“The gold
mining industry has come to stink in the nostrils of so many thousands of
people.”
(J. H. Curle
in The Goldmines of The World)
oleh: Henry Adrian
Saat
itu waktu menunjukkan hampir jam 12 malam. Di depan sebuah hotel yang terletak
di perbukitan gelap Samarinda, Kalimantan Timur, Bondan menunggu. Tepat jam 12
malam Bondan pun masuk ke hotel tersebut. “Kalau saya ngga turun dalam waktu
satu jam, kamu segera lapor ke polisi, bilang bahwa saya hilang di situ,” ucap
Bondan pada supir taksi yang mengantarnya.
![]() |
Bondan Winarno. (Henry Adrian) |
Bondan
tidak hendak mencicipi hidangan kuliner di sana. Waktu itu ia hendak mewawancarai
Letnan Kolonel Edi Tursono, orang yang paling ditakuti oleh Bondan karena ia
memiliki potensi untuk membunuhnya. Edi Tursono adalah saksi kunci kematian Michael
Antonio Tuason de Guzman, Manajer Eksplorasi Bre-X Corp, sebelum ia dinyatakan
bunuh diri dengan terjun dari helikopter yang dipiloti oleh Edi Tursono.
Sepanjang
wawancara, Edi Tursono selalu menjawab pertanyaan Bondan dengan mengatakan
tidak. "Jadi ya sudah, tapi saya sudah ketemu dia, dan saya sudah tahu
dari wajah dan cara dia menjawab, saya tahu bahwa sebetulnya orang ini yang
seharusnya ditangkap oleh pemerintah Indonesia. Jadi kalau dia ngga ditangkap dan
masih bebas, itu adalah ketololan polisi, ketololan pemerintah Indonesia. Dia
pegang peran, dia pegang kunci," jelas Bondan.
***
Cerita
di atas merupakan sebagian dari kisah Bondan dalam melakukan reportase
investigasi terhadap kasus Bre-X yang sempat mengguncang Indonesia dan dunia
pada tahun 1997. Sebuah kasus yang menurut Bondan merupakan kasus penipuan
terbesar yang pernah terjadi di bidang perburuan emas.
Hasil
dari reportase ini lantas dicetak dalam sebuah buku setebal 288 halaman yang
terbit pada Juli 1997. "Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi", menjadi judul
yang dipilih Bondan untuk bukunya. Dalam buku tersebut, pria bernama lengkap
Bondan Haryo Winarno ini melakukan investigasi terhadap sebuah perusahaan yang
melakukan penambangan emas di Busang, Kalimantan Timur. Perusahaan tersebut
adalah Bre X Minerals Ltd, sebuah perusahaan tambang yang berpusat di Calgary,
Kanada. David Walsh mendirikan perusahaan ini pada awal tahun 1988.
Pertemuan
David Walsh dengan John Felderhof menjadi awal dari kisah penipuan ini. Pada
Maret 1993, dalam suatu pertemuan di Jakarta, Felderhof berhasil membujuk Walsh
untuk mendanai eksplorasi emas di Busang, Kalimantan Timur. Felderhof
menyarankan agar Walsh mengakuisisi properti milik Montague Gold NL yang telah
dieksplorasi antara tahun 1987-1989. Namun karena tidak memiliki dana untuk
mengakuisisi properti tersebut, Walsh pun kembali ke Kanada. Di sana ia segera
meniup terompet Bre-X dan menawarkan sahamnya di Alberta Stock Exchange
bermodalkan potongan-potongan artikel dari koran.
Dalam
waktu singkat, David Walsh segera memperoleh dana yang ia butuhkan berkat
kepiawaiannya menjual saham. Pada Juli tahun 1993, Bre X akhirnya membeli
properti milik Montague Gold NL tersebut. Dua bulan kemudian, perusahaan ini
telah mulai melakukan pengeboran di Busang. Dalam pengeboran pertama ini, John
Felderhof yang kemudian menjadi Senior Vice President Bre-X, mengatakan bahwa
ia telah menemukan adanya potensi emas sejumlah 1,5 hingga 2 juta ons disana.
Setelah
pengeboran pertama tersebut, klaim jumlah potensi emas yang ditemukan oleh
Bre-X semakin meningkat. Hingga Februari 1997, Bre-X mengatakan potensi emas di
Busang mencapai 70,95 juta ons emas. “The biggest thing in the world! It’s so
big. It’s scarry. It’s so fucking big!”
kelakar Felderhof waktu itu.
Harga
saham Bre-X yang pada tahun 1989-1992 berkisar antara 27 sen dollar Canada,
bahkan pernah mencapai 2 sen saja, akhirnya meningkat setelah penemuan ini.
Pada Mei 1996, harga saham Bre-X yang tercatat di Toronto Stock Exchange bahkan
sempat mencapai tingkat 201,75 dollar Canada.
Namun,
ledakan saham Bre-X ini tak berlangsung lama. Sekitar sepuluh bulan kemudian,
tepatnya pada Maret 1997, Freeport-McMoRan menyatakan bahwa jumlah potensi emas
di Busang tidaklah besar. Bahkan, Strathcona Mineral Services, sebuah
perusahaan penguji yang diminta Bre-X untuk menguji potensi emas di Busang
mengatakan, “there appears to be a strong possibility that the potential gold
resources has been overstated, because of invalid samples and assaying of those
samples.”
Harga
saham Bre-X pun lantas jatuh. Sangat jatuh. Pada Mei 1997, harga saham Bre-X
terpuruk hingga seharga 8 sen.
***
To:
Mr. John B. Felderhof + All My Friends
Sorry
I have to leave.
I
cannot think of myself a carrier of hepatitis “B”.
I
cannot jeopardise your lifes, same w/ my loved ones.
God
bless you all.
No
more stomach pains!
No
more back pains!
Surat
di atas ditulis oleh De Guzman sebelum ia mengakhiri hidupnya. Tak seorang pun mengira
bahwa geolog berkewarganegaraan Filipina ini akan bunuh diri. Malam sebelum ia
bunuh diri, tepatnya pada 18 Maret 1997, ia bahkan sempat bersenang-senang di
sebuah tempat minum di Balikpapan bersama teman-temannya. Rudy Vega, seorang
ahli metalurgi dari Filipina yang juga teman De Guzman yang ikut dalam kemeriahan
malam itu mengatakan, “pesta itu saya rasa bahkan lebih meriah daripada semua
pesta ulang tahun Michael sebelumnya. He behaved like he was on the top of the
world.”
He
was on the top of the world! Kesimpulan ini juga dimiliki Bondan sewaktu
mendengar berita kematian De Guzman. Hal inilah yang menyebabkan Bondan
berpikir bahwa kematian De Guzman dirasanya tidak biasa. Awal ketertarikan
Bondan dalam meliput kasus Bre-X bermula dari kematian De Guzman yang
dinyatakan bunuh diri dengan menjatuhkan diri dari helikopter yang sedang
terbang di atas hutan Kalimantan. “Di situ saya mengatakan ini ngga mungkin.
Seorang wartawan investigatif itu punya sesuatu yang namanya professional
skepticism, dia udah ngumpulin duit begitu banyak kok tiba-tiba sekarang bunuh
diri,” jelas Bondan.
Empat
hari kemudian kecurigaan Bondan pun semakin menemukan alasannya. Mayat De
Guzman ditemukan oleh Martinus, seorang karyawan Bre-X yang turut membantu tim
SAR mencari mayat De Guzman. “Perasaan saya bicara lain ketika disuruh
mengikuti rombongan pencari, karena itu, saya ajak Tahir menyisir hutan yang
sulit dilalui manusia,” ungkap Martinus pada Kompas waktu itu.
Akhirnya
setelah bersusah payah menyusuri rawa, Martinus dan Tahir pun menemukan mayat
De Guzman. Ketika pertama kali ditemukan, mayat itu berada dalam posisi
tertelungkup di pinggir pohon yang besar.
Ketika
melihat foto mayat De Guzman kemudian, Bondan mengatakan bahwa hal ini tidak
mungkin. “Saya pernah lihat orang yang jatuh dari 1.500 kaki itu sudah ngga
berbentuk manusia, tapi sudah setumpuk daging sama tulang, jadi kalau 800 kaki,
ya hancur, ngga akan seperti itu,” ucap Bondan. Kesimpulan Bondan ini kemudian
diperkuat oleh seorang dokter di bagian otopsi National Bureau of Investigation
(NBI) di Filipina. Dokter tersebut mengatakan bahwa ciri-ciri trauma pada mayat
yang ditemukan tersebut tak tampak seperti jatuh dari ketinggian 800 kaki.
Namun lebih tampak jatuh dari ketinggian sebuah pohon kelapa.
Saat
itu Bondan memutuskan bahwa kejadian ini tidaklah benar. Pria kelahiran
Surabaya, 29 April 1950 ini menganggap ada kejadian besar di belakang peristiwa
ini. Oleh karena itu, beberapa hari kemudian dimulailah reportase Bondan di
lapangan. Dalam waktu sebulan, ia melakukan reportase di Kalimantan, Filipina,
hingga Kanada.
Sebelum
kematian De Guzman, Bondan sebenarnya telah mengamati kasus Bre-X. Artikelnya
tentang penambangan yang dilakukan oleh Bre-X bahkan sempat dimuat oleh The
Wall Street Journal pada 24 Januari 1997. Artikel itu dimuat dengan judul All
That Glitters: The Indonesian Gold Crush. Setelah pemuatan itulah Bondan
dianggap sebagai ahli tambang. “Jadi tiba-tiba pak Kuntoro mengundang saya
untuk diskusi di kantornya di Dirjen Pertambangan Umum dengan para Geolog. Itu
mereka memanggil saya prof, saya kaget,” ujar Bondan seraya tertawa.
“Pak, saya
bukan geolog, justru dalam pertemuan ini saya ingin dengar dari bapak-bapak
yang memang ahli-ahli di bidang geologi,” jawab Bondan waktu itu. Pada akhir
diskusi tersebut, mereka semua sepakat dengan Bondan bahwa secara geologis
Kalimantan tidak memiliki potensi emas yang besar. Kuntoro yang dimaksud oleh
Bondan adalah Kuntoro Mangkusubroto, Direktur Jenderal Pertambangan Umum,
Departemen Pertambangan dan Energi waktu itu.
Meski
tidak memiliki kartu pers, Bondan tetap terus melakukan reportase. Dulu ia
memang sempat bekerja di dunia pers, mulai dari kameramen di Departemen
Pertahanan dan Keamanan, hingga menjadi pemimpin redaksi majalah SWA. Namun, ia
akhirnya memutuskan keluar dari dunia pers untuk sementara waktu dan menjadi pengusaha
agar dapat membiayai pendidikan anak perempuannya yang bernama Gwendoline di
Amerika.
Sopan
santun adalah modal Bondan dalam menemui narasumber. Hal ini pula yang
menyebabkan Yohanes, seorang penjaga gudang Bre-X di Loa Duri, sebuah desa di
pinggir sungai dekat Samarinda, bersedia menerimanya. Padahal sebelumnya, semua
wartawan yang datang ke sana diusir oleh Yohanes.
Bermodalkan
sopan santun, Bondan pun datang kesana. Pintu gudang diketuknya. Tak lama
kemudian, Yohanes pun muncul dari balik pintu.
“Selamat
sore pak, nama saya Bondan Winarno, saya dari Jakarta, saya mau menulis buku
tentang Bre-X.”
“Anda
bukan dari wartawan koran?”
“Bukan,
saya mau nulis buku, tapi anda boleh juga menyebut saya wartawan untuk menulis
buku itu.”
“Bukan
dari Kompas?”
“Bukan.”
“Bukan
dari TEMPO?”
“Bukan.”
“Ya
sudah, masuk.”
Seperti
kebiasaannya, dalam beberapa peliputan Bondan selalu membawa rokok meskipun ia
sendiri tidak merokok. Ditawarkannya rokok itu pada Yohanes. Setelah beberapa
hisapan, meluaplah kemarahan Yohanes.
“Wartawan
Kompas itu bohong pak, saya sudah ngomong gini-gini dia nulisnya lain, apalagi
itu yang dari The Wall Street Journal, sampai saya diuber-uber orang,
disangkanya peracunannya di sini,” ungkap Yohanes kesal.
Pada
waktu itu, beberapa pemberitaan di media massa mengatakan bahwa gudang Bre-X di
Loa Duri dijadikan sebagai tempat peracunan inti bor. Dalam istilah geologi,
peracunan inti bor itu dikenal sebagai salting. Dalam kasus Bre-X, peracunan
ini bertujuan untuk membuat daerah pengeboran tampak memiliki kandungan emas
yang tinggi.
Yohanes
pun lantas mengemukakan alasannya dan menunjukkan bukti-bukti pada Bondan
kenapa gudang di Loa Duri tidak mungkin menjadi tempat peracunan inti bor.
Reportase Bondan kemudian juga membuktikan ketidakmungkinan terjadinya
peracunan inti bor di Loa Duri.
Dalam melakukan reportase,
Bondan kerapkali mengalami kesulitan. Namun, kesulitan yang sangat dirasakan
Bondan waktu itu disebabkan karena ia sudah berangkat dengan suatu kesimpulan.
Kesimpulan itu ialah bahwa De Guzman belum mati. “Kesimpulan itu adalah hasil
deduksi dan tidak ada orang yang percaya kecuali saya sendiri,” ucap Bondan.
“Deduksi itu adalah mengumpulkan
semua informasi sekecil apapun kemudian merangkainya dan melihat kaitannya
dengan ini, kaitannya dengan ini, kaitannya dengan ini, berarti kesimpulannya
seperti ini,” jelasnya kemudian.
Saat mengemukakan teorinya
tentang De Guzman yang melakukan cheating death, Bondan mengatakan ia dimusuhi
oleh wartawan-wartawan The Wall Street Journal. “Wartawan-wartawan mereka itu
tiba-tiba memusuhi saya karena saya mengatakan bahwa The Wall Street Journal
salah dengan teori gudang Loa Duri itu sebagai tempat salting, mereka malu di
situ,” kenang Bondan.
Bondan merupakan orang pertama
yang mengemukakan teori bahwa kematian De Guzman merupakan sebuah penipuan.
Wartawan The Wall Street Journal tidak percaya pada teori ini awalnya. Namun
sepuluh tahun kemudian, di tahun 2007 kemarin, wartawan The Wall Street Journal
ini menelepon Bondan.
“Bondan kamu benar.”
“Benar
apa?”
“Ya,
sekarang kita mendapat informasi bahwa De Guzman ada di Brazil, dan istrinya,
Genie yang ada di Palangkaraya, masih tetap dapat kiriman uang.”
“Ok,
tapi saya sudah malas untuk mengejar lagi.”
***
Setelah
merugikan para investornya lebih dari 6 miliar dollar Kanada, Bre-X akhirnya
bangkrut pada tahun 2002. John Felderhof dinyatakan tidak bersalah oleh
pengadilan Kanada pada 31 Juli 1997. Koran Canadian Bussines menyebut peristiwa
itu sebagai kekalahan Kanada dalam perang melawan penjahat kerah putih.
Dalam
pengadilan itu, Felderhof disidangkan dengan tuduhan menyebarkan isu yang
menyesatkan dalam perdagangan saham dan melakukan insider trading. Insider
trading adalah istilah yang merujuk pada perdagangan saham atau sekuritas suatu
perusahaan yang dilakukan oleh orang-orang dalam perusahaan tersebut. Dalam
beberapa kasus, praktik ini legal di depan hukum. Meski begitu, praktik ini
dapat menjadi ilegal ketika perdagangan saham dilakukan berdasarkan informasi
internal perusahaan yang tidak disediakan untuk umum. Selain tidak adil, hal
ini akan menghancurkan bursa efek karena merusak kepercayaan investor.
Pada
awal Juni 1998, David Walsh meninggal dunia karena serangan jantung di Nassau
Bahama. Saat harga saham Bre-X sedang tinggi, ia membeli rumah mewah di pulau
ini. Dalam lembar tambahan yang disisipkan di bukunya, Bondan mengatakan bahwa
Walsh adalah seorang perokok dan peminum berat, serta memiliki masalah
kelebihan berat badan.
De Guzman belum ditemukan hingga saat ini. Meski begitu, pada 26 Mei 2007 koran
Calgary Herald mengabarkan De Guzman sempat mengirim uang pada Genie, istri
keduanya yang bernama asli Sugini Karnasih yang tinggal di Indonesia. Dalam
artikel berjudul The Mystery of Michael de Guzman tersebut, De Guzman dikabarkan
menelepon rumah Genie enam pekan setelah ia dikabarkan tewas. Telepon itu
diangkat oleh pembantu Genie. Dalam percakapan di telepon itu, De Guzman
meminta Genie memeriksa rekeningnya. Setelah diperiksa, ternyata Genie
memperoleh kiriman uang sebesar 200 ribu dollar Amerika.
Pada tahun 2005, Genie
menerima fax dari Brazil. Dalam fax tersebut, Genie mendapat pemberitahuan
bahwa ia menerima kiriman uang sebesar 25 ribu dollar Amerika. Kiriman itu ia
terima pada hari Valentine, yang bertepatan dengan hari ulang tahun De Guzman.
***
“Sepanjang
sejarah, kalau sudah soal emas orang jadi kehilangan akal, akal sehatnya ngga
jalan. Seolah-olah di kaki pelangi itu akan ada emas yang berbukit-bukit,”
ungkap Bondan menjelaskan maksud dari judul buku Bre-X: Sebungkah Emas Di Kaki
Pelangi, yang ditulisnya. Buku ini banyak disebut sebagai the best
investigative report yang ditulis oleh orang Indonesia.
Namun
ironisnya, pengakuan itu baru datang beberapa tahun setelah buku ini pertama
kali diterbitkan. “Pertama kali muncul pengakuan itu saya kira sekitar tahun
2003 oleh ISAI (Institut Studi Arus Informasi). Andreas Harsono memakai buku
itu sebagai suatu contoh dalam pelatihan di bidang jurnalisme investigasi,”
ungkap Bondan. Andreas Harsono adalah anggota International Consortium for
Investigative Journalists (ICIJ) di Indonesia selain Goenawan Mohamad, salah
satu pendiri majalah TEMPO. “Sekarang kan buku saya dianggap oleh ISAI sebagai
buku jurnalisme investigasi terbaik, saya bilang, ya, ok, terlambatlah,” lanjut
pria yang sejak kecil sudah bercita-cita menjadi wartawan ini seraya tertawa.
Beberapa waktu setelah buku ini
beredar, Bondan akhirnya menarik buku ini dari pasaran karena adanya tuntutan
dari Ida Bagus Sudjana, Menteri Pertambangan dan Energi waktu itu. Sudjana
menuntut Bondan atas dasar pencemaran nama baik dan meminta ganti rugi sebesar
1 triliun rupiah serta pemasangan iklan permohonan maaf di sepuluh media cetak
di Jakarta dan dua media cetak di Bali.
Salah satu penyebab tuntutan
Sudjana ini disebabkan karena Bondan menulis tentang inkompetensinya dalam hal
kebijakan tambang. Namun, tulisan Bondan mengenai hal ini bukanlah tanpa dasar.
Pers asing seperti Canadian Bussines menguatkan inkompetensi Sudjana ini. Brian
Hutchinson, seorang wartawan Canadian Bussines mengatakan dalam salah satu
artikelnya, “The tall, stiff Sudjana has no grasp of the technicalities of
mining. He is completely incompetent, he leaves everything to his advisers.”
Bahkan, mantan anak buah Sudjana menelepon Bondan dan mengatakan, “pak Bondan,
dia sekarang sudah bukan bos saya, jadi kalau bapak mau, saya bersedia menjadi
saksi, karena semua pidato dia di luar negeri saya yang bikin,” ujar Bondan
menirukan ucapan mantan anak buah Sudjana.
Menurut Bondan, latar belakang
tuntutan Sudjana itu sebenarnya adalah tuduhan bahwa ia dibayar oleh Kuntoro
Mangkusubroto untuk menulis buku tersebut. Tuduhan inilah yang menjadi salah
satu hal paling menyakitkan yang diterima Bondan setelah menulis buku ini. “Itu
untuk saya sangat memalukan. Dia menyangka saya itu seorang wartawan kere
(miskin) yang ngga punya duit. Jadi dia heran kok ini orang bisa ke mana-mana.
Tapi dia lupa, sebelum melakukan itu kan saya sudah pernah jadi presiden dari
Ocean Beauty di Amerika. Lihat saja gaji saya berapa, ngga usah susah-susah.
Itu untuk menunjukkan bahwa saya a man of resources. Saya mampu mendanai semua
itu dari uang saya sendiri. Itu bukan untuk menyombongkan diri, tapi
kenyataannya memang begitu,” ungkap Bondan kesal.
Di
pengadilan, terdapat informasi bahwa Bondan dibayar oleh Kuntoro. Menurut
Bondan, kalau seseorang menulis atas pesanan seseorang, maka nama orang yang
memesan itu akan ditulis paling banyak. Padahal ketika dihitung, nama Ida Bagus
Sudjana lebih banyak disebutkan oleh Bondan daripada nama Kuntoro
Mangkusubroto. “Lha kalau dilihat dari sini yang paling pantas membayar saya
malah bapak,” jelas Bondan pada Ida Bagus Sudjana waktu itu.
Bondan
pun menolak jika dikatakan dalam bukunya ia terlalu memuji Kuntoro. “Kalau
mengagung-agungkan menurut saya ngga, karena saya tulis apa adanya, memang dia
bener kok di situ. Coba aja, ada ngga kalimat yang ngga perlu yang saya tulis
mengenai Kuntoro, yang ngga ada kaitannya dengan ini, ya ngga ada. Saya memang
kenal sama pak Kuntoro, itu bukan rahasia. Tapi itu bukan berarti saya dibayar
dia, yang bener aja,” ungkap Bondan sedikit emosi.
Hal lain yang menyakitkan Bondan
adalah karena tidak adanya dukungan dari sesama wartawan atas tuntutan yang
diterima Bondan. “Karena saya memang tidak mewakili siapa-siapa, saya tidak
mewakili lembaga, saya kan atas nama diri sendiri dan mereka tidak melihat itu.
Mungkin kalau saya mati baru mereka membela. Tapi karena saya ngga mati ya
sudahlah, it’s your own, itu salib kamu sendiri, pikul sendirilah,” ujar Bondan
mengemukakan alasan kenapa tidak ada wartawan yang mendukungnya saat itu.
“Padahal waktu TEMPO disikat sama Tomy Winata, saya jadi ketua untuk Gerakan
Anti Premanisme. Waktu itu, yang mau membela saya justru World Bank,”
tambahnya.
Saat tuntutan Sudjana ini
bergulir ke meja hijau, Bondan bekerja sebagai konsultan di World Bank. Suatu
ketika, Bondan mengantar Dennis de Tray, Country Director World Bank untuk
bertemu dengan Hartarto, Menteri Koordinator dan Distribusi waktu itu. Setelah
Bondan memperkenalkan diri, Hartarto pun membentak Bondan dengan suara tinggi,
“Oo..kamu ya yang namanya Bondan Winarno!” Bondan pun menjawab, “iya pak.”
Namun, Hartarto pun segera memelankan suaranya setelah tersadar bahwa Dennis de
Tray juga berada di sana bersama Bondan.
Setelah pertemuan itu, Dennis
pun bertanya pada Bondan.
“Kenapa
kamu dibentak sama Hartarto?”
“O
iya, dalam kasus Bre-X itu saya mempersoalkan keterlibatan Airlangga Hartarto,
anak dia di Bre-X.”
“Lho ada masalah apa?”
Bondan pun lantas menceritakan
perihal tuntutan Sudjana itu kepada Dennis.
“Bondan, kamu jangan sampai
takut ya menghadapi ini, kita bantu ongkos perkaranya.”
“Ngga mau”
“Ini bukan dari World Bank, tapi
dari teman-teman kamu di World Bank.”
“Ngga mau, karena begitu
ketahuan saya terima uang dari kamu dan teman-teman, nanti akan ada cerita
lain. Please, saya terima kasih kamu kasih dukungan moral, ini berat untuk saya
tapi biar saya bayar sendiri,” ucap Bondan waktu itu.
Dukungan
dari World Bank ini sangat berarti bagi Bondan. Saat terjerat kasus ini, Bondan
menyampaikan pengunduran dirinya pada World Bank. Peraturan World Bank tentang
pegawainya yang terlibat dalam masalah hukum sangat tegas. Apalagi Bondan saat
itu dituntut secara pidana dan perdata. Namun World Bank justru tidak menerima
pengunduran diri Bondan ini. “Ngga, kamu ngga mengundurkan diri, kamu tetep,
kita tahu bahwa masalah kamu adalah masalah yang justru menegakkan anti
korupsi,” ucap Bondan menirukan penjelasan World Bank waktu itu.
Sebelum
tuntutan Sudjana ini bergulir ke meja hijau, Bondan sebenarnya sudah akan
menerbitkan buku ini dalam bahasa Inggris. Dalam waktu cepat, Bondan telah
menerjemahkan buku ini ke dalam bahasa Inggris, bahkan ia telah membayar
seorang editor Kanada bernama Wendy Thomas.
“Tadinya
itu pertimbangannya betul-betul bisnis waktu saya mau setengah mati membuat
buku itu selesai dalam satu bulan dan menerbitkannya sendiri. Saya pikir buku
ini bakal laris, yang dalam bahasa Inggris juga laris, bahkan bisa jadi film di
Hollywood sana, saya akan meraup keuntungan lah. Tapi semuanya gagal hanya
karena tuduhan yang kemudian menyulitkan saya,” ungkap Bondan. Bondan pun
akhirnya mengurungkan niatnya untuk menerbitkan buku ini dalam edisi bahasa
Inggris. Sebuah keputusan yang lantas disesali oleh Bondan kemudian.
Teror
merupakan hal yang ditakuti Bondan saat itu. Suatu ketika, istri Bondan yang
bernama Yvonne Raket ketakutan karena ditelepon oleh seseorang yang mengaku
sebagai tentara. Orang itu mengatakan akan menyita rumah Bondan. Saat itu
Bondan berkata pada istrinya, “ya sudahlah, kalau kita memang akan kehilangan
semuanya apa boleh buat, karena kita berhadapan dengan penguasa.”
Meski
akhirnya Bondan kalah di pengadilan, namun tuntutan Sudjana itu tidak pernah
dipenuhi Bondan. Hal ini disebabkan karena Sudjana telah meninggal dunia
terlebih dahulu. “Untuk dia poinnya cuma satu, dia sudah bisa menyatakan bahwa
dia menang di pengadilan. Pengadilan yang dia bayar tentunya,” ucap Bondan.
***
Meski
sempat menuai hasil pahit dari jerih payahnya menulis kasus Bre-X, Bondan tidak
kapok untuk melakukan reportase investigasi lagi. Menurut Bondan, selama ada burning issue yang membakarnya seperti kematian De Guzman, ia tak akan ragu
untuk turun lagi ke lapangan.
Sebenarnya
saat ini ada sebuah burning issue yang membuat Bondan ingin kembali
melakukan investigasi, yaitu masalah impor beras. Namun menurut Bondan, hal ini
berada di luar kemampuannya.
Dalam
masalah ini, Bondan mempertanyakan kebijakan impor beras yang dilakukan oleh
pemerintah. “Jangan-jangan ini semua adalah isu-isu yang dibuat sedemikian rupa
sehingga kita percaya. Jangan-jangan sebetulnya kita cukup beras. Saya ngoyo
(bekerja keras) untuk mencari tahu jawaban-jawabannya karena beras adalah
komoditas politik. Beras adalah komoditas korupsi. Di situ ada
kepentingan-kepentingan yang mempertahankan tetap berlangsungnya impor beras,”
jelas Bondan.
Bagi
Bondan, terdapat dua modal utama yang harus dimiliki oleh seorang wartawan
investigasi. Kedua bekal itu adalah otak dan nurani. “Kalau tanpa otak, ngga
ketemu itu, tapi kalau ngga ada nurani, ini semua ngga bisa dirangkai,” tegas
pria yang berpendapat bahwa tantangan menjadi seorang wartawan adalah harus
berani miskin.
Jiwa
investigasi Bondan tidak dapat dilepaskan dari sosok Lord Baden Powell, seorang
Letnan Jenderal kelahiran Inggris yang menjadi idolanya sejak kecil. Baden
Powell adalah seorang intelijen yang menjadi pendiri gerakan kepanduan dunia.
“Saya berpikir ini orang cerdas betul, berarti intelijen itu bukan kayak
spion-spion melayu saja, tapi betul-betul orang yang dengan otaknya mencari
segala macam informasi untuk mengambil suatu kesimpulan. Nah, semangat itu yang
ada di diri saya sejak kecil,” ungkap pria yang pernah menerima Baden Powell
Adventure Award pada tahun 1967 ini ketika mengikuti Jambore Dunia yang ke 12
di Idaho, Amerika.
Sebelum
menerbitkan buku tentang kasus Bre-X, Bondan juga pernah menerbitkan buku
tentang kasus Tampomas. Dalam buku berjudul Neraka Di Laut Jawa tersebut,
Bondan melakukan investigasi atas kecelakaan kapal Tampomas II di laut
Masalembo. Saat itu Bondan mengatakan letak kesalahan yang menyebabkan ratusan
korban meninggal dunia adalah Junus Efendi Habibie, atau yang lebih dikenal
dengan nama Fanny Habibie, adik kandung B.J. Habibie yang waktu itu menjabat sebagai
Dirjen Perhubungan Laut.
Malam ketika kapal Tampomas II
sedang terbakar di laut Masalembo, Fanny Habibie berbicara di TVRI dan
mengatakan bahwa keadaan sudah terkendali. Akibatnya, kapal dari Angkatan Laut
Surabaya yang sudah berangkat untuk menarik kapal Tampomas II justru kembali
lagi. Padahal keesokan paginya, kapal Tampomas II tersebut masih terbakar.
Ketika kapal dari Angkatan Laut Surabaya hendak berangkat kembali menuju lokasi
terbakarnya kapal Tampomas II, mesin kapal ini justru tidak mau jalan. “Itu
sebabnya sampai sekarang pak Fanny Habibie itu memusuhi saya, karena saya
menunjuk kesalahannya kamu! Kenapa sih pakai gengsi-gengsian, wong kapal
terbakar kok dibilang sudah terkendali,” ungkap Bondan kesal.
***
“Ketika saya berumur 48 tahun,
saya takut akan mati di usia muda,” ucap Bondan sedikit menerawang. Oleh karena
itu, pada usia 50 tahun Bondan memutuskan untuk pensiun. Ketakutan ini
disebabkan karena ayah Bondan, Imam Soepangat, meninggal di usia 55 tahun, sedang
kakak lelakinya, Harso Widodo, meninggal di usia 52 tahun. “Jadi saya pikir,
umur saya barangkali cuma 55,” lanjut anak ketiga dari delapan bersaudara ini.
Bondan akhirnya sempat pensiun,
namun hal ini tak berlangsung lama. Pada tahun 2001, ia diminta untuk menjadi
Pemimpin Redaksi Suara Pembaruan. “Waktu itu saya diminta untuk membantu, ya
saya hanya setuju untuk tiga tahun saja,” ujar Bondan.
Ketertarikan Bondan pada liputan
kuliner bermula pada tahun 2004 ketika ia telah menyelesaikan pekerjaannya di
Suara Pembaruan dan memutuskan untuk pensiun. Meski telah pensiun, Bondan tidak
ingin berhenti menulis. Saat itulah, Ninok Leksono dari Kompas menawarinya
untuk menjadi penulis kolom di Kompas Cyber Media.
“Mas,
nulis sing gampang-gampang wae, sing enteng-enteng.”
“Opo?”
“Ya
pariwisata, travel, jalan-jalan, kan mas Bondan suka jalan-jalan.”
“O
iya to, boleh.”
Akhirnya
Bondan pun mulai menulis tentang pariwisata di kolom Jalansutra. Jalansutra
berarti pengetahuan tentang jalan-jalan. Semula, Bondan menulis tentang
jalan-jalannya, tapi lambat laun ia pun mulai menulis tentang kuliner. “Jadi as
simple as that, mencari bidang yang belum digeluti sama orang,” jawab Bondan
perihal awal mula ketertarikannya meliput di bidang kuliner.
Menurut Bondan, dunia kuliner
bisa menjadi sebuah kekuatan ekonomi. “Orang yang dalam kategori pengusaha di
Indonesia ada 52 juta. Dari 52 juta ini, yang kelasnya di atas sepuluh milyar
itu kurang dari dua juta. Jadi selebihnya, yang 50 juta ini pedagang-pedagang
kecil. Nah, dari 50 juta ini, yang terbanyak bergerak di bidang makanan. Baik
yang mulai berkebun, ke pasar, sampai makanan jadi. Sudah pasti. Kalau ngga
percaya itung aja,” ujar penggemar makanan Manado ini seraya tertawa.
Oleh karena itu, Bondan tidak
menganggap sebelah mata dunia kuliner. Jutaan pengusaha yang bekerja di bidang
kuliner adalah pengusaha gurem, sehingga menurutnya, isu kuliner ini harus
diperbaiki. “Masa depan anak-anak itu tergantung pada makanan, kalau makanannya
ngga bener, ngga bener juga nanti masa depannya,” jelas Bondan.
“Saya itu sedang mencari makanan
apa sih yang sebetulnya bisa menjadi makanan bangsa Indonesia yang baik,
akhirnya saya temukan itu. Namanya dalam bahasa Jepang adalah Konyaku,” ungkap
Bondan. Konyaku terbuat dari umbi yang di Jawa dikenal dengan nama iles-iles.
Iles-iles ini banyak terdapat di Indonesia, Cina, dan India. Dilihat dari segi
kesehatan, kelebihan Konyaku adalah nol kalori. Sedangkan dari segi pertanian,
kelebihan Konyaku adalah ia tidak membutuhkan banyak air seperti padi. “Dan
ternyata proses produksinya juga simpel, jadi secara teknis kita sudah bisa
membuatnya,” tambah Bondan yang mulai tahun 2010 ini tidak pernah makan nasi di
rumah karena ingin mengurangi tingkat konsumsi beras.
Ketika ditanya tentang hal apa
yang ingin dilakukan namun belum kesampaian hingga saat ini, dengan bergurau
Bondan menjawab, “saya pengen jadi Duta Besar tapi ngga tau ngelamarnya ke
mana,” katanya seraya tertawa. Namun, gurauan ini segera tergantikan oleh
jawaban serius Bondan selanjutnya, ia ingin jadi motivator. “Sekarang itu kan
banyak motivator, tapi kalau anda perhatikan, semua motivator ini honornya
besar sekali. Sekali ngomong bisa 50 juta, paling murah itu katanya 20 juta.
Lha, lalu yang dimotivasi itu siapa kalau honornya segitu. Anda ngga kuat
bayar, ngga bisa ikut seminar mereka,” ungkapnya.
Suatu ketika, karena penasaran
Bondan datang ke suatu acara motivasi. Baginya, acara motivasi yang dihadirinya
waktu itu hanya omong kosong. Hal inilah yang mendorongnya untuk menjadi
motivator. “Saya ngga perlu dibayar, saya ngga mau dibayar, tapi saya kepingin
dikasih tempatnya, dikasih panggungnya untuk ngomong,” ujar Bondan.
Buruknya Sumber Daya Manusia di
Indonesia menjadi alasan Bondan ingin menjadi seorang motivator. Ia menjelaskan
hal ini dengan mengacu pada rendahnya tingkat Human Development Index (HDI) di
Indonesia yang diterbitkan setiap tahun oleh United Nations Development
Programme (UNDP). “Kalau saya lihat angka ini saya malu. Tapi apakah
calon-calon presiden kemarin memakai angka-angka itu sebagai suatu janji
kampanye mereka. Ngga ada. Jangan-jangan mereka juga ngga tahu bahwa kondisi
kita itu begitu terpuruk,” ungkap pria yang pernah kuliah di jurusan arsitektur
Universitas Diponegoro namun akhirnya tidak diselesaikan karena masalah ekonomi
ini.
“Jadi
kita harus mengubah itu. Mengubah dengan apa, ya sudahlah, anda akan menjawab
sistem persekolahan yang jelek segala macam, tapi jangan percaya sama sekolah
dong kalau gitu, percaya sama diri sendiri. Ambil nasib kamu ke tangan kamu
sendiri sekarang! Jangan nunggu siapa-siapa. Perbaiki dirimu sekarang!” tegas
Bondan dengan nada serius.
*Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di majalah PASTI pada Agustus 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar