Pages

Senin, 02 Mei 2011

Memahami Akar Kekerasan Massa

"Manusia-manusia yang secara buta menempatkan diri di  dalam kolektif sudah membuat diri mereka menjadi sesuatu seperti bahan dan memadamkan diri mereka sebagai makhluk yang menentukan diri."
(T.W. Adorno)

oleh: Henry Adrian

Massa, terror dan trauma adalah pengalaman-pengalaman negatif yang selalu membayangi Indonesia. Pembantaian etnis Cina di Batavia pada tahun 1740, pembantaian anggota atau mereka yang diduga sebagai anggota PKI pada tahun 1965, kerusuhan Mei 1998, hingga pembantaian etnis Madura di Sampit pada tahun 2001. Pengalaman-pengalaman tersebut merupakan beberapa pengalaman negatif yang telah dilalui oleh negara ini. Namun, ancaman akan terjadinya hal serupa di masa mendatang semakin besar seiring dengan proses globalisasi pasar. Proses ini siap mengorbankan mereka yang tersingkir menjadi massa dalam pertentangan-pertentangan ekonomis, politis, ideologis ataupun agama.
Pada 4 April 1945, Pasukan Sekutu membebaskan Kamp Konsentrasi Ohrdruf di Jerman.

Massa tidak dipahami sebagai sekumpulan orang pada suatu tempat dan waktu semata. Namun massa dipahami sebagai aksi-aksi dari sekumpulan orang yang melampaui batas-batas institusional. Mereka dianggap sebagai massa ketika aksi-aksinya mengabaikan norma-norma sosial yang berlaku dalam situasi sehari-hari. Massa dalam arti ini selalu berkaitan dengan situasi khusus, yaitu keadaan yang abnormal.
Dalam buku ini, negativitas tidaklah dipahami sebagai sikap ataupun perilaku. Namun, negativitas dipahami sebagai sesuatu yang memungkinkan sikap atau perilaku itu muncul. Destruksi adalah ekspresi fenomenal dari negativitas, ia adalah fakta. Namun negativitas melampaui fakta, karena ia berada di ranah metafisis sebagai conditio humana atau kondisi manusia.

Budi Hardiman mengawali bagian pertama buku ini dengan mendeskripsikan dimensi tentang “the other” atau “yang lain” sebagai awal dari negativitas. Secara umum, terdapat tiga tipe penampakan dari Yang Lain, yaitu Yang Ekstrem Lain, Yang Kurang Sama dan Yang Sama.
Ketika kita berbicara tentang heterofobia, maka kita akan lebih banyak mengacu pada mereka Yang Kurang Sama. Yang Lain itu lebih merupakan konstruksi sosial. Identitas mereka Yang Lain tidak berciri personal, melainkan kolektif. Nantinya, Yang Lain di antara kita dapat berubah menjadi yang lain di hadapan kita. “Di hadapan” kita ini menunjukan suatu bentuk hubungan yang konfrontatif, yang dimungkinkan jika terjadi blokade dalam persentuhan sosial dan situasi masyarakat.
Mereka yang takut akan melihat Yang Lain sebagai ancaman survival-nya. Namun, hal ini tidak sekedar mekanisme kambing hitam ala Rene Girard, melainkan suatu strategi psikis dari ego yang mengalami defisit nilai-nilai dan menemukan penegasan diri dalam tindakan yang destruktif. Menurut Hermann Broch, “karena penyebab-penyebab panik tak dikenal, maka sebab-sebab itu harus ditemukan. Dan karena sumber bahaya hanya dapat dilokalisasi pada non-ego, tak ada yang lebih cocok untuk proyeksi ini selain pendatang asing yang sekarang dinyatakan sebagai parasit.” 
Oleh karena itu, dengan memproyeksikan mereka Yang Lain tersebut sebagai ancaman bagi survival-nya, ego seolah telah menemukan sumber ketakutan mereka. Dan dengan menyerang mereka Yang Lain tersebut, ego seolah telah mengatasi rasa takut mereka. Padahal, sistem ketakutan yang mendasari heterofobia tak lain adalah ketakutan akan diri sendiri, yaitu otofobia.
“Daya dan kekuatan manusia secara mendasar tampak dalam pengalaman kekerasan… Dari daya kekuatan itulah berasal rasa kepastian diri dan identitas,” ungkap Hannah Arendt. Baginya, akar-akar kekerasan terletak pada kerinduan manusia untuk menemukan rasa kepastian dan identitas, atau dengan kata lain yaitu penegasan diri. Jika kekerasan adalah bentuk penegasan diri, maka kita tak boleh mengabaikan sisi lain dari hal tersebut, yaitu kekaburan diri.
Kekaburan diri adalah situasi negatif dari penegasan diri. Hal ini merupakan sebuah bentuk ketidakmampuan manusia untuk menegaskan dirinya. Para pelaku kekerasan sebenarnya adalah orang-orang yang mengalami kekaburan diri. Mereka lantas menegaskan diri dengan mengubah orang lain menjadi korban tindak kekerasan mereka. Peristiwa ini dimungkinkan dalam situasi massa, dimana mereka menegaskan diri sebagai subyek kolektif yang melawan objek kolektif lainnya.
Objek kolektif ini lantas direpresentasikan seperti dalam diri etnis minoritas, sehingga politik massa tak lain dari politik representasi. Peradaban telah membantu manusia untuk memandang rendah kekerasan. Namun di sisi lain, perdaban juga telah membantu meningkatkan pesona kekerasan. Hal ini dimungkinkan karena peradaban telah menemukan alat pertolongan yang membantu manusia untuk membunuh sesamanya tanpa rasa bersalah. Alat tersebut tak lain adalah cara-cara untuk mendehumanisasi manusia-manusia yang dibenci menjadi sebatas binatang.
Tumbuhnya kesadaran diri dalam diri manusia disertai dengan tumbuhnya kesadaran bahwa suatu ketika ia akan mati. Hal ini seringkali menghasilkan kecemasan akan kematian, karena itu, manusia seringkali melakukan resistensi terhadap kesadaran ini. Massa dan teror pada esensinya bersumber dari kematian. Dalam terorisme, ketakutan akan kematian diperbesar. Sehingga, tujuan dari terorisme bukanlah mencipatakan kematian, namun menciptakan ketakutan akan kematian. Teror akan menghasilkan massa, karena teror menyeragamkan manusia dengan rasa takut. Dalam situasi teror, solidaritas negatif massa dapat tumbuh dan menghasilkan teror. Sehingga bukan hanya teror yang menghasilkan massa, namun massa pun juga menghasilkan teror.
Hal ini sebenarnya dapat diatasi jika manusia berani melihat manusia lainnya bukan sebagai teror yang mengancam survival mereka. Namun dalam politik massa dan teror, orang tak mau menempuh jalan ini. Dalam politik ini, orang tak mau berkomunikasi dengan yang lain melalui intersubyektifitas, yaitu suatu proses pengenalan diri melalui pengenalan atas orang lain.
Dalam buku ini, Budi Hardiman juga menjelaskan mengapa orang seperti Seoharto mampu mengendalikan ratusan juta orang lainnya pada masa Orde Baru. Kunci jawaban atas permasalahan ini menurutnya tidak terletak pada kekuasaan, namun pada kepatuhan. Ia menjelaskan hal ini dengan suatu tesis yang mengatakan bahwa manusia dapat meniru mesin. Dan mesin-mesin ini dikendalikan oleh suatu mega machine dalam bentuk rezim. Kesamaan manusia dengan mesin tidaklah natural, melainkan artifisial. Hal ini tampak ketika manusia melakukan suatu bentuk mimesis. Mimesis ini tidak hanya berarti meniru suatu perilaku yang bukan dirinya, namun juga memiliki perasaan menjadi bukan dirinya.
Mimesis ini menampakan dirinya dalam bentuk kepatuhan. Seperti mesin, tubuh yang patuh bergerak menurut skema-skema objek yang ditirunya, seperti perintah. Manusia dimungkinkan untuk patuh dan meniru mesin karena desakan atas suatu motif purba, yaitu survival. Nantinya, proses mimesis ini dapat dipercepat dengan pemberian punishment bagi mereka yang tidak patuh, dan memberikan reward pada mereka yang patuh.
Selain tubuh-tubuh yang patuh, ada hal lain yang juga mengungkap rahasia kepatuhan pada rezim otoriter seperti Orde Baru, yaitu eliminasi suara hati. Dalam diri manusia terdapat suatu bentuk instansi moral yang dapat menolak perintah yang tidak sesuai dengannya. Hal inilah yang disebut suara hati. Namun, jika manusia dipasang dibawah suatu struktur otoritas, ia akan memiliki modus berpikir bahwa ia tidak bertanggung jawab atas perbuatannya, karena ia hanya menjalankan perintah atasan. Makin impersonal subjek yang memerintah itu, maka makin besar pula daya desak untuk tidak menggunakan hati nurani.
Bagi tubuh-tubuh konformis tersebut, dusta pada akhirnya menjadi mode of being. Kepatuhan tanpa kejujuran tidaklah berarti, namun diantara para pendusta, cukuplah kepatuhan tersebut ditampakan, sehingga apa yang dikatakan seolah-olah juga dilakukan. Pelantunan kepatuhan ini tak lain daripada penjilatan. Dan dibalik para penjilat inilah sebenarnya berdiri dengan tunduk para pengecut. Plato menggambarkan keadaan ini dengan sangat baik. Menurutnya, “yang paling parah di antara binatang-binatang buas adalah sang tiran, sedangkan di antara binatang-binatang jinak adalah si penjilat.”
Pada monumen utama yang didirikan setelah Perang Dunia II di bekas kamp konsentrasi pertama Hitler tertulis Nie Wieder (jangan pernah terulang lagi). Kalimat tersebut merupakan harapan tentang massa depan agar peristiwa holocaust tidak terulang lagi. Sejarah sebagai peristiwa berbeda dengan sejarah sebagai bekas dalam kesadaran kolektif. Sebagai peristiwa, sejarah tidak mungkin terulang lagi. Namun, sejarah telah meninggalkan struktur dan pola tertentu yang tertanam dalam ingatan kolektif. Sehingga, karena menjadi bagian struktural dalam ingatan kolektif, bekas itu masih menentukan perilaku aktual. Dia tak sepenuhnya dilupakan, namun juga diingat.
Trauma merupakan bekas atau torehan dari suatu peristiwa negatif di masa silam. Dasar dari trauma adalah peristiwa, namun trauma itu sendiri bukanlah peristiwa. Ia adalah bekas yang membuat peristiwa seolah-oleh hadir kembali dengan melebih-lebihkan sisi gelapnya.
Dalam mekanisme psikis, mengingat dan melupakan di dalam trauma merupakan bagian yang tak terpisahkan. Di satu sisi, korban ingin melupakannya, namun di sisi yang lain, ia justru mengingatnya. Bagi Hannah Arendt, memaafkan sekaligus berjanji adalah suatu cara untuk merelakan suatu peristiwa yang telah terjadi dan berusaha menjalani hidup dengan lembaran yang baru. Namun, trauma telah membuat korban tak mampu lagi bertindak, maka ia tak mampu memaafkan.
Akhirnya, solusi yang tersedia adalah membiarkan diri matang oleh waktu, yaitu dengan bercerita pada diri sendiri maupun orang lain. Bercerita dapat menjadi perjalanan menuju merelakan peristiwa-peristiwa traumatis yang telah lewat. Merelakan bukanlah fatalisme ataupun defaitisme, melainkan suatu upaya untuk memutus rantai kekerasan.
Di dalam trauma, ketakutan tidak pernah sungguh-sungguh lewat, namun ia senantiasa datang menghampiri. Oleh karena itu, detraumatisasi tidak hanya membutuhkan waktu, tapi juga pelaksanaan penegakan hukum yang didasarkan pada keadilan.

Judul buku // Memahami Negativitas: Diskursus tentang Massa, Terror, dan Trauma
Penulis // F. Budi Hardiman
Epilog // Dr. Karlina Supeli
Penerbit // Penerbit Buku Kompas
Tahun terbit // Oktober 2005
Halaman // xliv + 222 halaman 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tweet Share