Melihat Sejarah Kecil Indonesia dari Kaca Mata Seorang Wartawan
oleh: Henry Adrian
oleh: Henry Adrian
Pada awal tahun 1960, Perdana Menteri (PM) Rusia,
Nikita Khrushchev mengadakan kunjungan kenegaraan ke Indonesia.
Ia adalah seorang PM yang menurut bahasa Rosihan Anwar, merupakan seorang
diktator yang ingin populer. “Tabiatnya lain dari Stalin yang mengunci dirinya
di Kremlin dan pada waktu-waktu tertentu mengeluarkan fatwa dengan akibat
fatal berupa hilangnya nyawa musuh-musuhnya.”
Soekarno dan Nikita Khrushchev. (John Dominis) |
Cerita di atas merupakan satu dari beberapa cerita yang dikisahkan
Rosihan Anwar dalam buku Sejarah
Kecil (Petite Historie) Indonesia. Saat
itu, Rosihan Anwar berusia 38 tahun. Sebagai Pemimpin Redaksi harian Pedoman, ia menceritakan pengalamannya mengkuti
perjalanan Khrushchev selama 10 hari di Indonesia. Perjalanan itu
diikuti oleh 11 wartawan Indonesia dan 77 wartawan asing, termasuk Rosihan
Anwar sendiri.
Seluk beluk perjalanan Khrushchev ini diceritakan
Rosihan Anwar dengan menarik. Mulai dari sikap wartawan Rusia yang tertutup,
hingga kesibukan awak pesawat Garuda
Indonesia Airlines yang
melayani perjalan Khrushchev dari Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Bali
dan Ambon pergi-pulang.
Bagaimana gaya wartawan-wartawan yang ikut dalam perjalanan itu
menulis berita juga tak lepas dari perhatian Rosihan Anwar. Mulai dari wartawan
Rusia yang menulis dengan gaya penuh retorika, hingga gaya wartawan barat yang
menulis dengan sangat detil.
“Ada 2.000 orang rakyat yang bersorak gembira, sinar matahari
cerah yang melimpahi pekarangan rumput berombak-ombak dari istana. 14 peserta
konferensi memasuki ruangan untuk berbicara, dan sebuah patung telanjang dari
tembaga, sebuah pemberian Marsekal Josip Broz Tito dari Yugoslavia, memandang
dari beranda yang di dekat situ.” Begitulah salah satu gaya penulisan wartawan
barat kala itu.
Sekilas, tidak ada yang aneh dari kutipan berita di atas. Namun
jika kita memiliki informasi tentang itu, maka akan diketahui bahwa penulis
mencoba menunjukkan kontras akan sosok Soekarno. Orang-orang Rusia tidak
berteman dengan Tito seperti Soekarno.
Begitulah beberapa gaya tutur Rosihan Anwar dalam buku itu.
Sebagai seorang wartawan, penulisan berbagai berita yang menyangkut peristiwa
bersejarah tak luput dari kacamata jurnalistiknya. Oleh karena itu, tak aneh
jika di bagian awal buku ini, mantan Ketua Dewan Kehormatan PWI ini mampu
menceritakan sejarah kecil pers di Indonesia. Mulai dari Tirtohadisoerja,
hingga pembredelan beberapa koran setelah peristiwa Malapetaka Limabelas
Januari, atau yang dikenal dengan istilah Malari, pada 15 Januari 1974.
Pasang surutnya dunia perfilman nasional pun tak luput dari pengamatan
Rosihan Anwar. Perjuangan Usmar Ismail (1921-1971) hingga menjadi Bapak
Perfilman Nasional pun mampu diceritakan Rosihan Anwar dengan apik. Maklum, ia
merupakan sahabat karib Usmar yang pernah sama-sama sekolah di Algemene
Middelbare School (AMS) bagian A, jurusan Klasik Barat di Yogyakarta.
Belakangan, ia juga menjadi adik ipar Usmar. Sisi lain kehidupan Usmar yang
jarang terdengar seperti pekerjaannya sebagai wartawan hingga perwira intel
dikisahkan di sini. Pada tahun 1948, Usmar bahkan sempat ditangkap dan ditahan
oleh Belanda di penjara Cipinang selama satu tahun karena tuduhan subversif.
Beberapa cerita personal yang menarik dari pengalamannya bergelut
di bidang jurnalistik juga menjadi salah satu bumbu penyedap di buku ini.
Sekitar setahun sebelum kunjungan Khrushchev, Lee Kuan Yew, seorang
Perdana Menteri Singapura, berkunjung ke Indonesia. Saat itu, Rosihan Anwar
ikut meliput kunjungan Lee Kuan Yew di Istana Cipanas. Setibanya di sana, ia
diperkenalkan pada Lee Kuan Yew oleh Sutan Usman Karim, seorang kenalannya di
Kementrian Luar Negeri. “Your
Excellecy, may I introduce to you Mr. Rosihan anwar, editor of the daily
Pedoman,” ucap Suska, sapaan
Sutan Usman Karim.
Perkenalan itu berakhir dingin. Lee Kuan Yew tidak menjabat tangan
Rosihan Anwar. Sekedar memberi
anggukan atau senyuman pun tidak. Dengan tatapan mata tajam dan tanpa berkata
sepatah katapun, ia mengamati Rosihan Anwar dari ujung kepala hingga ujung
kaki. Rosihan Anwar pun segera memutuskan dalam hati, “for once and for all I decided I
don’t like this man.”
Bertahun-tahun kemudian, Rosihan Anwar baru mengetahui latar
belakang sikap dingin Perdana Menteri Singapura tersebut. Cerita ini ia peroleh
dari Lakhdar Brahimi yang beberapa waktu sebelumnya mengunjungi Lee Kuan Yew.
Dalam kunjungan tersebut, tiba-tiba Lee Kuan Yew membicarakan Rosihan Anwar.
“Rosihan Anwar itu telah melakukan kesalahan politik yang besar dengan
menegakkan sikap editorial yang anti PKI dan anti komunis dalam surat kabarnya.
Seharusnya ia memelihara hubungan baik dengan mereka,” ucap Lee Kuan Yew
seperti ditirukan Lakhdar Brahimi.
Empat tahun sebelum pertemuannya dengan Lee Kuan Yew tersebut,
Rosihan Anwar sempat meliput
Konferensi Asia Afrika di Bandung. Konferensi yang berlangsung dari tanggal 18
sampai 24 April 1955 ini dihadiri oleh 29 negara. Salah satu dari negara
tersebut adalah Sudan, sebuah negara Afrika yang baru saja merdeka dan belum
memiliki bendera kenegaraan. Karena belum memiliki bendera negara, sebagai
Sekjen Konferensi, Roeslan Abdulgani akhirnya membuatkan sebuah bendera
kenegaraan bagi Sudan. Sehelai kain putih bertuliskan Sudan menjadi bendera
sementara yang dibuat oleh Roeslan. Akhirnya, bendera sementara Sudan ini dapat
ikut berkibar dengan gagah di tepi Jalan Asia Afrika, bersanding dengan bendera
para negara peserta konferensi lainnya.
Bab akhir buku ini ditutup dengan kisah perjalanan Rosihan Anwar
ke Afrika Selatan pada tahun 2005 lalu. Ia berkisah tentang orang-orang
Indonesia yang diangkut Belanda ke Cape Town, Afrika Selatan, pada abad ke-17.
Sebagian dari mereka menjadi budak, sedangkan yang lainnya
menjadi orang-orang buangan. Mereka disebut dengan istilah Slameiers, yang
merupakan gabungan dari kata Islam dan Malaiers.
Dari kisah para Slameiers, Rosihan Anwar mengajak kita berkunjung
ke Robben Island, atau yang menurut Nelson Mandela, Island of Pain. Di tempat tersebut, Mandela pernah
dipenjara selama 27 tahun oleh pemerintah Afrika Selatan yang apartheid. Dua abad sebelum
Mandela dipenjarakan di sana, ternyata sudah ada orang Indonesia yang dikurung
di tempat itu. Salah satunya adalah Imam Abdullah bin Qadi Abdussalam. Ia
adalah seorang Raja Tidore yang dibuang ke tempat tersebut karena melawan
Belanda.
Tuturan Rosihan Anwar di buku ini terasa seperti mendengar cerita dari seorang paman yang baru pulang dari perjalanan jurnalistik.
Kisahnya mengalir meski peristiwa-peristiwa yang diceritakannya sebagian besar
telah berlangsung lebih dari setengah abad yang lalu. Data dan kutipan
percakapan yang ia kisahkan tampak hidup. Ia mampu bercerita seolah ia baru
mengalami peristiwa tersebut minggu lalu. Dalam tulisan-tulisannya, tampak bahwa
Rosihan Anwar bukan hanya wartawan bersenjata pena, tapi juga rasa. Sebuah
kemampuan alami yang kadang tampak digunakan namun sesungguhnya tidak
digunakan.
Dalam buku ini, sejarah bukan lagi dominasi suara penguasa.
Melainkan suara seorang wartawan yang dirangkai dari sebuah catatan-catatan
kecil yang seringkali terlupakan. Catatan-catatan yang menurut penulisnya
merupakan sejarah kecil Indonesia.
Judul buku // Sejarah Kecil (Petite Historie) Indonesia
Penulis // Rosihan Anwar
Penerbit // Penerbit Buku Kompas
Tahun terbit // Juli 2009
Halaman // vii + 348
Tidak ada komentar:
Posting Komentar