Gegap Gempita Pemain Keduabelas, dari Sepak Bola hingga Politik
oleh: Henry Adrian
oleh: Henry Adrian
![]() |
Yuli Sumpil saat memimpin puluhan ribu Aremania bernyanyi dan menari di Stadion Kanjuruhan, Malang. (Henry Adrian) |
![]() |
Yuli Sumpil saat menjadi konduktor Aremania di Stadion Kanjuruhan, Malang. (Henry Adrian) |
Seorang pria melompat
dari pagar yang memisahkan lapangan dengan bangku penonton. Setelah melompat, ia
lantas meluncurkan dirinya di atas bendera Arema yang diikat miring menghadap
lapangan layaknya aksi-aksi Jacky Chan di film yang ia tonton. Namun sial,
bendera yang diikat tersebut tak mampu menahan berat badannya. Ia pun terjatuh
ke dalam selokan yang terletak di bawah bendera tersebut. Kedalaman selokan itu
sekitar dua meter. Pria yang hendak meredakan amarah suporter Arema yang
terjadi di belakang gawang itu pun jatuh pingsan. Ketika sadar, ia sudah
ditangani oleh seorang dokter yang lantas menanyainya.
“Pusing Yul?”
“Iyo, pusing, tapi
ngga ngerti pusing minuman atau pusing jatuh.”
“Pingin muntah ngga?”
“Iyo, tapi ngga
ngerti muntah mabuk atau muntah jatuh.”
Begitulah tingkah
jenaka Yuli Sugianto, atau yang lebih dikenal sebagai Yuli Sumpil, saat mendukung
kesebelasan Arema bertanding melawan PKT Bontang beberapa tahun yang lalu. Sumpil
sendiri adalah nama sebuah kampung di Malang, tempat Yuli tinggal dan tumbuh.
Ramah dan jenaka, begitulah kesan pertama yang saya dapat setelah berkenalan
dengannya pada suatu malam di kota Malang. Namun jangan salah, meski pola
tingkahnya jenaka, ia cukup dihormati diantara para Aremania, sebutan bagi
suporter Arema. Ia adalah konduktor Aremania, yang memimpin Aremania menyanyi dan menari saat Arema berlaga di stadion.
Yuli telah menjadi
konduktor Aremania sejak tahun 1998. Seorang konduktor tidak dibayar. Ia lahir
diantara para suporter yang selalu setia mendukung kesebelasannya saat
bertanding. Tidak ada peraturan yang digunakan untuk memilih seseorang menjadi konduktor.
Yuli sendiri tidak mengerti bagaimana ia bisa menjadi seorang konduktor pada
awalnya.
12 tahun yang lalu, bermula
dari canda tawanya dengan teman-teman saat menonton pertandingan Arema, Yuli
pun naik ke atas pagar pembatas lapangan. Di atas pagar itulah pria kurus
dengan tinggi sekitar 170 sentimeter ini menjadi konduktor untuk pertama
kalinya. Tidak jelas apa yang membuat Yuli diterima menjadi seorang konduktor
oleh Aremania hingga saat ini. Mungkin penerimaan ini tak jauh dari dandanan aneh
yang sering digunakan Yuli saat ia menonton pertandingan dulu. Namun yang
jelas, seorang konduktor merupakan orang yang komunikatif, sekaligus atraktif di
mata suporter kesebelasannya.
Meski atraksi-atraksi
yang ditampilkan Aremania sangat mengesankan, namun mereka tidak pernah
sekalipun melakukan latihan. Semuanya terjadi spontan di stadion. Berbagai ide
nyanyian dan gerakan atraktif yang dilakukan oleh suporter Arema tidak hanya
berasal dari Yuli, namun juga dari Aremania lainnya. “Jadi bukan karena saya Aremania
itu bagus, tapi tanpa saya pun Aremania juga bagus,” ucap Yuli.
Sejak kelas lima SD
Yuli telah menjadi suporter setia Arema dan sering menonton pertandingan Arema
di stadion. Saat itu ia tidak memiliki uang untuk membeli tiket. Maka ia pun
masuk stadion dengan cara membawakan payung bagi penonton lainnya yang memiliki
tiket. Namun, setelah menginjak bangku SMP ia sudah tidak diperbolehkan lagi memasuki
stadion tanpa membeli tiket. Akhirnya ia mulai memasuki stadion dengan memanjat
tembok.
Menurut Yuli, panjat
memanjat itu selain disebabkan karena masalah ekonomi juga disebabkan karena
rendahnya kesadaran Yuli sebagai suporter saat itu. Keliaran Yuli ini akhirnya
berakhir saat ia duduk di bangku kelas tiga SMA. Menjelang ujian akhir, Yuli
mulai menyadari risiko dari tindakannya memanjat tembok stadion itu. “Waktu itu
ketika mau ujian aku mikir, kalau aku manjat dan jatuh, itu biayanya lebih
mahal daripada kalau aku beli tiket. Kedua, kalau suporter ngga mau beli tiket,
tim kita ngga bisa baguslah, kan hidupnya Arema dari tiket,” jelas pria
kelahiran Malang, 14 Juli 1976 ini.
Yuli tidak berasal
dari keluarga yang berkecukupan secara ekonomi. Oleh karena itu, sejak kecil
Yuli sudah terbiasa bekerja. Saat duduk di kelas empat SD, Yuli sudah mulai
bekerja dengan menjual koran. Pekerjaan ini ia lakukan hingga kelas dua SMP.
Setelah itu, saat duduk di kelas satu SMA ia bekerja di tempat pencucian mobil
selama empat tahun.
Kesukaan Yuli pada sepak bola sudah
terbentuk sejak kecil. Menurutnya, hal ini tidak lepas dari kegemaran
teman-temannya yang sering bermain sepak bola di kampung. “Waktu kecil kan arek kampung sering sepak bola olah raganya.
Kalau badminton yo ngga mungkinlah cilikanku,
kalau badminton yo pakai triplek, cetak... cetok... cetak... cetok...
ke gedung yo ngga bisa, golf yo ngga mungkin,” ucap anak ke tujuh dari delapan
bersaudara ini seraya tertawa.
***
Siang itu cuaca Malang terasa panas.
Bukan hanya karena sinar matahari yang terus menyengat, namun karena malamnya
kesebelasan Arema akan bertanding melawan Persebaya di Stadion Kanjuruhan,
Malang. Pertandingan ini adalah salah satu pertandingan terbesar yang ditunggu
oleh suporter kedua kesebelasan. Intensitas permusuhan antara Aremania dengan
Bonek, kependekan dari Bondo Nekat
atau modal nekat, sebutan bagi suporter Persebaya, sudah tinggi sejak dulu. Hal
ini menyebabkan kedua suporter kesebelasan tersebut sering terlibat dalam
kerusuhan. Tak jarang, kerusuhan ini berakhir pada kematian suporter salah satu
kesebelasan.
Januari lalu, setelah sembilan tahun
belum pernah merasakan kemenangan atas Arema, Persebaya akhirnya berhasil
mengalahkan Arema dengan skor 2-0. Pertandingan yang dilangsungkan di Stadion Gelora 10 November Surabaya itu dijaga oleh tiga ribu
personil keamanan. Jumlah ini naik tiga kali lipat dibanding saat pertandingan-pertandingan
Persebaya sebelumnya. Besarnya jumlah personil keamanan ini bertujuan untuk
mencegah terjadinya kerusuhan yang sering terjadi antar suporter kesebelasan yang
sama-sama berasal dari Jawa Timur ini. Sejak pertandingan
belum dimulai Bonek memang sudah berulah. Bus yang ditumpangi oleh para pemain
dan ofisial Arema dilempari batu oleh para Bonek.
Pada 4 September
2006, pertandingan antara Persebaya melawan Arema dalam laga Piala Copa
Indonesia juga pernah berakhir ricuh. Pertandingan yang berakhir imbang tanpa
gol itu membuat Bonek marah. Mereka lantas membakar sebuah mobil milik sebuah
stasiun televisi swasta. Peristiwa tersebut lantas dikenal dengan nama Amuk
Suporter Empat September atau yang sering disingkat Asusemper.
Pelemparan kendaraan yang
ditumpangi oleh pemain dan ofisial tim terjadi pula ketika Persebaya bertandang
di Stadion Kanjuruhan Malang pada 21 Februari 2010 lalu. Bedanya, saat itu
Persebaya tidak menggunakan bus, tetapi menggunakan kendaraan rantis Kepolisian
Daerah Jawa Timur. Ketika kendaraan ini lewat, beberapa Aremania lantas meneriaki
dan melemparinya. Meski begitu, kemungkinanan terjadinya kerusuhan yang lebih
besar dapat dihindari. Hal ini disebabkan karena Bonek dilarang menghadiri pertandingan
tersebut.
Permusuhan dan perkelahian
antar suporter kesebelasan memang telah menjadi bagian dari sepak bola. Hal ini
tak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di belahan dunia lainnya. Sebagai
seorang suporter sepak bola, dulu Yuli sering terlibat dalam perkelahian antar
suporter. Hal ini tentu saja mengkhawatirkan keluarganya. “Ngga pingin rabi (menikah) ya?” begitulah tanya
keluarganya waktu itu.
Bagi Yuli, resiko
menjadi seorang suporter itu cukup sederhana. “Kalau aku sih, dadi suporter resikone diantemi opo ngantemi,
(jadi suporter resikonya dipukuli atau memukuli),” ucapnya. Pernah suatu ketika,
setelah menonton pertandingan Arema di Sidoarjo, Yuli memisahkan diri dari
rombongan Aremania ketika pulang. Saat menunggu angkutan umum, kepalanya dipukul
dengan helm oleh Bonek yang mengendarai motor. “Jlaagg! Wis, Chris John rek,” cerita Yuli seraya tertawa.
Setelah memukul Yuli, Bonek yang mengendarai motor tersebut lantas lari.
“Pertama, Bonek itu
bodoh, ngapa pakai helm, kalau pakai batu kan malah moncrot. Kedua, ngapa kok dia lari, lha wong itu kandangnya dia,”
ungkap Yuli kesal. Akhirnya, pacar Yuli yang saat itu ikut bersama Yuli
mengatakan, “sampeyan keno omongan-omonganmu
dewe, diantemi opo ngantemi, (kamu kena omonganmu sendiri, dipukuli atau
memukuli).”
Beberapa tahun yang
lalu, Yuli juga pernah terlibat perkelahian dengan Bonek di depan stasiun Pasar
Senen, Jakarta. Saat itu, Yuli dan sekitar 40 Aremania lainnya menerima
undangan dari Suprapto untuk menonton balapan anaknya di Sentul. Suprapto yang
dimaksud Yuli adalah Tinton Suprapto, ayah dari pembalap Ananda Mikola dan Moreno Suprapto. Kebetulan, Persebaya waktu
itu juga berada di stasiun Pasar Senen. Mereka hendak menonton laga tandang Persebaya
di Tangerang. Semula tidak terjadi keributan apa-apa diantara kedua suporter
tersebut. Namun setelah rombongan Aremania menaiki bus dan hendak meninggalkan
stasiun, beberapa Bonek melempari bus Aremania tersebut dengan batu. Rombongan Aremania
itu pun lantas turun dari bus dan mengejar Bonek. Esoknya ketika membaca Koran,
Yuli baru tahu bahwa perkelahian tersebut menewaskan tiga orang Bonek.
Sedangkan Aremania sendiri selamat semua.
Perkelahian antar suporter
kesebelasan bukanlah sebuah masalah besar bagi Yuli. Namun, ketika hal ini berubah
menjadi suatu bentuk penjarahan, dengan keras ia menentangnya. Baginya,
perkelahian antar suporter dengan penjarahan yang dilakukan oleh suporter itu
dua hal yang sangat berbeda.
Yuli mengatakan,
meskipun bisa diminimalisir, permusuhan dan perkelahian antar suporter kesebelasan
tetap tidak bisa dihilangkan dari dunia sepak bola. Permusuhan antara
kesebelasan Barcelona dengan Real Madrid yang berlangsung selama hampir satu
abad merupakan contoh yang digunakan Yuli.
“Itu memang ngga bisa untuk dihapus, diminimalisir bisa. Tapi siapa pun
kalau ketemu di jalan mesti tetep clash,”
jelas pengagum sosok Lionel Messi ini.
Pada tahun 2006 lalu
Yuli menonton pembukaan Copa Indonesia bersama pacar dan teman-temannya. Saat
itu ia masih duduk-duduk di luar stadion dan menenggak minuman keras bersama teman-temannya. Pada saat yang bersamaan, dua remaja
usia SMP yang memakai atribut kesebelasan Persik Kediri lewat di depannya.
Melihat Yuli yang mulai tampak tidak senang, pacar Yuli pun berkata, “Wis, kuwi
nek sampeyan nganggu aku marah mbek
sampeyan.”
Namun, bukannya
menurut, Yuli justru memanggil dua remaja tadi.
“Eh dik... dik... sini
dik.”
“Opo mas?”
“Kowe arep neng endi? (kamu mau kemana?)”
“Arep nonton bola.”
“Ngopo nonton bola!”
Yuli pun lantas
menamparnya, “Plakkk!!”
“Lho mas salahku opo
mas?”
Sekali lagi Yuli
menamparnya, “Plakkk!!”
“Ngalih kono! (pergi sana!)”
“Lho salahku opo?”
“Timbang tak antemi meneh lho! (daripada tak pukuli lagi lho!)”
Setelah itu, pacar
Yuli pun marah-marah, “ngapain sih mas!”
“Ini hukum suporter,
seandainya arek Malang jalan di depan arek Surabaya atau arek Kediri, yo kayak gitu,” jawab Yuli waktu itu.
“Kan masih cilik?”
balas pacarnya.
“Yo podo wae, mergone isih cilik kuwi nek tak
keplak ngga mbales, ngga wani ngelawan
kan. Nek gede, mbales, njuk tarung,
iyo nek menang, nek kalah, (ya
sama saja, karena masih kecil itu kalau tak pukul ngga membalas, ngga berani
melawan. Kalau besar, membalas, terus berkelahi, iya kalau menang, kalau kalah),”
jawab Yuli dengan jenaka. Bagi Yuli, tindakan itu bertujuan untuk semakin mengobarkan
api permusuhan antara suporter Arema dengan Persik Kediri yang telah bermusuhan
sejak dulu.
***
Arema adalah
kesebelasan “plat hitam”. Istilah ini merujuk pada pendanaan Arema yang tidak
tergantung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Hal ini berbeda
dengan kesebelasan “plat merah” yang tergantung pada APBD. Kesebelasan “plat
merah” biasanya mendapat kucuran dana APBD hingga puluhan milyar rupiah. Salah
satunya adalah Persija, Jakarta. Musim kompetisi depan, Persija mendapat kucuran
dana sebesar 40 milyar dari APBD.
Menurut Yuli,
penggunaan dana APBD untuk sebuah kesebelasan hingga mencapai angka puluhan
milyar sangat tidak masuk akal. ”Masak sih duit sebanyak itu. Sedangkan
keponakan-keponakanku yang ngga mampu sekolah yo banyak. Kalau dibagikan sama
anak ngga mampu sekolah sebanyak 500 ribu per anak, berapa ribu yang akan dapat,”
ucap Yuli.
Selain berkaitan dengan jumlahnya
yang besar, alasan yang dikemukakan Yuli selanjutnya adalah masalah keadilan.
Seringkali, pembagian dana APBD untuk setiap cabang olahraga sangat tidak adil.
Menurutnya, jika pemerintah ingin memajukan semua cabang olahraga, maka
pembagian dana antar cabang olahraga juga harus seimbang.
Status “plat hitam”
yang melekat pada Arema membuat kesebelasan ini tergantung sepenuhnya pada dana
sponsorship dan hasil penjualan tiket pertandingan. Meski begitu, hal ini bukan
menjadi masalah besar bagi Arema. Kesebelasan ini memiliki ratusan ribu
suporter yang setia mendukung timnya, entah di lapangan atau di luar lapangan.
Sejak tahun 2000
Aremania telah beberapa kali dinobatkan sebagai the best supporter di Indonesia. Penobatan ini selain disebabkan
karena penampilan Aremania yang atraktif, juga disebabkan karena kesadaran
mereka sebagai suporter cukup tinggi. Mereka bahkan memiliki hukum
suporter tersendiri, seperti dilarang berbuat onar di dalam stadion, melempar
benda apapun ke lapangan, menyulut petasan, dan berkata rasis. Keberadaan hal
ini membuat Aremania lebih tertata di dalam stadion. Namun Yuli tidak menyangkal
jika beberapa Aremania masih bertindak “liar” di dalam stadion tanpa alasan
yang jelas. Dalam hal ini, Aremania punya solusi tersendiri. “Pertama dibilangin,
kalau ngga bisa dibilangin ya dipukuli
sendiri,” ungkap Yuli.
Kesadaran Aremania
dalam menonton pertandingan di stadion memang cukup tinggi. Namun hal ini
bukan berarti mereka selalu terlepas dari tindak kerusuhan di dalam stadion.
Pada 16 Januari 2008, Aremania merusak dan membakar stadion Brawijaya, Kediri.
Peristiwa ini disebabkan oleh ketidakpuasan Aremania dengan wasit yang memimpin
pertandingan antara Arema melawan Persiwa Wamena. “Oke lah kalau wasit selalu
dikambing hitamkan, tapi korbannya kan selalu pemain sama suporter. Contoh,
wasitnya ngga netral, sampai pemain marah, manusia itu ada batasnya kan.
Kejadian di Kediri, tiga gol kita dianulir, jadi jangan dinilai Aremanianya,
manusia itu ada emosionalnya juga,” jelas Yuli kesal. Saat itu, tiga gol yang
dicetak Arema dianulir wasit Jajat Sudrajat karena dianggap telah offside dan handsball sebelumnya.
Akibat peristiwa itu
Aremania dikenai sanksi oleh PSSI. Mereka tidak boleh menggunakan atribut Arema
selama dua tahun saat menonton pertandingan timnya di stadion. Bagi Yuli,
sanksi PSSI berupa larangan penggunaan atribut itu tidak jelas. Meski begitu,
hukuman menonton tanpa atribut ini tak menyurutkan kreatifitas Aremania. Bagi
Yuli, sanksi ini justru menjadi cambuk bagi kreatifitas Aremania. “Akhirnya,
waktu liga berikutnya tahun 2009, kita pakai pakaian hitam-hitam semua. Belasungkawa
atas matinya PSSI. Warna hitam adalah warna perlawanan. Kita itu melawan,
melawan terhadap ketidakbeneran yang ada di tubuh PSSI,” ucap Yuli bersemangat.
Saat wawancara siang
itu, Yuli mengenakan kaos putih dengan tulisan Liga Djancok, Badan Liga Sepak Bola Indonesia dengan logo PSSI yang
disilang merah. “Ini mungkin suatu unek-unekku. Woo… liga Djarum liga djancok. Suatu ekspresi ketidaksenangan
teman-teman terhadap PSSI. Bukan sama PSSI sebenarnya, sama pengurusnya. PSSI
itu ngga salah, yang salah itu pengurusnya,” ungkap Yuli.
Kekecewaan Yuli
lainnya terhadap PSSI tercermin ketika Arema dikenai sanksi setelah melawan
Persipura, Jayapura pada 9 Desember 2009. Arema dikenai sanksi terkait tindakan
rasisme yang dilakukan beberapa suporternya terhadap ofisial Persipura. Sanksi
tersebut berupa denda sebesar Rp 50 juta dan satu laga tanpa penonton di
pertandingan berikutnya. Yuli menentang keras sanksi itu. Baginya, tindakan
segelintir orang tidak boleh digunakan untuk menghakimi Aremania seluruhnya.
“Terkecuali, dari 40 ribu penonton, yang ngomong itu sekitar empat ribu atau
lima ribu, kan koor. Seandainya di saat koor arek-arek nyanyi, monyet... monyet... itu baru kita kena sanksi,”
jelasnya.
Meski PSSI telah
berulang kali memberi sanksi atas tindakan rasisme, namun konsep rasisme dalam
peraturan PSSI sendiri tidaklah jelas. Ketika Aremania dan Bonek saling hujat,
hal itu dikatakan PSSI sebagai sebuah tindakan rasis. Padahal, tindakan saling
hujat antara Aremania dan Bonek tidak mewakili ataupun menyerang etnisitas
tertentu. “Kata-kata dibunuh, dibantai, kan sama PSSI ngga boleh. Padahal itu
yang dipakai adalah bahasa-bahasa wartawan di koran,” ungkap Yuli.
***
Meski pertandingan
baru dimulai jam tujuh malam, namun Aremania sudah memadati Stadion Kanjuruhan sejak
jam sebelas siang. Tiket pertandingan pun semakin susah dicari karena tingginya
minat masyarakat Malang menonton laga ini. Bahkan, harga tiket kelas ekonomi
yang secara resmi dijual dengan harga Rp 25.000, di tangan para pedagang gelap
melonjak hingga Rp 75.000.
Selain sebagai
konduktor, Yuli juga menjadi Koordinator Wilayah (Korwil) Aremania di
kampungnya. Terdapat ratusan Korwil Aremania di Malang. Setiap Korwil berperan
mengurus Aremania di wilayahnya, mulai dari menjual tiket pertandingan hingga mengkoordinasi
Aremania jika hendak menonton pertandingan tandang di luar kota Malang. Sebagai
Korwil, Yuli juga ikut menjual tiket pertandingan Arema. Ia mendapat komisi 2,5
persen dari tiket yang ia jual dengan harga resmi.
Pagi sebelum
pertandingan, rumah Yuli dipadati oleh banyak Aremania yang ingin membeli tiket
hingga ia kewalahan. Ia bahkan sempat menolak beberapa orang yang ingin membeli
tiket karena jumlah tiket yang ia jual terbatas. “Aku ngga mau, pas
pertandingan rame kayak gini, yang jarang nonton jadi ikut nonton, yang biasanya
nonton malah ngga kebagian,“ jelasnya.
Yuli biasanya
berangkat menuju stadion dengan menggunakan mobil pick up bersama Aremania dari kampungnya. Siang itu, ia dan
teman-temannya berangkat menuju Stadion Kanjuruhan pada jam dua siang. Dalam
perjalanan yang ditempuh sekitar 45 menit itu, mereka terus bernyanyi dan
menggebuk drum yang mereka bawa di atas mobil pick up. Tak jarang, beberapa Aremania yang mereka temui di jalan
juga ikut bergabung dalam kemeriahan itu.
Hari itu peraturan
lalu lintas di kota Malang seolah ditiadakan. Seorang teman berkata pada saya,
selama kita menggunakan atribut Arema pada hari Arema bertanding, maka tak akan
menjadi masalah jika kita berkendara dengan sepeda motor tanpa helm. Satu motor
dinaiki tiga orang pun tak jadi soal.
Tak hanya Aremania
yang bersemangat pada hari itu. Polisi dan masyarakat pun juga tampak
bersemangat. Mereka turut melambaikan tangan dengan senyuman ketika pick up yang dinaiki Yuli melintas. Tak
jarang, umpatan-umpatan terhadap Persebaya terucap dari mulut masyarakat yang
berdiri di pinggir jalan.
Kemeriahan ini
semakin terasa ketika Yuli dan rombongannya mulai memasuki stadion. Lautan
Aremania yang kebanyakan menggunakan atribut warna biru, warna Arema, tumpah
ruah di jalanan dan luar stadion. Padahal, pertandingan baru akan dimulai empat
jam lagi.
Saat hendak memasuki
stadion, petugas tiket menerima tiket masuk yang diulurkan Yuli seraya tertawa.
Petugas tersebut sepertinya telah mengenal Yuli. Tampaknya, dengan ataupun
tanpa tiket Yuli tetap akan ia ijinkan masuk. Meski begitu, Yuli tetap membeli
tiket. Tahun lalu, ia dan teman-temanya yang sudah memiliki tiket untuk
menonton pertandingan antara Arema melawan Persipura tidak dapat masuk ke stadion
karena kapasitas stadion sudah penuh. Meski begitu, Yuli tetap ditawari masuk.
Namun tawaran ini ia tolak. “Aku sendiri yo ngga mau kan, aku ngga mau
dibeda-bedain. Kalau aku bisa masuk, teman-temanku yang membawa tiket yo bisa
masuk. Soalnya aku lihat dihadapanku sendiri,” ucap Yuli.
Puluhan tangan
Aremania menyalami Yuli ketika ia memasuki bangku penonton di Stadion
Kanjuruhan, Malang. Para Aremania yang telah memenuhi stadion mundur satu
langkah untuk memberi jalan bagi Yuli. Beberapa Aremania pun menawarinya
minuman keras. Meski sesekali diterimanya, tak jarang pula Yuli menolaknya
dengan halus. Puluhan kamera Aremania pun mencoba memotret Yuli dari dekat.
Sebuah pemandangan yang membuat saya bertanya dalam hati, seperti apakah Yuli
bagi para Aremania.
Tak perlu menunggu
lama, jawaban ini segera saya peroleh. Saat itu ia sedang berjalan menyusuri bangku penonton menuju panggung yang khusus disediakan bagi
seorang konduktor di atas pagar pembatas antara lapangan dan bangku penonton di bawah papan skor. Baru berjalan beberapa meter, beberapa Aremania
yang berada di dekat pintu masuk memintanya untuk memimpin mereka menyanyi dan
menari terlebih dahulu. Tak berselang lama, Yuli pun segera naik ke pagar dan
memberi aba-aba. Suasana yang semula gaduh lantas berubah menjadi tenang. Lalu
dalam sekejap, ribuan Aremania pun dengan kompak mulai menyanyi dan menari
bersama-sama. Mereka menari dengan riang, mencondongkan tubuhnya dari kiri ke
kanan, ke depan dan ke belakang.
Suasana ini lantas
menyebar ke sisi lain stadion, termasuk di bangku VIP. Hingga akhirnya sekitar
40 ribu Aremania yang memadati stadion pun menyanyi dan menari bersama sesuai
aba-aba yang diberikan Yuli. Mereka juga membentuk gerakan gelombang
mengelilingi stadion dengan kompak. Dalam dunia sepak bola, gerakan ini dikenal
dengan sebutan Mexican Wave atau La Ola Mexicana yang mulai populer di
Piala Dunia 1986 di Mexico.
Menurut Asian
Football Confederation (AFC), Aremania adalah kelompok suporter terbesar di
Asia Tenggara dan terbesar ketujuh di Asia. Besarnya jumlah Aremania ini menjadi
salah satu sasaran para politikus untuk mencari massa. Hal ini terjadi pula
pada Yuli. Beberapa kali ia pernah ditawari untuk bergabung dengan partai
politik tertentu. Namun tawaran-tawaran tersebut ditolaknya. “Lha aku ngatur dan ngurusi diriku
pribadi wae ngga iso, kok ditawari jadi Caleg, atau jadi tim sukses. Misalnya
aku ditawari jadi tim sukses presiden, malah tak buat guyonan iyo nek presidennya bener, nek salah, aku yang jadi tim
suksesnya, mendukung orang yang korupsi, opo ngga dosa hukumnya,” ungkapnya
serius.
Yuli sendiri tidak tertarik dengan
iming-iming materi yang akan ia terima jika bergabung dengan partai politik. “Orang
sukses itu belum tentu materinya gede. Kita nikmatinlah hidup ini. Apa adanya
kita, kita terima. Maksudnya ngga selalu nerima seperti ini, kita akan selalu
kepingin yang terbaik,” ucap pria yang dulu berkeinginan masuk Angkatan Laut
ini.
Meski menjadi kelompok
suporter dengan jaringan yang luas dan besar, Aremania tidak dilembagakan dalam
suatu bentuk organisasi. “Memang kita beda dengan suporter yang lain. Karena
mungkin dari temen-temen Arema sendiri ngga ingin ada kesenjangan. Kalau ada
organisasi, pucuknya kan pasti ketua, baru staf-staf, bawahnya anggota. Kita
ngga mau, kita maunya datar, duduk sama rendah, berdiri sama tinggi,” terang
Yuli.
Menurut Yuli, tidak
adanya organisasi bagi Aremania juga disebabkan karena Aremania tidak ingin
digunakan sebagai kendaraan politik bagi pihak-pihak tertentu. Ia menjelaskan
hal ini dengan menggunakan analogi air di dalam sebuah gelas. “Kalau air ini ditaruh
di wadah, air ini enak dibawa ke sini, dibawa ke sana. Tapi kalau air di dalam
gelas ini ditumpahkan, tanpa wadah, dia ambil di sini, sini ngga kena. Artinya,
kita ngga mau dimanfaatin,” jelas Yuli.
Dulu, beberapa partai
politik sering membawa bendera Arema dalam kampanye-kampanyenya. Sebagai
seorang Aremania, Yuli tidak mempermasalahkan hal ini. Namun jika bendera
partai politik ikut dikibarkan di dalam stadion saat Arema sedang bertanding,
ia akan mempermasalahkannya. “Di saat hajat Arema, jangan sampai ada bendera
politik di stadion, Aremania boleh berpolitik, tapi Aremania jangan sampai
dipolitiki,” ucapnya serius.
*****
*Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di majalah PASTI pada Agustus 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar