ingat dalam benakku dan membuatku harus
mengatakan pada diriku sendiri bahwa aku pun harus siap terhadap segala
resikonya. Namun jujur aku akui, sebenarnya aku tidak siap dengan resiko
seberat ini… Terakhir, untuk rekan-rekan wartawan di seluruh penjuru dunia yang
sempat membaca ini, teruskanlah perjuangan kalian dalam membela kebenaran dan
keberpihakan terhadap rakyat kecil. Aku tahu, untuk itu kalian harus menghadapi
tantangan dan ancaman yang mungkin akan merenggut nyawa kalian. Tetapi itulah
arti sebuah perjuangan.”
*****
*Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di majalah PASTI pada Agustus 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar