"Manusia-manusia yang secara buta menempatkan diri di
dalam kolektif sudah membuat diri mereka menjadi sesuatu seperti bahan
dan memadamkan diri mereka sebagai makhluk yang menentukan diri."
(T.W. Adorno)
oleh: Henry Adrian
oleh: Henry Adrian
Massa, terror dan trauma adalah pengalaman-pengalaman negatif yang
selalu membayangi Indonesia. Pembantaian etnis Cina di Batavia pada tahun 1740,
pembantaian anggota atau mereka yang diduga sebagai anggota PKI pada tahun
1965, kerusuhan Mei 1998, hingga pembantaian etnis Madura di Sampit pada
tahun 2001. Pengalaman-pengalaman tersebut merupakan beberapa pengalaman
negatif yang telah dilalui oleh negara ini. Namun, ancaman akan terjadinya hal
serupa di masa mendatang semakin besar seiring dengan proses globalisasi pasar.
Proses ini siap mengorbankan mereka yang tersingkir menjadi massa dalam
pertentangan-pertentangan ekonomis, politis, ideologis ataupun agama.
Pada 4 April 1945, Pasukan Sekutu membebaskan Kamp Konsentrasi Ohrdruf di Jerman. |
Massa tidak dipahami sebagai sekumpulan orang pada suatu tempat
dan waktu semata. Namun massa dipahami sebagai aksi-aksi dari sekumpulan orang
yang melampaui batas-batas institusional. Mereka dianggap sebagai massa ketika
aksi-aksinya mengabaikan norma-norma sosial yang berlaku dalam situasi
sehari-hari. Massa dalam arti ini selalu berkaitan dengan situasi khusus, yaitu keadaan
yang abnormal.
Dalam buku ini, negativitas tidaklah dipahami sebagai sikap
ataupun perilaku. Namun, negativitas dipahami sebagai sesuatu yang memungkinkan
sikap atau perilaku itu muncul. Destruksi adalah ekspresi fenomenal dari
negativitas, ia adalah fakta. Namun negativitas melampaui fakta, karena ia
berada di ranah metafisis sebagai conditio
humana atau kondisi manusia.
Budi Hardiman mengawali bagian pertama buku ini dengan
mendeskripsikan dimensi tentang “the
other” atau “yang lain” sebagai awal dari negativitas. Secara umum,
terdapat tiga tipe penampakan dari Yang Lain, yaitu Yang Ekstrem Lain, Yang
Kurang Sama dan Yang Sama.
Ketika kita berbicara tentang heterofobia, maka kita akan lebih
banyak mengacu pada mereka Yang Kurang Sama. Yang Lain itu lebih merupakan konstruksi
sosial. Identitas mereka Yang Lain tidak berciri personal, melainkan kolektif.
Nantinya, Yang Lain di antara kita dapat berubah menjadi yang
lain di hadapan kita. “Di hadapan” kita ini
menunjukan suatu bentuk hubungan yang konfrontatif, yang dimungkinkan jika
terjadi blokade dalam persentuhan sosial dan situasi masyarakat.
Mereka yang takut akan melihat Yang Lain sebagai ancaman survival-nya. Namun, hal ini
tidak sekedar mekanisme kambing hitam ala Rene Girard, melainkan suatu strategi
psikis dari ego yang mengalami defisit nilai-nilai dan menemukan penegasan diri
dalam tindakan yang destruktif. Menurut Hermann Broch, “karena
penyebab-penyebab panik tak dikenal, maka sebab-sebab itu harus ditemukan. Dan
karena sumber bahaya hanya dapat dilokalisasi pada non-ego, tak ada yang lebih
cocok untuk proyeksi ini selain pendatang asing yang sekarang dinyatakan
sebagai parasit.”
Oleh karena itu, dengan memproyeksikan mereka Yang Lain tersebut
sebagai ancaman bagi survival-nya,
ego seolah telah menemukan sumber ketakutan mereka. Dan dengan menyerang mereka
Yang Lain tersebut, ego seolah telah mengatasi rasa takut mereka. Padahal,
sistem ketakutan yang mendasari heterofobia tak lain adalah ketakutan akan diri
sendiri, yaitu otofobia.
“Daya dan kekuatan manusia secara mendasar tampak dalam pengalaman
kekerasan… Dari daya kekuatan itulah berasal rasa kepastian diri dan
identitas,” ungkap Hannah Arendt. Baginya, akar-akar kekerasan terletak pada
kerinduan manusia untuk menemukan rasa kepastian dan identitas, atau dengan
kata lain yaitu penegasan diri. Jika kekerasan adalah bentuk penegasan diri,
maka kita tak boleh mengabaikan sisi lain dari hal tersebut, yaitu kekaburan
diri.
Kekaburan diri adalah situasi negatif dari penegasan diri. Hal ini
merupakan sebuah bentuk ketidakmampuan manusia untuk menegaskan dirinya. Para
pelaku kekerasan sebenarnya adalah orang-orang yang mengalami kekaburan diri.
Mereka lantas menegaskan diri dengan mengubah orang lain menjadi korban tindak
kekerasan mereka. Peristiwa ini dimungkinkan dalam situasi massa, dimana mereka
menegaskan diri sebagai subyek kolektif yang melawan objek kolektif lainnya.
Objek kolektif ini lantas direpresentasikan seperti dalam diri
etnis minoritas, sehingga politik massa tak lain dari politik representasi.
Peradaban telah membantu manusia untuk memandang rendah kekerasan. Namun di
sisi lain, perdaban juga telah membantu meningkatkan pesona kekerasan. Hal ini
dimungkinkan karena peradaban telah menemukan alat pertolongan yang membantu
manusia untuk membunuh sesamanya tanpa rasa bersalah. Alat tersebut tak lain
adalah cara-cara untuk mendehumanisasi manusia-manusia yang dibenci menjadi
sebatas binatang.
Tumbuhnya kesadaran diri dalam diri manusia disertai dengan
tumbuhnya kesadaran bahwa suatu ketika ia akan mati. Hal ini seringkali
menghasilkan kecemasan akan kematian, karena itu, manusia seringkali melakukan
resistensi terhadap kesadaran ini. Massa dan teror pada esensinya bersumber
dari kematian. Dalam terorisme, ketakutan akan kematian diperbesar. Sehingga,
tujuan dari terorisme bukanlah mencipatakan kematian, namun menciptakan
ketakutan akan kematian. Teror akan menghasilkan massa, karena teror
menyeragamkan manusia dengan rasa takut. Dalam situasi teror, solidaritas
negatif massa dapat tumbuh dan menghasilkan teror. Sehingga bukan hanya teror
yang menghasilkan massa, namun massa pun juga menghasilkan teror.
Hal ini sebenarnya dapat diatasi jika manusia berani melihat
manusia lainnya bukan sebagai teror yang mengancam survival mereka. Namun dalam politik massa
dan teror, orang tak mau menempuh jalan ini. Dalam politik ini, orang tak mau
berkomunikasi dengan yang lain melalui intersubyektifitas, yaitu suatu proses
pengenalan diri melalui pengenalan atas orang lain.
Dalam buku ini, Budi Hardiman juga menjelaskan mengapa orang
seperti Seoharto mampu mengendalikan ratusan juta orang lainnya pada masa Orde
Baru. Kunci jawaban atas permasalahan ini menurutnya tidak terletak pada
kekuasaan, namun pada kepatuhan. Ia menjelaskan hal ini dengan suatu tesis yang
mengatakan bahwa manusia dapat meniru mesin. Dan mesin-mesin ini dikendalikan
oleh suatu mega machine dalam bentuk rezim. Kesamaan
manusia dengan mesin tidaklah natural, melainkan artifisial. Hal ini tampak
ketika manusia melakukan suatu bentuk mimesis. Mimesis ini tidak hanya berarti
meniru suatu perilaku yang bukan dirinya, namun juga memiliki perasaan menjadi
bukan dirinya.
Mimesis ini menampakan dirinya dalam bentuk kepatuhan. Seperti
mesin, tubuh yang patuh bergerak menurut skema-skema objek yang ditirunya, seperti
perintah. Manusia dimungkinkan untuk patuh dan meniru mesin karena desakan atas
suatu motif purba, yaitu survival. Nantinya, proses mimesis ini dapat
dipercepat dengan pemberian punishment bagi mereka yang tidak patuh, dan
memberikan reward pada mereka yang patuh.
Selain tubuh-tubuh yang patuh, ada hal lain yang juga mengungkap
rahasia kepatuhan pada rezim otoriter seperti Orde Baru, yaitu eliminasi suara
hati. Dalam diri manusia terdapat suatu bentuk instansi moral yang dapat
menolak perintah yang tidak sesuai dengannya. Hal inilah yang disebut suara
hati. Namun, jika manusia dipasang dibawah suatu struktur otoritas, ia akan
memiliki modus berpikir bahwa ia tidak bertanggung jawab atas perbuatannya,
karena ia hanya menjalankan perintah atasan. Makin impersonal subjek yang
memerintah itu, maka makin besar pula daya desak untuk tidak menggunakan hati
nurani.
Bagi tubuh-tubuh konformis tersebut, dusta pada akhirnya menjadi mode of being. Kepatuhan tanpa kejujuran tidaklah
berarti, namun diantara para pendusta, cukuplah kepatuhan tersebut ditampakan,
sehingga apa yang dikatakan seolah-olah juga dilakukan. Pelantunan kepatuhan
ini tak lain daripada penjilatan. Dan dibalik para penjilat inilah sebenarnya
berdiri dengan tunduk para pengecut. Plato menggambarkan keadaan ini dengan
sangat baik. Menurutnya, “yang paling parah di antara binatang-binatang buas
adalah sang tiran, sedangkan di antara binatang-binatang jinak adalah si
penjilat.”
Pada monumen utama yang didirikan setelah Perang Dunia II di bekas
kamp konsentrasi pertama Hitler tertulis Nie
Wieder (jangan pernah
terulang lagi). Kalimat tersebut merupakan harapan tentang massa depan agar
peristiwa holocaust tidak terulang lagi. Sejarah sebagai
peristiwa berbeda dengan sejarah sebagai bekas dalam kesadaran kolektif.
Sebagai peristiwa, sejarah tidak mungkin terulang lagi. Namun, sejarah telah
meninggalkan struktur dan pola tertentu yang tertanam dalam ingatan kolektif.
Sehingga, karena menjadi bagian struktural dalam ingatan kolektif, bekas itu masih
menentukan perilaku aktual. Dia tak sepenuhnya dilupakan, namun juga diingat.
Trauma merupakan bekas atau torehan dari suatu peristiwa negatif
di masa silam. Dasar dari trauma adalah peristiwa, namun trauma itu sendiri
bukanlah peristiwa. Ia adalah bekas yang membuat peristiwa seolah-oleh hadir
kembali dengan melebih-lebihkan sisi gelapnya.
Dalam mekanisme psikis, mengingat dan melupakan di dalam trauma
merupakan bagian yang tak terpisahkan. Di satu sisi, korban ingin melupakannya,
namun di sisi yang lain, ia justru mengingatnya. Bagi Hannah Arendt, memaafkan
sekaligus berjanji adalah suatu cara untuk merelakan suatu peristiwa yang telah
terjadi dan berusaha menjalani hidup dengan lembaran yang baru. Namun, trauma
telah membuat korban tak mampu lagi bertindak, maka ia tak mampu memaafkan.
Akhirnya, solusi yang tersedia adalah membiarkan diri matang oleh
waktu, yaitu dengan bercerita pada diri sendiri maupun orang lain. Bercerita
dapat menjadi perjalanan menuju merelakan peristiwa-peristiwa traumatis yang
telah lewat. Merelakan bukanlah fatalisme ataupun defaitisme, melainkan suatu
upaya untuk memutus rantai kekerasan.
Di dalam trauma, ketakutan tidak pernah sungguh-sungguh lewat,
namun ia senantiasa datang menghampiri. Oleh karena itu, detraumatisasi tidak
hanya membutuhkan waktu, tapi juga pelaksanaan penegakan hukum yang didasarkan
pada keadilan.
Judul buku // Memahami
Negativitas: Diskursus tentang Massa, Terror, dan Trauma
Penulis // F. Budi
Hardiman
Epilog // Dr. Karlina
Supeli
Penerbit // Penerbit
Buku Kompas
Tahun terbit //
Oktober 2005
Halaman // xliv + 222
halaman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar