Pages

Selasa, 19 Juli 2011

Orkestra Sepak Bola

Gegap Gempita Pemain Keduabelas, dari Sepak Bola hingga Politik

oleh: Henry Adrian

Yuli Sumpil saat memimpin puluhan ribu Aremania bernyanyi dan menari di Stadion Kanjuruhan, Malang. (Henry Adrian)
Yuli Sumpil saat menjadi konduktor Aremania di Stadion Kanjuruhan, Malang. (Henry Adrian)
Seorang pria melompat dari pagar yang memisahkan lapangan dengan bangku penonton. Setelah melompat, ia lantas meluncurkan dirinya di atas bendera Arema yang diikat miring menghadap lapangan layaknya aksi-aksi Jacky Chan di film yang ia tonton. Namun sial, bendera yang diikat tersebut tak mampu menahan berat badannya. Ia pun terjatuh ke dalam selokan yang terletak di bawah bendera tersebut. Kedalaman selokan itu sekitar dua meter. Pria yang hendak meredakan amarah suporter Arema yang terjadi di belakang gawang itu pun jatuh pingsan. Ketika sadar, ia sudah ditangani oleh seorang dokter yang lantas menanyainya.
“Pusing Yul?”
“Iyo, pusing, tapi ngga ngerti pusing minuman atau pusing jatuh.”
“Pingin muntah ngga?”
“Iyo, tapi ngga ngerti muntah mabuk atau muntah jatuh.”
“Wah, repot ini Yul.”
Begitulah tingkah jenaka Yuli Sugianto, atau yang lebih dikenal sebagai Yuli Sumpil, saat mendukung kesebelasan Arema bertanding melawan PKT Bontang beberapa tahun yang lalu. Sumpil sendiri adalah nama sebuah kampung di Malang, tempat Yuli tinggal dan tumbuh. Ramah dan jenaka, begitulah kesan pertama yang saya dapat setelah berkenalan dengannya pada suatu malam di kota Malang. Namun jangan salah, meski pola tingkahnya jenaka, ia cukup dihormati diantara para Aremania, sebutan bagi suporter Arema. Ia adalah konduktor Aremania, yang memimpin Aremania menyanyi dan menari saat Arema berlaga di stadion.
Yuli telah menjadi konduktor Aremania sejak tahun 1998. Seorang konduktor tidak dibayar. Ia lahir diantara para suporter yang selalu setia mendukung kesebelasannya saat bertanding. Tidak ada peraturan yang digunakan untuk memilih seseorang menjadi konduktor. Yuli sendiri tidak mengerti bagaimana ia bisa menjadi seorang konduktor pada awalnya.
12 tahun yang lalu, bermula dari canda tawanya dengan teman-teman saat menonton pertandingan Arema, Yuli pun naik ke atas pagar pembatas lapangan. Di atas pagar itulah pria kurus dengan tinggi sekitar 170 sentimeter ini menjadi konduktor untuk pertama kalinya. Tidak jelas apa yang membuat Yuli diterima menjadi seorang konduktor oleh Aremania hingga saat ini. Mungkin penerimaan ini tak jauh dari dandanan aneh yang sering digunakan Yuli saat ia menonton pertandingan dulu. Namun yang jelas, seorang konduktor merupakan orang yang komunikatif, sekaligus atraktif di mata suporter kesebelasannya.
Meski atraksi-atraksi yang ditampilkan Aremania sangat mengesankan, namun mereka tidak pernah sekalipun melakukan latihan. Semuanya terjadi spontan di stadion. Berbagai ide nyanyian dan gerakan atraktif yang dilakukan oleh suporter Arema tidak hanya berasal dari Yuli, namun juga dari Aremania lainnya. “Jadi bukan karena saya Aremania itu bagus, tapi tanpa saya pun Aremania juga bagus,” ucap Yuli.
Sejak kelas lima SD Yuli telah menjadi suporter setia Arema dan sering menonton pertandingan Arema di stadion. Saat itu ia tidak memiliki uang untuk membeli tiket. Maka ia pun masuk stadion dengan cara membawakan payung bagi penonton lainnya yang memiliki tiket. Namun, setelah menginjak bangku SMP ia sudah tidak diperbolehkan lagi memasuki stadion tanpa membeli tiket. Akhirnya ia mulai memasuki stadion dengan memanjat tembok.
Menurut Yuli, panjat memanjat itu selain disebabkan karena masalah ekonomi juga disebabkan karena rendahnya kesadaran Yuli sebagai suporter saat itu. Keliaran Yuli ini akhirnya berakhir saat ia duduk di bangku kelas tiga SMA. Menjelang ujian akhir, Yuli mulai menyadari risiko dari tindakannya memanjat tembok stadion itu. “Waktu itu ketika mau ujian aku mikir, kalau aku manjat dan jatuh, itu biayanya lebih mahal daripada kalau aku beli tiket. Kedua, kalau suporter ngga mau beli tiket, tim kita ngga bisa baguslah, kan hidupnya Arema dari tiket,” jelas pria kelahiran Malang, 14 Juli 1976 ini.
Yuli tidak berasal dari keluarga yang berkecukupan secara ekonomi. Oleh karena itu, sejak kecil Yuli sudah terbiasa bekerja. Saat duduk di kelas empat SD, Yuli sudah mulai bekerja dengan menjual koran. Pekerjaan ini ia lakukan hingga kelas dua SMP. Setelah itu, saat duduk di kelas satu SMA ia bekerja di tempat pencucian mobil selama empat tahun.
Kesukaan Yuli pada sepak bola sudah terbentuk sejak kecil. Menurutnya, hal ini tidak lepas dari kegemaran teman-temannya yang sering bermain sepak bola di kampung. “Waktu kecil kan arek kampung sering sepak bola olah raganya. Kalau badminton yo ngga mungkinlah cilikanku, kalau badminton yo pakai triplek, cetak... cetok... cetak... cetok... ke gedung yo ngga bisa, golf yo ngga mungkin,” ucap anak ke tujuh dari delapan bersaudara ini seraya tertawa.

***

Siang itu cuaca Malang terasa panas. Bukan hanya karena sinar matahari yang terus menyengat, namun karena malamnya kesebelasan Arema akan bertanding melawan Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang. Pertandingan ini adalah salah satu pertandingan terbesar yang ditunggu oleh suporter kedua kesebelasan. Intensitas permusuhan antara Aremania dengan Bonek, kependekan dari Bondo Nekat atau modal nekat, sebutan bagi suporter Persebaya, sudah tinggi sejak dulu. Hal ini menyebabkan kedua suporter kesebelasan tersebut sering terlibat dalam kerusuhan. Tak jarang, kerusuhan ini berakhir pada kematian suporter salah satu kesebelasan.
Januari lalu, setelah sembilan tahun belum pernah merasakan kemenangan atas Arema, Persebaya akhirnya berhasil mengalahkan Arema dengan skor 2-0. Pertandingan yang dilangsungkan di Stadion Gelora 10 November Surabaya itu dijaga oleh tiga ribu personil keamanan. Jumlah ini naik tiga kali lipat dibanding saat pertandingan-pertandingan Persebaya sebelumnya. Besarnya jumlah personil keamanan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya kerusuhan yang sering terjadi antar suporter kesebelasan yang sama-sama berasal dari Jawa Timur ini. Sejak pertandingan belum dimulai Bonek memang sudah berulah. Bus yang ditumpangi oleh para pemain dan ofisial Arema dilempari batu oleh para Bonek.
Pada 4 September 2006, pertandingan antara Persebaya melawan Arema dalam laga Piala Copa Indonesia juga pernah berakhir ricuh. Pertandingan yang berakhir imbang tanpa gol itu membuat Bonek marah. Mereka lantas membakar sebuah mobil milik sebuah stasiun televisi swasta. Peristiwa tersebut lantas dikenal dengan nama Amuk Suporter Empat September atau yang sering disingkat Asusemper.
Pelemparan kendaraan yang ditumpangi oleh pemain dan ofisial tim terjadi pula ketika Persebaya bertandang di Stadion Kanjuruhan Malang pada 21 Februari 2010 lalu. Bedanya, saat itu Persebaya tidak menggunakan bus, tetapi menggunakan kendaraan rantis Kepolisian Daerah Jawa Timur. Ketika kendaraan ini lewat, beberapa Aremania lantas meneriaki dan melemparinya. Meski begitu, kemungkinanan terjadinya kerusuhan yang lebih besar dapat dihindari. Hal ini disebabkan karena Bonek dilarang menghadiri pertandingan tersebut.
Permusuhan dan perkelahian antar suporter kesebelasan memang telah menjadi bagian dari sepak bola. Hal ini tak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di belahan dunia lainnya. Sebagai seorang suporter sepak bola, dulu Yuli sering terlibat dalam perkelahian antar suporter. Hal ini tentu saja mengkhawatirkan keluarganya. “Ngga pingin rabi (menikah) ya?” begitulah tanya keluarganya waktu itu. 
Bagi Yuli, resiko menjadi seorang suporter itu cukup sederhana. “Kalau aku sih, dadi suporter resikone diantemi opo ngantemi, (jadi suporter resikonya dipukuli atau memukuli),” ucapnya. Pernah suatu ketika, setelah menonton pertandingan Arema di Sidoarjo, Yuli memisahkan diri dari rombongan Aremania ketika pulang. Saat menunggu angkutan umum, kepalanya dipukul dengan helm oleh Bonek yang mengendarai motor. “Jlaagg! Wis, Chris John rek,” cerita Yuli seraya tertawa. Setelah memukul Yuli, Bonek yang mengendarai motor tersebut lantas lari.
“Pertama, Bonek itu bodoh, ngapa pakai helm, kalau pakai batu kan malah moncrot. Kedua, ngapa kok dia lari, lha wong itu kandangnya dia,” ungkap Yuli kesal. Akhirnya, pacar Yuli yang saat itu ikut bersama Yuli mengatakan, “sampeyan keno omongan-omonganmu dewe, diantemi opo ngantemi, (kamu kena omonganmu sendiri, dipukuli atau memukuli).”
Beberapa tahun yang lalu, Yuli juga pernah terlibat perkelahian dengan Bonek di depan stasiun Pasar Senen, Jakarta. Saat itu, Yuli dan sekitar 40 Aremania lainnya menerima undangan dari Suprapto untuk menonton balapan anaknya di Sentul. Suprapto yang dimaksud Yuli adalah Tinton Suprapto, ayah dari pembalap Ananda Mikola dan Moreno Suprapto. Kebetulan, Persebaya waktu itu juga berada di stasiun Pasar Senen. Mereka hendak menonton laga tandang Persebaya di Tangerang. Semula tidak terjadi keributan apa-apa diantara kedua suporter tersebut. Namun setelah rombongan Aremania menaiki bus dan hendak meninggalkan stasiun, beberapa Bonek melempari bus Aremania tersebut dengan batu. Rombongan Aremania itu pun lantas turun dari bus dan mengejar Bonek. Esoknya ketika membaca Koran, Yuli baru tahu bahwa perkelahian tersebut menewaskan tiga orang Bonek. Sedangkan Aremania sendiri selamat semua.
Perkelahian antar suporter kesebelasan bukanlah sebuah masalah besar bagi Yuli. Namun, ketika hal ini berubah menjadi suatu bentuk penjarahan, dengan keras ia menentangnya. Baginya, perkelahian antar suporter dengan penjarahan yang dilakukan oleh suporter itu dua hal yang sangat berbeda.
Yuli mengatakan, meskipun bisa diminimalisir, permusuhan dan perkelahian antar suporter kesebelasan tetap tidak bisa dihilangkan dari dunia sepak bola. Permusuhan antara kesebelasan Barcelona dengan Real Madrid yang berlangsung selama hampir satu abad merupakan contoh yang digunakan Yuli. “Itu memang ngga bisa untuk dihapus, diminimalisir bisa. Tapi siapa pun kalau ketemu di jalan mesti tetep clash,” jelas pengagum sosok Lionel Messi ini.
Pada tahun 2006 lalu Yuli menonton pembukaan Copa Indonesia bersama pacar dan teman-temannya. Saat itu ia masih duduk-duduk di luar stadion dan menenggak minuman keras bersama teman-temannya. Pada saat yang bersamaan, dua remaja usia SMP yang memakai atribut kesebelasan Persik Kediri lewat di depannya. Melihat Yuli yang mulai tampak tidak senang, pacar Yuli pun berkata, “Wis, kuwi nek sampeyan nganggu aku marah mbek sampeyan.”
Namun, bukannya menurut, Yuli justru memanggil dua remaja tadi.
“Eh dik... dik... sini dik.”
Opo mas?”
Kowe arep neng endi? (kamu mau kemana?)”
Arep nonton bola.”
Ngopo nonton bola!”
Yuli pun lantas menamparnya, “Plakkk!!”
“Lho mas salahku opo mas?”
Sekali lagi Yuli menamparnya, “Plakkk!!”
Ngalih kono! (pergi sana!)”
“Lho salahku opo?”
Timbang tak antemi meneh lho! (daripada tak pukuli lagi lho!)”
Setelah itu, pacar Yuli pun marah-marah, “ngapain sih mas!”
“Ini hukum suporter, seandainya arek Malang jalan di depan arek Surabaya atau arek Kediri, yo kayak gitu,” jawab Yuli waktu itu.
“Kan masih cilik?” balas pacarnya.
Yo podo wae, mergone isih cilik kuwi nek tak keplak ngga mbales, ngga wani ngelawan kan. Nek gede, mbales, njuk tarung, iyo nek menang, nek kalah, (ya sama saja, karena masih kecil itu kalau tak pukul ngga membalas, ngga berani melawan. Kalau besar, membalas, terus berkelahi, iya kalau menang, kalau kalah),” jawab Yuli dengan jenaka. Bagi Yuli, tindakan itu bertujuan untuk semakin mengobarkan api permusuhan antara suporter Arema dengan Persik Kediri yang telah bermusuhan sejak dulu.

***

Arema adalah kesebelasan “plat hitam”. Istilah ini merujuk pada pendanaan Arema yang tidak tergantung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Hal ini berbeda dengan kesebelasan “plat merah” yang tergantung pada APBD. Kesebelasan “plat merah” biasanya mendapat kucuran dana APBD hingga puluhan milyar rupiah. Salah satunya adalah Persija, Jakarta. Musim kompetisi depan, Persija mendapat kucuran dana sebesar 40 milyar dari APBD.
Menurut Yuli, penggunaan dana APBD untuk sebuah kesebelasan hingga mencapai angka puluhan milyar sangat tidak masuk akal. ”Masak sih duit sebanyak itu. Sedangkan keponakan-keponakanku yang ngga mampu sekolah yo banyak. Kalau dibagikan sama anak ngga mampu sekolah sebanyak 500 ribu per anak, berapa ribu yang akan dapat,” ucap Yuli.
Selain berkaitan dengan jumlahnya yang besar, alasan yang dikemukakan Yuli selanjutnya adalah masalah keadilan. Seringkali, pembagian dana APBD untuk setiap cabang olahraga sangat tidak adil. Menurutnya, jika pemerintah ingin memajukan semua cabang olahraga, maka pembagian dana antar cabang olahraga juga harus seimbang.
Status “plat hitam” yang melekat pada Arema membuat kesebelasan ini tergantung sepenuhnya pada dana sponsorship dan hasil penjualan tiket pertandingan. Meski begitu, hal ini bukan menjadi masalah besar bagi Arema. Kesebelasan ini memiliki ratusan ribu suporter yang setia mendukung timnya, entah di lapangan atau di luar lapangan.
Sejak tahun 2000 Aremania telah beberapa kali dinobatkan sebagai the best supporter di Indonesia. Penobatan ini selain disebabkan karena penampilan Aremania yang atraktif, juga disebabkan karena kesadaran mereka sebagai suporter cukup tinggi. Mereka bahkan memiliki hukum suporter tersendiri, seperti dilarang berbuat onar di dalam stadion, melempar benda apapun ke lapangan, menyulut petasan, dan berkata rasis. Keberadaan hal ini membuat Aremania lebih tertata di dalam stadion. Namun Yuli tidak menyangkal jika beberapa Aremania masih bertindak “liar” di dalam stadion tanpa alasan yang jelas. Dalam hal ini, Aremania punya solusi tersendiri. “Pertama dibilangin, kalau ngga bisa dibilangin ya dipukuli sendiri,” ungkap Yuli.
Kesadaran Aremania dalam menonton pertandingan di stadion memang cukup tinggi. Namun hal ini bukan berarti mereka selalu terlepas dari tindak kerusuhan di dalam stadion. Pada 16 Januari 2008, Aremania merusak dan membakar stadion Brawijaya, Kediri. Peristiwa ini disebabkan oleh ketidakpuasan Aremania dengan wasit yang memimpin pertandingan antara Arema melawan Persiwa Wamena. “Oke lah kalau wasit selalu dikambing hitamkan, tapi korbannya kan selalu pemain sama suporter. Contoh, wasitnya ngga netral, sampai pemain marah, manusia itu ada batasnya kan. Kejadian di Kediri, tiga gol kita dianulir, jadi jangan dinilai Aremanianya, manusia itu ada emosionalnya juga,” jelas Yuli kesal. Saat itu, tiga gol yang dicetak Arema dianulir wasit Jajat Sudrajat karena dianggap telah offside dan handsball sebelumnya.
Akibat peristiwa itu Aremania dikenai sanksi oleh PSSI. Mereka tidak boleh menggunakan atribut Arema selama dua tahun saat menonton pertandingan timnya di stadion. Bagi Yuli, sanksi PSSI berupa larangan penggunaan atribut itu tidak jelas. Meski begitu, hukuman menonton tanpa atribut ini tak menyurutkan kreatifitas Aremania. Bagi Yuli, sanksi ini justru menjadi cambuk bagi kreatifitas Aremania. “Akhirnya, waktu liga berikutnya tahun 2009, kita pakai pakaian hitam-hitam semua. Belasungkawa atas matinya PSSI. Warna hitam adalah warna perlawanan. Kita itu melawan, melawan terhadap ketidakbeneran yang ada di tubuh PSSI,” ucap Yuli bersemangat.
Saat wawancara siang itu, Yuli mengenakan kaos putih dengan tulisan Liga Djancok, Badan Liga Sepak Bola Indonesia dengan logo PSSI yang disilang merah. “Ini mungkin suatu unek-unekku. Woo… liga Djarum liga djancok. Suatu ekspresi ketidaksenangan teman-teman terhadap PSSI. Bukan sama PSSI sebenarnya, sama pengurusnya. PSSI itu ngga salah, yang salah itu pengurusnya,” ungkap Yuli.
Kekecewaan Yuli lainnya terhadap PSSI tercermin ketika Arema dikenai sanksi setelah melawan Persipura, Jayapura pada 9 Desember 2009. Arema dikenai sanksi terkait tindakan rasisme yang dilakukan beberapa suporternya terhadap ofisial Persipura. Sanksi tersebut berupa denda sebesar Rp 50 juta dan satu laga tanpa penonton di pertandingan berikutnya. Yuli menentang keras sanksi itu. Baginya, tindakan segelintir orang tidak boleh digunakan untuk menghakimi Aremania seluruhnya. “Terkecuali, dari 40 ribu penonton, yang ngomong itu sekitar empat ribu atau lima ribu, kan koor. Seandainya di saat koor arek-arek nyanyi, monyet... monyet... itu baru kita kena sanksi,” jelasnya.
Meski PSSI telah berulang kali memberi sanksi atas tindakan rasisme, namun konsep rasisme dalam peraturan PSSI sendiri tidaklah jelas. Ketika Aremania dan Bonek saling hujat, hal itu dikatakan PSSI sebagai sebuah tindakan rasis. Padahal, tindakan saling hujat antara Aremania dan Bonek tidak mewakili ataupun menyerang etnisitas tertentu. “Kata-kata dibunuh, dibantai, kan sama PSSI ngga boleh. Padahal itu yang dipakai adalah bahasa-bahasa wartawan di koran,” ungkap Yuli.

***

Meski pertandingan baru dimulai jam tujuh malam, namun Aremania sudah memadati Stadion Kanjuruhan sejak jam sebelas siang. Tiket pertandingan pun semakin susah dicari karena tingginya minat masyarakat Malang menonton laga ini. Bahkan, harga tiket kelas ekonomi yang secara resmi dijual dengan harga Rp 25.000, di tangan para pedagang gelap melonjak hingga Rp 75.000.
Selain sebagai konduktor, Yuli juga menjadi Koordinator Wilayah (Korwil) Aremania di kampungnya. Terdapat ratusan Korwil Aremania di Malang. Setiap Korwil berperan mengurus Aremania di wilayahnya, mulai dari menjual tiket pertandingan hingga mengkoordinasi Aremania jika hendak menonton pertandingan tandang di luar kota Malang. Sebagai Korwil, Yuli juga ikut menjual tiket pertandingan Arema. Ia mendapat komisi 2,5 persen dari tiket yang ia jual dengan harga resmi.
Pagi sebelum pertandingan, rumah Yuli dipadati oleh banyak Aremania yang ingin membeli tiket hingga ia kewalahan. Ia bahkan sempat menolak beberapa orang yang ingin membeli tiket karena jumlah tiket yang ia jual terbatas. “Aku ngga mau, pas pertandingan rame kayak gini, yang jarang nonton jadi ikut nonton, yang biasanya nonton malah ngga kebagian,“ jelasnya.
Yuli biasanya berangkat menuju stadion dengan menggunakan mobil pick up bersama Aremania dari kampungnya. Siang itu, ia dan teman-temannya berangkat menuju Stadion Kanjuruhan pada jam dua siang. Dalam perjalanan yang ditempuh sekitar 45 menit itu, mereka terus bernyanyi dan menggebuk drum yang mereka bawa di atas mobil pick up. Tak jarang, beberapa Aremania yang mereka temui di jalan juga ikut bergabung dalam kemeriahan itu.
Hari itu peraturan lalu lintas di kota Malang seolah ditiadakan. Seorang teman berkata pada saya, selama kita menggunakan atribut Arema pada hari Arema bertanding, maka tak akan menjadi masalah jika kita berkendara dengan sepeda motor tanpa helm. Satu motor dinaiki tiga orang pun tak jadi soal.
Tak hanya Aremania yang bersemangat pada hari itu. Polisi dan masyarakat pun juga tampak bersemangat. Mereka turut melambaikan tangan dengan senyuman ketika pick up yang dinaiki Yuli melintas. Tak jarang, umpatan-umpatan terhadap Persebaya terucap dari mulut masyarakat yang berdiri di pinggir jalan.
Kemeriahan ini semakin terasa ketika Yuli dan rombongannya mulai memasuki stadion. Lautan Aremania yang kebanyakan menggunakan atribut warna biru, warna Arema, tumpah ruah di jalanan dan luar stadion. Padahal, pertandingan baru akan dimulai empat jam lagi.
Saat hendak memasuki stadion, petugas tiket menerima tiket masuk yang diulurkan Yuli seraya tertawa. Petugas tersebut sepertinya telah mengenal Yuli. Tampaknya, dengan ataupun tanpa tiket Yuli tetap akan ia ijinkan masuk. Meski begitu, Yuli tetap membeli tiket. Tahun lalu, ia dan teman-temanya yang sudah memiliki tiket untuk menonton pertandingan antara Arema melawan Persipura tidak dapat masuk ke stadion karena kapasitas stadion sudah penuh. Meski begitu, Yuli tetap ditawari masuk. Namun tawaran ini ia tolak. “Aku sendiri yo ngga mau kan, aku ngga mau dibeda-bedain. Kalau aku bisa masuk, teman-temanku yang membawa tiket yo bisa masuk. Soalnya aku lihat dihadapanku sendiri,” ucap Yuli.
Puluhan tangan Aremania menyalami Yuli ketika ia memasuki bangku penonton di Stadion Kanjuruhan, Malang. Para Aremania yang telah memenuhi stadion mundur satu langkah untuk memberi jalan bagi Yuli. Beberapa Aremania pun menawarinya minuman keras. Meski sesekali diterimanya, tak jarang pula Yuli menolaknya dengan halus. Puluhan kamera Aremania pun mencoba memotret Yuli dari dekat. Sebuah pemandangan yang membuat saya bertanya dalam hati, seperti apakah Yuli bagi para Aremania.
Tak perlu menunggu lama, jawaban ini segera saya peroleh. Saat itu ia sedang berjalan menyusuri bangku penonton menuju panggung yang khusus disediakan bagi seorang konduktor di atas pagar pembatas antara lapangan dan bangku penonton di bawah papan skor. Baru berjalan beberapa meter, beberapa Aremania yang berada di dekat pintu masuk memintanya untuk memimpin mereka menyanyi dan menari terlebih dahulu. Tak berselang lama, Yuli pun segera naik ke pagar dan memberi aba-aba. Suasana yang semula gaduh lantas berubah menjadi tenang. Lalu dalam sekejap, ribuan Aremania pun dengan kompak mulai menyanyi dan menari bersama-sama. Mereka menari dengan riang, mencondongkan tubuhnya dari kiri ke kanan, ke depan dan ke belakang.
Suasana ini lantas menyebar ke sisi lain stadion, termasuk di bangku VIP. Hingga akhirnya sekitar 40 ribu Aremania yang memadati stadion pun menyanyi dan menari bersama sesuai aba-aba yang diberikan Yuli. Mereka juga membentuk gerakan gelombang mengelilingi stadion dengan kompak. Dalam dunia sepak bola, gerakan ini dikenal dengan sebutan Mexican Wave atau La Ola Mexicana yang mulai populer di Piala Dunia 1986 di Mexico.
Menurut Asian Football Confederation (AFC), Aremania adalah kelompok suporter terbesar di Asia Tenggara dan terbesar ketujuh di Asia. Besarnya jumlah Aremania ini menjadi salah satu sasaran para politikus untuk mencari massa. Hal ini terjadi pula pada Yuli. Beberapa kali ia pernah ditawari untuk bergabung dengan partai politik tertentu. Namun tawaran-tawaran tersebut ditolaknya. Lha aku ngatur dan ngurusi diriku pribadi wae ngga iso, kok ditawari jadi Caleg, atau jadi tim sukses. Misalnya aku ditawari jadi tim sukses presiden, malah tak buat guyonan iyo nek presidennya bener, nek salah, aku yang jadi tim suksesnya, mendukung orang yang korupsi, opo ngga dosa hukumnya,” ungkapnya serius.
Yuli sendiri tidak tertarik dengan iming-iming materi yang akan ia terima jika bergabung dengan partai politik. “Orang sukses itu belum tentu materinya gede. Kita nikmatinlah hidup ini. Apa adanya kita, kita terima. Maksudnya ngga selalu nerima seperti ini, kita akan selalu kepingin yang terbaik,” ucap pria yang dulu berkeinginan masuk Angkatan Laut ini.
Meski menjadi kelompok suporter dengan jaringan yang luas dan besar, Aremania tidak dilembagakan dalam suatu bentuk organisasi. “Memang kita beda dengan suporter yang lain. Karena mungkin dari temen-temen Arema sendiri ngga ingin ada kesenjangan. Kalau ada organisasi, pucuknya kan pasti ketua, baru staf-staf, bawahnya anggota. Kita ngga mau, kita maunya datar, duduk sama rendah, berdiri sama tinggi,” terang Yuli.
Menurut Yuli, tidak adanya organisasi bagi Aremania juga disebabkan karena Aremania tidak ingin digunakan sebagai kendaraan politik bagi pihak-pihak tertentu. Ia menjelaskan hal ini dengan menggunakan analogi air di dalam sebuah gelas. “Kalau air ini ditaruh di wadah, air ini enak dibawa ke sini, dibawa ke sana. Tapi kalau air di dalam gelas ini ditumpahkan, tanpa wadah, dia ambil di sini, sini ngga kena. Artinya, kita ngga mau dimanfaatin,” jelas Yuli.
Dulu, beberapa partai politik sering membawa bendera Arema dalam kampanye-kampanyenya. Sebagai seorang Aremania, Yuli tidak mempermasalahkan hal ini. Namun jika bendera partai politik ikut dikibarkan di dalam stadion saat Arema sedang bertanding, ia akan mempermasalahkannya. “Di saat hajat Arema, jangan sampai ada bendera politik di stadion, Aremania boleh berpolitik, tapi Aremania jangan sampai dipolitiki,” ucapnya serius.

*****

*Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di majalah PASTI pada Agustus 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tweet Share