Pages

Minggu, 04 September 2011

Matinya Kijang Putih

“Sebuah kasus kalau tidak dikawal wartawan bisa dibelokkan.”

oleh: Henry Adrian

Malam itu Heru Prasetya sedang bekerja di kantor Bernas. Suasana kantor tampak seperti biasanya. Sebagian besar wartawan telah pulang, sedangkan yang masih berada di kantor kebanyakan adalah redaktur.
Fuad Muhammad Syafruddin. (Dok. Buku "Kasus Udin: Liputan Bawah Tanah")
Di tempat lain, seorang wartawan Bernas bernama Fuad Muhammad Syafruddin dianiaya oleh orang tak dikenal di beranda rumah kontrakannya. Akibatnya, pria yang akrab disapa Udin ini jatuh bersimbah darah tak sadarkan diri. Sejak saat itu Udin tidak pernah sadar. Koresponden Bernas untuk daerah liputan Bantul ini akhirnya meninggal tiga hari kemudian. 16 Agustus 1996 menjadi tanggal terakhir yang tertera di nisannya.


***

Wajah pria itu sudah tampak menua. Sebagian rambutnya telah memutih. Pembawaannya ramah dan nada bicaranya tenang, tidak meledak-ledak. Pria itu adalah Heru Prasetya. Ia bekerja di Surat Kabar Harian Bernas sejak tahun 1990. Saat itu, Bernas yang baru saja bergabung dengan Kelompok Kompas Gramedia membuka lowongan untuk bekerja sebagai wartawan. Merasa tertarik, Heru pun mendaftar ke Bernas. Menurutnya, bekerja sebagai wartawan itu menantang dan bisa memiliki banyak pengetahuan.
Selama bekerja sebagai wartawan Bernas, Heru pernah ditempatkan di berbagai kota. Mulai dari Purwokerto, Semarang, hingga pada akhir tahun 1992 dipindah ke Yogyakarta dan diberi tugas sebagai asisten redaktur halaman daerah.
Sejak bekerja sebagai asisten redaktur halaman itulah Heru mengenal Udin. Saat pertama kali bertemu dengan Udin, Heru merasa takut. Maklum, badan Heru kecil, tidak sebanding dengan  badan Udin yang tinggi dan besar. Wajah Udin pun serius dan jarang membuang senyum.
Namun seiring berjalannya waktu, kesan pertama yang muncul di benak Heru pada Udin itu pun pupus. Meski berperangai menakutkan, ternyata Udin pun dapat diajak berkelakar. “Orangnya angker tapi tabiatnya sangat lemah lembut,” kenang Heru.
Malam sebelum dianiaya, Udin datang ke kantor Bernas untuk mengetik berita dan menyerahkannya pada Heru seperti biasa. Berita terakhir yang ditulis oleh Udin adalah tentang korupsi pembangunan jalan. Ketika berita itu keluar di Bernas, Udin sudah tidak dapat membaca berita itu lagi karena ia telah koma di rumah sakit.
Heru tidak ingat persis kapan ia memperoleh kabar tentang penganiayaan Udin. Tapi yang jelas, ketika ia datang ke Bernas keesokan paginya, suasana kantor sudah ramai membicarakan hal tersebut. Saat itu belum terbayang di benak Heru dan teman-temannya di Bernas kalau Udin akan meninggal. “Apalagi badannya mas Udin kan besar, jadi ngga nyangka kalau ternyata begitu parah, bahkan sampai meninggal,” jelas Heru.
Setelah itu, Heru pun pergi ke tempat Joko Mulyono. Udin dan Joko Mulyono merupakan koresponden Bernas di Bantul. Biasanya Udin meliput berita-berita kriminal di Bantul, sedangkan Joko meliput berita-berita seputar pemerintahan Bantul. Heru pun bertanya tentang kabar penganiayaan tersebut pada Joko, tapi Joko kebanyakan menjawab tidak tahu.
Menurut Heru, kisah penganiayaan Udin waktu itu ternyata tidak menarik simpati dari pimpinan di Bernas. Meski Udin merupakan koresponden Bernas, namun pimpinan Bernas waktu itu enggan memuat berita tentang penganiayaan Udin di korannya. “Menurut pimpinan di kantor, itu merupakan berita biasa, jadi ngga dimuat ngga apa-apa, ngga ada nilai layaknya,” ucap pria 45 tahun ini.
Setelah mendapat alasan seperti itu, Heru dan beberapa temannya di Bernas lantas melobi para pimpinan di kantornya agar bersedia memuat berita tentang penganiayaan Udin. “Bagaimanapun, layak atau tidak layak, Udin itu adalah saudara kita yang sedang terkena persoalan, masa kita tidak memberitakan,” ucap Heru waktu itu. Akhirnya usaha tersebut tak sia-sia. Keesokan harinya, berita penganiayaan Udin dimuat dalam sebuah kolom di Bernas.
Selang satu hari setelah berita tersebut dimuat di Bernas, Udin akhirnya meninggal. Ia meninggal sekitar jam lima sore di Rumah Sakit Bethesda, Yogyakarta. Setelah sore itu, bukan hanya gelapnya langit malam yang mengiringi kepergiannya, namun juga gelapnya sosok pelaku pembunuhan yang belum terungkap hingga hari ini.

***

Semula Udin sebenarnya ingin menjadi tentara. Ia pun mendaftar ke Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) di Bandung. Namun karena tidak diterima, pria kelahiran 18 Februari 1963 ini pun lantas kembali ke Yogyakarta untuk membantu ayahnya yang bekerja sebagai tukang batu. Hingga akhirnya, pada tahun 1986 Udin mendaftar ke Bernas dan diterima sebagai koresponden Bernas sekaligus agen koran Bernas dan majalah Djoko Lodang. Pada tahun itu pula Udin diangkat sebagai koresponden Bernas untuk daerah liputan Bantul dan sekitarnya.
Banyak pihak berpendapat jika kematian Udin berkaitan dengan berita-berita yang ia tulis di Bernas sesaat sebelum ia dibunuh. Mulai dari penyunatan dana Inpres Desa Tertinggal (IDT) di Desa Karangtengah, Imogiri, Bantul, sampai pada berita pemilihan Bupati Bantul.
“Saya masih meyakini sampai sekarang bahwa latar belakang pembunuhan Udin adalah berita yang pernah ditulis olehnya. Karena menurut saya sebagai salah satu redakturnya, berita-beritanya itu memang kritis. Saya tidak berbicara soal kualitas penulisan, saya berbicara tentang isi berita. Dan itu saya tidak melihat di wartawan-wartawan di Bantul dari media manapun,” jelas Heru.
Menurut Heru, berita-berita yang ditulis oleh Udin akan membuat marah beberapa orang. Seingatnya, dalam seminggu Udin pasti selalu menulis berita kritis. “Kalau ada yang salah dia betul-betul tulis bahwa itu salah, dan dia tidak tedeng aling-aling (basa-basi) ketika mengungkapnya,” kenang Heru.
Hal senada juga diungkapkan oleh Muchamad Achadi, mantan koresponden Bernas yang waktu itu kerap menulis berita tentang politik dan agama di Bernas. “Saya melihat sisi Udinnya cukup kritis, mas Herunya sebagai redaktur juga cukup mengakomodir itu, dan secara kelembagaan di Bernas, rasa-rasanya memang tidak ada sensor secara langsung. Saat itu yang saya pahami kalau ada berita-berita keras paling kita mendapat telepon dari Pangdam, Korem, dan macem-macem.”
Meski sering menulis berita kritis, hubungan Udin dengan narasumber tetap baik. Hal ini diungkapkan oleh Heru karena ia sendiri seringkali meliput bersama Udin. “Di kantor polisi, hampir semua reserse mengenal Udin, di pengadilan, pemerintah kabupaten, dan DPRD juga begitu,” ungkap Heru.
Namun Heru sendiri tidak tahu apakah Udin memiliki hubungan yang baik dengan Kolonel Sri Roso Sudarmo, Bupati Bantul waktu itu. Sri Roso merupakan tokoh yang diduga berada di balik pembunuhan Udin. Tulisan-tulisan Udin yang sering menyerang Bupati Bantul dan membongkar korupsi di Bantul diduga menjadi alasan pembunuhan. Meski begitu, secara hukum hal ini belum terbukti karena pelaku pembunuhan Udin yang sesungguhnya belum terungkap.
Sebenarnya, beberapa hari setelah pembunuhan itu terjadi, Ade Subardan, Kapolres Bantul waktu itu, sempat berkata bahwa identitas pelaku sudah diketahui. Ia bahkan sempat berkata, “dua sampai tiga hari ini dapat tertangkap, percayakan saja pada kami,” ungkap Ade waktu itu. Namun perkataan Ade ini tak pernah terlaksana. Tiga bulan kemudian Ade Subardan justru dipindahtugaskan ke Inspektorat Kepolisian Daerah Irian Jaya.
“Kelihatannya dia tahu siapa pelakunya. Nyatanya kemudian, ngga tahu ada tangan-tangan dari mana yang kemudian ikut campur, dia dipindah ke Irian. Bahkan katanya sempat stres. Saya pernah menelepon dia ketika dia di Irian. Dia bilang, 'oh maaf, saya sudah tidak mau lagi bicara soal itu.' Kelihatan dari nada bicaranya, dia seperti orang yang sangat tertekan, terputus-putus ngomongnya, dan dia merasa, sudah, saya tidak mau lagi mengingat masalah itu. Berarti kan ada sesuatu,” ungkap L. N Idayanie, redaktur Koran Tempo Biro Jawa Tengah dan DIY yang dulu juga meliput kasus Udin.
 
***

Gelapnya latar belakang dan aktor yang berada di balik pembunuhan Udin membuat berbagai media massa lokal, nasional, maupun internasional ikut terjun meliput kasus ini. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sendiri sampai membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) untuk menyelidiki kasus kematian Udin. “Karena yang meninggal adalah wartawan, dan Udin adalah anggota PWI, maka mereka merasa punya kewajiban untuk mengungkap kasus itu, maka dibentuklah Tim Pencari Fakta PWI,” jelas Heru.
Pada waktu itu anggota TPF PWI terdiri dari lima orang wartawan. Diantaranya adalah Masduki Atamami yang merupakan koordinator TPF PWI, Putut Wiryawan, Nurhadi, Sutirman Eka Ardana, dan Asril Sutanmaraju.
Selain PWI, Bernas sendiri pada awalnya juga membentuk tim khusus untuk meliput kasus ini. Meski begitu, tim ini kemudian tidak berjalan dengan baik. Menurut Heru, salah satu penyebab tidak jalannya tim ini adalah karena Putut Wiryawan, sebagai koordinator tim dan juga wartawan senior di Bernas lebih terkonsentrasi di TPF PWI. Saat itu, Putut adalah salah satu pengurus PWI cabang DIY.
“Pada waktu itu, PWI sebagai organisasi profesi menuntut Tim Pencari Fakta yang jumlahnya lima orang itu untuk bekerja maksimal. Pernyataan yang dibuat oleh PWI itu nilainya strategis sekali. Artinya, ketika PWI atau TPF PWI mengatakan kasus Udin ini murni berlatarbelakang pemberitaan, itu dampaknya akan luar biasa. Karena PWI saat itu menjadi satu-satunya organisasi kewartawanan di Indonesia,” jelas Putut.
Selain PWI, beberapa wartawan Indonesia sebenarnya telah mendirikan organisasi profesi wartawan tandingan PWI bernama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada 7 Agustus 1994. Saat itu, PWI dianggap sebagai alat kekuasaan Soeharto. AJI didirikan lewat suatu deklarasi yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi Sirnagalih setelah pemerintah membredel tiga media massa nasional, yaitu Detik, TEMPO, dan Editor pada 21 Juni 1994. Meski telah didirikan sejak tahun 1994, pada masa Orde Baru AJI belum mendapat pengakuan dari pemerintah dan dianggap sebagai organisasi terlarang. Pemerintah lewat Departemen Penerangan dan PWI memandang AJI sebagai suatu pembangkangan. Kedua lembaga tersebut bahkan tak segan-segan menekan para pimpinan media massa untuk memecat karyawannya yang terlibat di dalam AJI.
Setelah tim yang dibentuk oleh Bernas tidak berjalan dengan baik, beberapa wartawan Bernas akhirnya berinisiatif untuk meliput sendiri kasus Udin. Tak terkecuali Heru yang saat itu telah menjabat sebagai redaktur halaman DIY. Ia bahkan sampai meninggalkan pekerjaannya sebagai redaktur halaman agar dapat turun langsung ke lapangan. Secara formal Heru memang tidak mengundurkan diri. Namun karena sering ke lapangan, tugasnya sebagai redaktur halaman akhirnya digantikan oleh orang lain. “Saya merasa perlu untuk terjun langsung di situ karena di Bernas waktu itu saya melihat gelagat bahwa kasus Udin tidak akan dibesarkan beritanya,” ungkap Heru.
Meski begitu, pendapat Heru tentang keengganan Bernas untuk membesarkan kasus Udin ini dibantah oleh Putut. “Di Bernas saya kira ngga ada kebijakan untuk mereduksi pemberitaan Udin. Sama sekali tidak ada. Misalnya mas Heru punya kekhawatiran itu, apakah dengan dia terjun langsung, terlibat langsung, itu dia yang paling menentukan keluar tidaknya berita? Tidak. Berita boleh dibuat oleh siapa saja, tapi ketika pemimipin redaksi memutuskan tidak ya tidak. Ngga bisa dibantah itu,” jelas pria yang pada waktu itu menjabat sebagai redaktur liputan di Bernas.
Di awal perjalanannya, para wartawan Bernas ini tidak bekerja sendirian. Beberapa wartawan dari media lain juga turut serta meliput bersama mereka. “Di awal liputan kita ke lapangan bareng-bareng, kalau naik motor kan tidak praktis, karena banyak orang. Terus karena kumpulnya di Bernas, maka pakai mobil Bernas. Kebetulan mobil Bernas yang bisa dipakai di lapangan adalah mobil Kijang warna putih,” cerita Heru.
Secara formal, kelompok wartawan yang pada akhirnya disebut sebagai Tim Kijang Putih ini tidak pernah terbentuk. Mereka sendiri tidak pernah berpikir tentang penggunaan sebuah nama tertentu untuk menyebut aktivitas mereka dalam liputan ini. Awal nama Tim Kijang Putih ini sendiri datang dari seorang wartawan koran sore Wawasan. “Setelah berjalan beberapa waktu, ada wartawan Wawasan bernama mas Bowo yang nyletuk, woh, nek ngono jenenge Tim Kijang Putih iki (wah, kalau begitu namanya tim kijang putih ini),” ucap Heru menirukan kata-kata wartawan tersebut.
Para anggota Tim Kijang Putih biasanya berkumpul di Bernas pada pagi hari. Di sana mereka mendiskusikan berbagai informasi baru dan tempat liputan yang hendak dituju. Jika tempat liputan yang hendak dituju dirasa banyak, mereka akan saling berbagi tugas. Siangnya, mereka akan saling menghubungi atau berkumpul untuk kembali berbagi informasi.
“Kita langsung gabung aja waktu itu, karena Bernas ada mobil yang setiap hari ke Bantul. Mobil itu memang khusus untuk liputan Udin. Setiap hari sebelum jam sembilan kita sudah langsung ke Bernas, menunggu teman-teman yang mau pada ikut ke sana. Setiap hari itu,” kenang Idayanie yang dulu juga ikut meliput dalam Tim Kijang Putih.
Meski terdiri atas wartawan-wartawan dari beragam media, eksklusifitas liputan tidak menjadi penting lagi saat itu. “Eksklusif tidak menjadi nomor satu lagi ketika itu, karena yang terpenting dan menjadi tujuan utama yaitu ingin mengungkap betul apa penyebab meninggalnya Udin,” jelas Heru.
Hal senada juga diungkapkan oleh Idayanie. Baginya, yang penting adalah terungkapnya kasus Udin. “Ngga peduli beritanya bagaimana toh kemudian kalau kita menuliskannya, masing-masing orang kan punya rasa sendiri, punya angle yang berbeda. Ngga mungkin kan kita angle-nya sama,” ucap ibu dua anak ini.
Pemerintahan Orde Baru yang represif terhadap pers membuat kasus Udin menjadi momentum untuk melawan pemerintah yang otoriter. “Dari situlah kami berpikir lebih baik kasus Udin ini dijadikan simbol. Artinya jangan hanya terpendam, sehingga munculah Tim Kijang Putih. Latar belakangnya kan untuk mengawal peristiwa, supaya menjadi momentum, menimbulkan kesadaran sosial banyak orang,” jelas Achadi yang juga turut bergabung di dalam Tim Kijang Putih.
Seiring berjalannya waktu, seolah-olah terjadi persaingan antara Tim Kijang Putih dengan TPF PWI. “Bagi wartawan kan setiap hari harus nulis berita, untuk nulis berita kan harus ada bahan, di antara bahannya itu kita kepingin minta ke TPF, apa saja sih perkembangan TPF yang bisa diberitakan, tapi TPF PWI ngga mau ngasih. Jadi sama mereka disimpan sendiri untuk kepentingan organisasi, bukan pemberitaan,” jelas Heru.
Saat itu tidak semua data yang didapat TPF PWI dibagi ke wartawan. Namun Putut sendiri menolak jika dikatakan bahwa TPF PWI tidak pernah membagi hasil kerjanya pada wartawan. “Kita mengumpulkan fakta itu untuk dilaporkan pada organisasi. Tapi sekalipun demikian, pada waktu itu kami juga tetap menyampaikan hasil-hasil yang kami dapat kepada wartawan. Memang kemudian tidak setiap hari, tapi tetap saja ada, yang namanya press conference yang dilakukan oleh TPF PWI ataupun PWI tetap ada. Memang tidak semuanya bisa kita buka, karena kalau sesuatu yang belum jelas kita buka nanti kan bisa berantakan,” jelas pria yang sekarang menjadi Ketua Fraksi Partai Demokrat DPRD DIY ini.
Menurut Heru, TPF PWI waktu itu memiliki beragam keuntungan dibanding wartawan pada umumnya. Hal ini disebabkan karena TPF PWI diperbolehkan untuk mewawancarai Edy Wuryanto secara khusus, sedangkan wartawan sendiri saat itu tidak diperbolehkan mewawancarainya. Selain itu, TPF PWI juga diperbolehkan untuk meminta berbagai data yang didapat oleh polisi. Sedangkan wartawan yang sejak awal telah turut membantu penyelidikan kepolisian tidak diperbolehkan. “Mereka lebih banyak berhubungan dengan kepolisian, sementara kami sudah melihat kepolisian kerjanya tidak beres,” ungkap Heru.
Menurut Putut, sikap kooperatif kepolisian terhadap TPF PWI ini disebabkan karena kelembagaan PWI dihormati oleh siapapun. “Bahkan TPF PWI itu menyampaikan paparan di depan Direktur Reserse Mabes Polri, dan itu kan tidak mungkin dilakukan oleh wartawan karena wartawan kan untuk kepentingan pemberitaan, tapi kita TPF untuk kepentingan organisasi dan profesi, sehingga akses kita memang lebih gampang,” ucap pria yang pada Oktober 2004 lalu keluar dari Bernas setelah terkena PHK massal.
Edy Wuryanto sendiri adalah anggota reserse Polres Bantul dan juga Kepala Unit (Kanit) yang bertugas menyelidiki kasus kematian Udin. Pria asal Nanggulan, Kulon Progo ini menghilangkan barang bukti berupa darah Udin yang dipinjam dari rumah sakit. Selain itu, ia juga merupakan salah satu tokoh utama yang berada di belakang penjeblosan Dwi Sumaji alias Iwik ke penjara. Iwik yang sehari-hari bekerja sebagai supir ini dituduh oleh polisi sebagai pelaku pembunuhan Udin.
Menurut polisi, Iwik merasa sakit hati karena istrinya berselingkuh dengan Udin. Meski tidak memiliki bukti-bukti yang menguatkan Iwik sebagai pelaku pembunuhan, Polisi tetap menahannya. Kasus perselingkuhan yang digembar-gemborkan polisi pun hanya mengada-ada karena tidak pernah terbukti. Bahkan, Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang diserahkan kepolisian ke Kejaksaan Tinggi DIY sampai ditolak empat kali karena tidak kuatnya bukti-bukti dalam BAP tersebut.
Sebelum Iwik ditangkap, beberapa wartawan termasuk Heru pergi meliput ke Polwil DIY (waktu itu belum Polda DIY) untuk bertemu dengan Sukoharianto, Kabag Serse waktu itu. Waktu itu Heru melihat beberapa analisis yang dibuat oleh kepolisian tentang penyebab terbunuhnya Udin. “Yang ditulis di situ, semua kemungkinan mengarah ke berita, tidak ada yang lain. Jadi polisi dari awal sudah mengarahkan hal itu ke berita. Tapi ini kan aneh, kenapa yang ditangkap justru tidak ada sangkut pautnya dengan berita ini. Jadi ini berita yang sudah dianalisis oleh polisi, mestinya juga sudah didalami, dan mereka dari awal sudah menyangka hal itu sebagai latar belakang persoalan penganiayaan Udin. Tetapi kemudian yang muncul tersangkanya malah Iwik,” ungkap Heru.
Meski akhirnya bebas, namun Iwik sempat meringkuk di tahanan Mapolda DIY selama 58 hari. “Sebuah kasus kalau tidak dikawal wartawan bisa dibelokkan. Contohnya kasus Udin sendiri. Kalau tidak dikawal wartawan, pasti yang namanya Iwik itu sudah dipenjara. Padahal itu orang bodoh, ngah-ngoh, dan betul-betul secara intelektual ngga masuk akal untuk memiliki keberanian sampai membunuh orang,” jelas Idayanie.
Selain wartawan, masyarakat sendiri saat itu sudah melihat ketidakberesan dalam kasus penangkapan Iwik. Oleh karena itu, mereka menginginkan Iwik segera dibebaskan. Mereka menganggap pria lulusan SMP ini sebagai korban kekuasaan.
Kekesalan karena penangkapan yang mengada-ada tersebut tak hanya menimpa masyarakat. Bimo Anggoro, anak Iwik, bahkan mendadak memiliki cita-cita untuk pandai seperti Habibie. Ia ingin membuat bom untuk mengebom Polda!
Meski menjadi tersangka sebuah kasus pembunuhan, Iwik justru tidak dikucilkan. Ia malah dielu-elukan. Ketika penahanannya ditangguhkan, ia sempat pulang ke rumahnya di Panasan, Triharjo, Sleman. Saat hendak memasuki desa, terpampang sebuah spanduk bertuliskan, “Selamat Datang DSM/Iwik.”
Pada November 1999, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menerbitkan sebuah buku berjudul Kasus Udin: Liputan Bawah Tanah. Buku tersebut ditulis oleh Heru Prasetya bersama sepuluh wartawan lainnya yang tergabung dalam Tim Kijang Putih. Dalam buku tersebut diceritakan bagaimana suasana sidang terakhir terhadap Iwik di Pengadilan Negeri Bantul pada 27 November 1997.
Saat itu terdapat tiga kelompok yang menghadiri persidangan Iwik. Kelompok pertama adalah pendukung Iwik yang menuntut Iwik dibebaskan. Kelompok kedua adalah mereka yang menginginkan Iwik dihukum sesuai tuntutan jaksa. Sedangkan kelompok ketiga adalah mereka yang tidak memihak siapa-siapa.
Kelompok pertama yang juga terdiri dari para wartawan ini lebih banyak berada di luar ruang sidang dibandingkan kelompok kedua. Hal ini disebabkan karena kelompok kedua selalu datang lebih cepat dan memenuhi ruang sidang yang tidak terlalu luas. Bukan rahasia lagi kalau kelompok kedua tersebut sebagian besar adalah aparat keamanan. Kebanyakan dari mereka terdiri dari para pria berambut cepak. Meski berpakaian sipil, sebagian dari mereka lupa mengganti bawahan seragamnya yang berwarna cokelat.
“Itu intel tok isinya. Mereka mesti bawa tas selempang kecil. Terus pura-pura nulis pakai block note. Kadang-kadang ada yang bawa kamera. Jadi menyamar sebagai wartawan ceritanya. Terus nanti provokatif gitu omongannya. Njelei wis (menyebalkan) pokoknya. Saya itu saking (karena terlalu) jengkelnya sama intel, sampai kalau ada intel tak potretin. Saya dulu sampai koleksi foto intel lho saking keselnya,” kenang Idayanie seraya tertawa.
Kelompok pertama akan bertepuk tangan jika puas terhadap persidangan dan berteriak "huuuu…" jika kecewa. Sedangkan kekecewaan kelompok kedua akan dilampiaskan dengan teriakan lantang seperti "goblok!" Endang Sri Murwati, selaku Ketua Majelis Hakim dalam sidang tersebut pun lambat laun geram dengan sikap kasar kelompok kedua. “Ini bukan pasar!” bentaknya waktu itu.
Meski sebelumnya sering menerima teror dan ancaman agar Iwik dijatuhi hukuman, Endang akhirnya justru menutup sidang dengan vonis bebas bagi Iwik. Kegembiraan kelompok pertama pun tumpah di halaman pengadilan. Dalam buku The Invisible Palace yang ditulis oleh Jose Manuel Tesoro diceritakan, “Someone began singing a patriotic song, which everyone joined in and chated. Another person launched into the opening bars of the Indonesian national anthem. Several audience member shouted: Long live the judges! Long live Iwik! Long live the lawyers!
Iwik memang telah bebas waktu itu. Namun terkadang ia masih merasa terkekang. Di Yogyakarta, orang-orang masih sering memanggil namanya ketika ia lewat. Hal serupa terjadi pula ketika ia berkunjung ke Surabaya. Sosoknya menjadi terkenal setelah kasus Udin. Selang tiga tahun setelah peristiwa penangkapannya, ia merasa identitasnya sudah tidak lagi dikenal. Ia pun mencoba membangun kehidupannya lagi dari awal.

***

Wartawan yang tergabung dalam Tim Kijang Putih sebagian besar adalah wartawan Bernas. Dalam perjalanannya, kinerja mereka terhambat oleh berbagai hal. Mulai dari sikap kepolisian yang tidak jelas dalam mengungkap kasus Udin, hingga dari sisi manajemen Bernas sendiri.
Tim Kijang Putih selalu memberi masukan pada kepolisian agar dapat mengungkap kasus Udin. Namun kepolisian sendiri terkesan acuh tak acuh. Salah satunya adalah masukan agar polisi memeriksa Edy Wuryanto secara intensif dalam kaitannya dengan penghilangan beberapa barang bukti  dan penangkapan Iwik. “Mereka itu selalu bilang begini, 'saya itu pingin masukan dari teman-teman, untuk mengungkap ini saya pingin masukan, jadi jangan hanya cuma mengejar,' padahal kita sudah sering memberi masukan,” jelas Heru.
Selain dari kepolisian, manajemen Bernas sendiri seolah tidak menaruh perhatian khusus terhadap kasus pembunuhan Udin. “Manajemen Bernas sendiri tidak sepenuh hati melakukan investigasi pada kasus ini, entah jenuh atau ada persoalan yang lain, hingga pada akhirnya saya harus keluar dari Bernas, teman-teman lain dengan persoalan yang berbeda juga harus keluar dari Bernas,” ungkap Heru.
Setelah tujuh bulan melakukan peliputan mendalam terhadap kasus ini, bukan simpati yang diperoleh Heru dari Bernas. Ia justru diminta mengundurkan diri oleh Kusfandi, pemimpin umum di Bernas pada waktu itu.
Saat itu bulan Maret tahun 1997. Sekitar tengah hari sebelum dhuhur, Heru kembali ke kantor Bernas usai meliput sidang gugatan PDI pro Megawati. Saat memasuki kantor Bernas, ia diminta oleh seorang sekertaris redaksi untuk menemui Kusfandi, pemimpin umum dan orang paling berkuasa di Bernas pada waktu itu.
“Pak Heru disuruh menemui pak Kus.”
“Pak Kus siapa?”
“Pak Kusfandi.”
“Kapan?”
Saiki (sekarang), di ruangannya.”
Heru tidak paham tentang maksud pemanggilan itu sebelumnya. Saat itu ia hanya merasa heran karena Kusfandi tidak pernah memanggilnya. Sesaat kemudian Heru pun pergi menemui Kusfandi.
“Ada apa pak Kus?”
“Begini dik, ternyata setelah kami cek berkas-berkasnya dik Heru ini, ternyata anda tidak bersih lingkungan. Sehingga anda tidak bisa menjadi wartawan.”
Lho kok bisa pak?”
“Iya, ini data-datanya memang seperti itu.”
“Kalau saya memang tidak bersih lingkungan, itu saya sudah bekerja di sini selama hampir tujuh tahun, selama hampir tujuh tahun kenapa baru sekarang saya diberitahu seperti itu pak Kus?”
“Iya ngga tau, karena kemarin kami memang ngga tau, nah sekarang setelah kami tahu, ya seperti itu. Jadi, untuk enaknya begini saja dik, dik Heru membuat surat pernyataan pengunduran diri.”
Ungkapan tidak bersih lingkungan pada jaman Orde Baru merujuk pada seseorang yang memiliki keterkaitan atau dianggap terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Biasanya, di KTP orang-orang tersebut terdapat tulisan "ET" yang merupakan singkatan dari Eks Tapol. Pencantuman tulisan "ET" pada KTP seseorang seringkali menyebabkan orang tersebut mendapat perlakuan diskriminatif di masyarakat, entah secara politis maupun sosial. Namun kadang tidak hanya orang tersebut yang memperoleh perlakuan diskriminatif, keluarganya pun dapat turut menanggung beban ini.
Hal ini jugalah yang menimpa Heru. Ternyata setelah ditelusuri, terdapat tulisan ET di KTP ayah Heru yang merupakan mantan guru sekaligus kepala sekolah di sebuah SD. “Tapi saya tanya ayah saya dan dia mengatakan kalau tidak pernah menjadi anggota PKI. Tidak pernah ada persidangan, tidak pernah ada pemeriksaan. Meski begitu, ayah saya tidak pernah dipecat dari pekerjaannya tapi tidak digaji dan tidak boleh masuk kerja,” ungkap Heru.
Heru tidak tahu dari mana Bernas mengetahui hal itu. Ia sendiri yakin jika memang ia tidak bersih lingkungan, maka ia tidak mungkin menuliskan data mengenai hal tersebut. Artinya, Bernas pasti memperoleh data tersebut dari pihak lain. “Ternyata, setelah saya tanya ke teman-teman yang lain, pagi harinya, sebelum saya datang ke ruangannya pak Kus, beberapa pimpinan Bernas baru saja datang ke Korem,” ungkap Heru.
Maksud dari kunjungan ke Korem tersebut tidak diketahui secara pasti oleh Heru. Namun dari penuturan beberapa temannya, para pimpinan Bernas tersebut diundang ke Korem untuk membahas kasus Udin. Salah satunya adalah permintaan Korem untuk menghentikan pemberitaan tentang Udin di Bernas. Heru sendiri enggan menyebutkan identitas pimpinan di Bernas tersebut.
Menurut Heru, cara yang paling efektif untuk menghentikan wartawan agar tidak memberitakan kasus Udin adalah dengan memecatnya. “Saya merasa tidak mendapat perlakuan yang adil di sebuah perusahaan yang menurut ukuran saya sudah saya bela mati-matian. Saya tidak diperlakukan dengan layak di situ,” ungkap Heru kecewa.
Saat itu, salah satu permasalahan yang melintas di benak Heru adalah keluarganya. “Saya kan punya orang tua di rumah, ada ayah, ibu, dan juga adik serta keponakan saya yang masih sekolah, juga di bawah tanggungan saya, jadi saya kan harus berpikir. Bukan berpikir untuk saya saja, tapi juga berpikir untuk keluarga,” kenang Heru.
Lebih dari sepuluh tahun kemudian, Achadi mengingat peristiwa pemecatan itu. “Saya hanya melihat mas Heru ngomong dia dah ngga kuat lagi dengan terornya dan menangis,” ucapnya mengenang.

***

Secara resmi Heru akhirnya mengundurkan diri pada bulan April 1997. Namun hal ini ternyata belum menjadi akhir dari sengkarut Tim Kijang Putih. Hampir semua wartawan Bernas yang tergabung dalam tim ini akhirnya dimutasi ke berbagai daerah, seperti Solo, Semarang, Magelang, Purworejo, Purwokerto, dan Wonosobo. 
Selang waktu antara pemecatan Heru dengan pemutasian teman-temannya ini berdekatan. Bahkan surat pengunduran diri Heru saja pada waktu itu belum ditulis ketika teman-temannya dimutasi. “Jadi tidak salah kalau kemudian banyak orang mencium gelagat bahwa ini memang upaya untuk menghentikan berita tentang Udin,” ucap Heru yang setelah keluar dari Bernas tidak dapat meliput kasus ini dengan intens lagi.
Dalam buku Kasus Udin: Liputan Bawah Tanah dikatakan, “alasan formal yang diberikan pimpinan koran kecil itu adalah karena daerah-daerah tadi sangat membutuhkan wartawan handal, sehingga terpaksa ada yang dipindahkan.”
Namun alasan ini seolah dibantah oleh Kusfandi sendiri akhirnya. Dalam wawancaranya dengan TEMPO Interaktif pada September 1997, Kusfandi mengatakan “mereka itu bukannya wartawan yang bagus atau berani.” Secara tidak langsung, hal ini menyiratkan bahwa alasan pemutasian itu hanya mengada-ada belaka. Hal ini tidak dapat saya konfirmasi pada Kusfandi karena pada tahun 2002 lalu ia telah meninggal dunia dalam usia 62 tahun.
Akhirnya, tidak semua wartawan Bernas yang tergabung dalam Tim Kijang Putih ini bersedia dimutasi. Sebagian besar dari mereka memilih untuk mengundurkan diri. Jika dijumlah, saat itu terdapat 15 orang yang mengundurkan diri dari Bernas sejak Tim Kijang Putih dipecah belah. Beberapa wartawan Bernas yang mengundurkan diri tersebut diantaranya seperti Tarko Sudiarno, Triatmoko Sukmo Nugroho, Purwani Dyah Prabandari, Miftahuddin, Triyanto Heri, dan Muchamad Achadi.
“Mengapa kami mundur, atau dikeluarkan secara halus, itu jelas karena kasus Udin sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Apalagi saat itu semangatnya sedang semangat melawan Orde Baru dan  pers mulai menunjukan giginya,” ucap Achadi.
Menurut Achadi, persoalan Udin bukan menjadi satu-satunya alasan bagi mereka untuk keluar dari Bernas. Kejenuhan terhadap manajemen Bernas juga menjadi sebab lainnya. “Sejauh yang saya pahami, kami ngga cocok dengan manajemen yang ada di situ, kan susah kalau hidup dalam manajemen yang tidak ada upaya perbaikan. Kami ini bukan yang memiliki perusahaan, namun concern kami kalau lembaga ini dikelola baik itu akan maksimal apa yang kita lakukan,” ungkap pria lulusan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini.
Achadi mengatakan, Bernas saat itu merupakan media massa lokal di Yogyakarta yang cukup berani. Baginya, keberanian Bernas dalam meliput dan membahas permasalahan-permasalahan politik dan sosial membuat koran ini menjadi bacaan yang menarik bagi mahasiswa waktu itu. “Saya saat itu merupakan aktivis, sehingga saya kira Bernas bisa cukup mengakomodir ekspresi teman-teman,” kenang pria kelahiran 1972 ini.
Beberapa hari setelah Heru dipecat, Achadi pun diminta untuk pindah ke Semarang dengan janji akan diangkat sebagai wartawan tetap Bernas. Namun Achadi menolak karena ia belum menyelesaikan kuliahnya di IAIN. “Saya masih bertahan di Jogja tapi sama saja, perusahaan pelan-pelan bilang ya kalau kamu di Jogja sama saja dengan kamu mengundurkan diri,” ucap pria yang saat ini menjadi anggota DPRD Magelang dari fraksi PKB ini.
Keberanian Bernas dalam mengungkap hasil liputannya ini juga dibenarkan oleh Idayanie. “Tapi kemudian polisi mencari-cari kesalahan orang, karena dianggap Bernas ini sangat berani menentang polisi. Bahkan menentang Bupati Bantul dan sebagainya. Bupati kan yang berkuasa waktu itu. Dan yang paling penting, bupati ini sangat dekat dengan Argomulyo, adiknya Soeharto itu. Udin sering sekali memberitakan kasus-kasus kedekatan mereka,” jelas  perempuan yang dulu sempat bekerja di majalah D&R setelah TEMPO dibredel ini.
Argomulyo yang dimaksud Idayanie merujuk pada sosok Noto Soewito, Kepala Desa Kemusuk, Argomulyo, Bantul, saat itu. Udin pernah memberitakan selebaran yang dilayangkan ke seluruh fraksi DPRD Tingkat II Bantul menjelang pemilihan Bupati Bantul untuk masa jabatan 1996-2001. Selebaran itu berisi pernyataan Sri Roso Sudarmo yang bersedia memberi uang satu miliar pada Yayasan Darmais yang dipimpin oleh Soeharto, penguasa Orde Baru. Uang ini akan ia berikan jika ia kembali terpilih sebagi Bupati Bantul untuk kedua kalinya. Dalam selebaran tersebut terdapat tanda tangan Noto Soewito, adik tiri Soeharto. Pada tahun 1999 lalu, Sri Roso akhirnya divonis sembilan bulan penjara oleh Mahkamah Militer Tinggi Semarang karena kasus tersebut.
Menurut Achadi, kasus Udin dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, kasus ini berkaitan dengan masalah politik. Pemerintah saat itu bersikap represif terhadap dunia pers, sehingga arus informasi dan demokrasi selama Orde Baru menjadi tersumbat. Baginya, kasus Udin merupakan salah satu letupan yang menuntut perbaikan terhadap ketersumbatan ini. “Karena yang terkena adalah pelaku demokrasi yaitu wartawan, solidaritasnya menjadi massif. Media massa, ormas, mahasiswa, dan yang lain-lain jadi menemukan momentumnya. Sehingga kasus Udin itu menurut saya merupakan bagian dari letupan yang menekan Orde Baru untuk membuka keran demokrasi,” ungkap Achadi.
Sedangkan sisi kedua berkaitan dengan dinamika perusahaan yang muaranya ke bisnis. “Ketika Bernas itu tumbuh, tentu semangat Kompas dan Bernas itu berbeda dengan pemilik lokal. Kalau pemilik lokal tentu semangatnya berdagang, bagaimana koran ini laku, survive, dan lain-lain. Kami ini ada dalam dinamika profesionalisme, jadi bukan dalam kerangka dinamika bisnis. Sehingga pemilik perusahaan lokal ini juga kerepotan mengendalikan kita. Saat itu sudah sampai pada tekanan-tekanan di internal, ngapain sih kita beritakan terus soal Udin, kan ngga baik untuk bisnis,” ujarnya.
Pada Agustus 1990, Bernas menjalin kerjasama dengan Kelompok Kompas Gramedia. Komposisi sahamnya waktu itu 45 persen dimiliki gabungan beberapa pemilik lama Bernas, 20 persen karyawan Bernas dan sisanya 35 persen dimiliki Kompas. Sebelumnya, Kompas hendak mendirikan koran lokal di Yogyakarta. Namun Departemen Penerangan tak kunjung menerbitkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) bagi Kompas. Akhirnya Kompas memilih bekerjasama dengan Bernas yang sudah memiliki SIUPP.
“Ketika awal koran Bernas dengan manajemen baru itu terbit, oplahnya banyak, sempat sampai kalau ngga salah 70 ribu, oplah yang sangat besar waktu itu. Tetapi secara manajemen ngga dikelola secara baik, karena ternyata antara pemilik lama, dalam hal ini pak Kus, dengan manajemen baru yang dikelola oleh KKG itu ngga sinkron, ngga ada sinergi untuk membangun kebersamaan menjadi koran nomor satu,” ungkap Heru.
Kesemrawutan manajemen, pemecatan, dan pemutasian adalah kisah yang mewarnai dinamika Bernas setelah kematian Udin. Achadi dan beberapa wartawan Bernas lainnya pun sempat terpikir untuk melakukan perlawanan pada manajemen Bernas. “Saat itu kami memang berpikir untuk melakukan perlawanan dan lain-lain, tapi kok rasanya sudah lelah sekali, ngurusi kasus Udin itu sudah bagian dari kelelahan yang luar biasa. Semangat kami kan ngga hanya semangat bekerja, tapi juga semangat bersolidaritas, tapi selalu saja terbentur oleh kepentingan perusahaan. Dari situlah bubar kita,” ucap Achadi.
“Sudah selesai menurut saya itu, meskipun kami juga tetap ke lapangan, tapi memang itu usaha yang sangat ampuh dan sangat jitu untuk menghentikan pemberitaan tentang Udin,” kenang Heru.

***

Jika saya mati hari ini atau besok pagi, saya ingin berdiri.
Kalau diperkenankan Tuhan,
di belakang arwah Udin yang sedang menghadapnya.

Dan saya akan merasa bangga karena itu.

Kini orang menyelesaikan persoalan dengan jalan pintas;
membunuh, mengurung, membisukan orang lain.
Terkadang kita bertanya-tanya,
benarkah hari ini manusia memang layak mewakili Tuhan di bumi.

Hanya jiwa yang tidak gentar seperti Udin yang bisa mengingatkan kita;
kita bukan makhluk nista.

Puisi diatas dikirim lewat faksimili ke kantor Bernas oleh Goenawan Mohammad, salah satu pendiri TEMPO, sehari setelah Udin meninggal. Tidak hanya Goenawan Mohammad yang menyampaikan dukanya atas kepergian Udin. Warga Bawuran, Pleret, Bantul, juga turut menyampaikan dukanya dalam sebuah surat.
“Telah banyak yang kamu berikan kepada kami. Bukan hanya sekedar berita yang kami baca, tapi sebuah pencerahan jiwa. Sebab berita yang kau tulis umumnya berhubungan dengan nasib rakyat yang menderita. Yang sering tidak berdaya bila berhadapan dengan penguasa… Kehadiranmu di desa kami telah memberikan pencerahan jiwa kami. Kami yang semula gelisah, menjadi tenang karena ada perlindungan... Selamat jalan Udin. Jasamu tak akan pernah kami lupakan…” demikian petikan surat warga Bawuran tersebut. Sebelum meninggal, Udin dan beberapa wartawan lainnya pernah memperjuangkan nasib warga Bawuran yang harus membayar biaya sertifikasi tanah lima kali lipat lebih tinggi dari biaya seharusnya.
Dalam buku Kasus Udin: Liputan Bawah Tanah, Marsiyem, istri Udin, menulis. “Menjadi seorang wartawan memang telah menjadi tekadnya sejak awal. Bahkan, sejak dini ia juga menyadari berbagai resiko yang harus dihadapi dengan pilihan tersebut… Suatu saat pernah dia bilang, walau pun harus mati akan aku terima. Itulah yang selalu aku ingat dalam benakku dan membuatku harus mengatakan pada diriku sendiri bahwa aku pun harus siap terhadap segala resikonya. Namun jujur aku akui, sebenarnya aku tidak siap dengan resiko seberat ini… Terakhir, untuk rekan-rekan wartawan di seluruh penjuru dunia yang sempat membaca ini, teruskanlah perjuangan kalian dalam membela kebenaran dan keberpihakan terhadap rakyat kecil. Aku tahu, untuk itu kalian harus menghadapi tantangan dan ancaman yang mungkin akan merenggut nyawa kalian. Tetapi itulah arti sebuah perjuangan.”

*****

*Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di majalah PASTI pada Agustus 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tweet Share