Pages

Rabu, 04 Mei 2011

Dari Khrushchev hingga Mandela


Melihat Sejarah Kecil Indonesia dari Kaca Mata Seorang Wartawan

oleh: Henry Adrian

Pada awal tahun 1960, Perdana Menteri (PM) Rusia, Nikita Khrushchev mengadakan kunjungan kenegaraan ke Indonesia. Ia adalah seorang PM yang menurut bahasa Rosihan Anwar, merupakan seorang diktator yang ingin populer. “Tabiatnya lain dari Stalin yang mengunci dirinya di Kremlin dan pada waktu-waktu tertentu mengeluarkan fatwa dengan akibat fatal berupa hilangnya nyawa musuh-musuhnya.”
Soekarno dan Nikita Khrushchev. (John Dominis)

Cerita di atas merupakan satu dari beberapa cerita yang dikisahkan Rosihan Anwar dalam buku Sejarah Kecil (Petite Historie) Indonesia. Saat itu, Rosihan Anwar berusia 38 tahun. Sebagai Pemimpin Redaksi harian Pedoman, ia menceritakan pengalamannya mengkuti perjalanan Khrushchev selama 10 hari di Indonesia. Perjalanan itu diikuti oleh 11 wartawan Indonesia dan 77 wartawan asing, termasuk Rosihan Anwar sendiri.
Seluk beluk perjalanan Khrushchev ini diceritakan Rosihan Anwar dengan menarik. Mulai dari sikap wartawan Rusia yang tertutup, hingga kesibukan awak pesawat Garuda Indonesia Airlines yang melayani perjalan Khrushchev dari Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Bali dan Ambon pergi-pulang.

Bagaimana gaya wartawan-wartawan yang ikut dalam perjalanan itu menulis berita juga tak lepas dari perhatian Rosihan Anwar. Mulai dari wartawan Rusia yang menulis dengan gaya penuh retorika, hingga gaya wartawan barat yang menulis dengan sangat detil.
“Ada 2.000 orang rakyat yang bersorak gembira, sinar matahari cerah yang melimpahi pekarangan rumput berombak-ombak dari istana. 14 peserta konferensi memasuki ruangan untuk berbicara, dan sebuah patung telanjang dari tembaga, sebuah pemberian Marsekal Josip Broz Tito dari Yugoslavia, memandang dari beranda yang di dekat situ.” Begitulah salah satu gaya penulisan wartawan barat kala itu.
Sekilas, tidak ada yang aneh dari kutipan berita di atas. Namun jika kita memiliki informasi tentang itu, maka akan diketahui bahwa penulis mencoba menunjukkan kontras akan sosok Soekarno. Orang-orang Rusia tidak berteman dengan Tito seperti Soekarno.
Begitulah beberapa gaya tutur Rosihan Anwar dalam buku itu. Sebagai seorang wartawan, penulisan berbagai berita yang menyangkut peristiwa bersejarah tak luput dari kacamata jurnalistiknya. Oleh karena itu, tak aneh jika di bagian awal buku ini, mantan Ketua Dewan Kehormatan PWI ini mampu menceritakan sejarah kecil pers di Indonesia. Mulai dari Tirtohadisoerja, hingga pembredelan beberapa koran setelah peristiwa Malapetaka Limabelas Januari, atau yang dikenal dengan istilah Malari, pada 15 Januari 1974.
Pasang surutnya dunia perfilman nasional pun tak luput dari pengamatan Rosihan Anwar. Perjuangan Usmar Ismail (1921-1971) hingga menjadi Bapak Perfilman Nasional pun mampu diceritakan Rosihan Anwar dengan apik. Maklum, ia merupakan sahabat karib Usmar yang pernah sama-sama sekolah di Algemene Middelbare School (AMS) bagian A, jurusan Klasik Barat di Yogyakarta. Belakangan, ia juga menjadi adik ipar Usmar. Sisi lain kehidupan Usmar yang jarang terdengar seperti pekerjaannya sebagai wartawan hingga perwira intel dikisahkan di sini. Pada tahun 1948, Usmar bahkan sempat ditangkap dan ditahan oleh Belanda di penjara Cipinang selama satu tahun karena tuduhan subversif.
Beberapa cerita personal yang menarik dari pengalamannya bergelut di bidang jurnalistik  juga menjadi salah satu bumbu penyedap di buku ini. Sekitar setahun sebelum kunjungan Khrushchev, Lee Kuan Yew, seorang Perdana Menteri Singapura, berkunjung ke Indonesia. Saat itu, Rosihan Anwar ikut meliput kunjungan Lee Kuan Yew di Istana Cipanas. Setibanya di sana, ia diperkenalkan pada Lee Kuan Yew oleh Sutan Usman Karim, seorang kenalannya di Kementrian Luar Negeri. “Your Excellecy, may I introduce to you Mr. Rosihan anwar, editor of the daily Pedoman,” ucap Suska, sapaan Sutan Usman Karim.
Perkenalan itu berakhir dingin. Lee Kuan Yew tidak menjabat tangan Rosihan Anwar.  Sekedar memberi anggukan atau senyuman pun tidak. Dengan tatapan mata tajam dan tanpa berkata sepatah katapun, ia mengamati Rosihan Anwar dari ujung kepala hingga ujung kaki. Rosihan Anwar pun segera memutuskan dalam hati, “for once and for all I decided I don’t like this man.”
Bertahun-tahun kemudian, Rosihan Anwar baru mengetahui latar belakang sikap dingin Perdana Menteri Singapura tersebut. Cerita ini ia peroleh dari Lakhdar Brahimi yang beberapa waktu sebelumnya mengunjungi Lee Kuan Yew. Dalam kunjungan tersebut, tiba-tiba Lee Kuan Yew membicarakan Rosihan Anwar. “Rosihan Anwar itu telah melakukan kesalahan politik yang besar dengan menegakkan sikap editorial yang anti PKI dan anti komunis dalam surat kabarnya. Seharusnya ia memelihara hubungan baik dengan mereka,” ucap Lee Kuan Yew seperti ditirukan Lakhdar Brahimi.
Empat tahun sebelum pertemuannya dengan Lee Kuan Yew tersebut, Rosihan Anwar  sempat meliput Konferensi Asia Afrika di Bandung. Konferensi yang berlangsung dari tanggal 18 sampai 24 April 1955 ini dihadiri oleh 29 negara. Salah satu dari negara tersebut adalah Sudan, sebuah negara Afrika yang baru saja merdeka dan belum memiliki bendera kenegaraan. Karena belum memiliki bendera negara, sebagai Sekjen Konferensi, Roeslan Abdulgani akhirnya membuatkan sebuah bendera kenegaraan bagi Sudan. Sehelai kain putih bertuliskan Sudan menjadi bendera sementara yang dibuat oleh Roeslan. Akhirnya, bendera sementara Sudan ini dapat ikut berkibar dengan gagah di tepi Jalan Asia Afrika, bersanding dengan bendera para negara peserta konferensi lainnya.
Bab akhir buku ini ditutup dengan kisah perjalanan Rosihan Anwar ke Afrika Selatan pada tahun 2005 lalu. Ia berkisah tentang orang-orang Indonesia yang diangkut Belanda ke Cape Town, Afrika Selatan, pada abad ke-17. Sebagian dari mereka menjadi budak, sedangkan yang lainnya menjadi orang-orang buangan. Mereka disebut dengan istilah Slameiers, yang merupakan gabungan dari kata Islam dan Malaiers.
Dari kisah para Slameiers, Rosihan Anwar mengajak kita berkunjung ke Robben Island, atau yang menurut Nelson Mandela, Island of Pain. Di tempat tersebut, Mandela pernah dipenjara selama 27 tahun oleh pemerintah Afrika Selatan yang apartheid. Dua abad sebelum Mandela dipenjarakan di sana, ternyata sudah ada orang Indonesia yang dikurung di tempat itu. Salah satunya adalah Imam Abdullah bin Qadi Abdussalam. Ia adalah seorang Raja Tidore yang dibuang ke tempat tersebut karena melawan Belanda.
Tuturan Rosihan Anwar di buku ini terasa seperti mendengar cerita dari seorang paman yang baru pulang dari perjalanan jurnalistik. Kisahnya mengalir meski peristiwa-peristiwa yang diceritakannya sebagian besar telah berlangsung lebih dari setengah abad yang lalu. Data dan kutipan percakapan yang ia kisahkan tampak hidup. Ia mampu bercerita seolah ia baru mengalami peristiwa tersebut minggu lalu. Dalam tulisan-tulisannya, tampak bahwa Rosihan Anwar bukan hanya wartawan bersenjata pena, tapi juga rasa. Sebuah kemampuan alami yang kadang tampak digunakan namun sesungguhnya tidak digunakan.
Dalam buku ini, sejarah bukan lagi dominasi suara penguasa. Melainkan suara seorang wartawan yang dirangkai dari sebuah catatan-catatan kecil yang seringkali terlupakan. Catatan-catatan yang menurut penulisnya merupakan sejarah kecil Indonesia.
             
Judul buku // Sejarah Kecil (Petite Historie) Indonesia
Penulis // Rosihan Anwar
Penerbit // Penerbit Buku Kompas
Tahun terbit // Juli 2009
Halaman // vii + 348

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tweet Share