Pages

Senin, 11 Maret 2013

Atas Nama Iman

Ketika Iman Dijadikan Alasan Kekerasan

oleh: Henry Adrian

Pagi itu kabut telah menghilang ketika sekelompok massa berkerumun di batas Dusun Nangkernang, Desa Karang Gayam, Omben, Sampang, Madura. Seiring naiknya matahari, massa yang berkerumun semakin banyak. Berbekal senjata tajam, sekitar jam sepuluh pagi mereka serempak berjalan menuju ke Madrasah Misbahul Huda yang terletak di dusun tersebut.
Tajul Muluk, pendiri dan pengasuh madrasah yang dianggap beraliran Syiah itu sedang berada di tempat pengasingannya di Malang ketika penyerangan terjadi. Sudah setahun Tajul Muluk tinggal di sana setelah ia diusir dari Madura pada 2011 lalu. Di lokasi kejadian hanya ada kakaknya, Iklil Al Milal, dan puluhan jamaah Syiah yang tak berdaya menghalau massa.
Tajul Muluk. (Henry Adrian)

Tanpa mendapat perlawanan, massa dengan leluasa menyerang dan membakar Madrasah Misbahul Huda. Rumah Tajul Muluk yang terletak sekitar 20 meter dari madrasah pun tak luput dari amarah massa. Mereka membakar dan meratakan rumah tersebut.
Setelah membakar madrasah dan rumah Tajul Muluk, massa kemudian beranjak ke rumah Iklil Al Milal yang terletak di Dusun Geding Laok, Desa Blu’uran, Karang Penang, sekitar satu kilometer dari madrasah. Sesampainya di sana, rumah Iklil pun dibakar habis oleh massa.
Belum padam api di rumah Iklil, dari kejauhan tampak asap mengepul dari tenggara. Rumah Ummi Hanik, adik bungsunya, dan Khoirul Ummah, ibunya, juga tak luput dari pembakaran.

***

Sehari sebelum penyerangan, Iklil Al Milal sempat diperingatkan oleh Kapolsek Omben, Ajun Komisaris Aris di Kantor Polsek Omben. Saat itu ia mengatakan pada Iklil jika akan ada pengerahan massa besar-besaran ke Madrasah Misbahul Huda. “Mau ada serangan besar-besaran mas, sasarannya sampeyan jamaah Syiah,” ucap Iklil menirukan peringatan Kapolsek Omben.
Esok paginya, beberapa saat sebelum penyerangan terjadi, Iklil melapor pada Kapolsek Omben jika ancaman penyerangan tersebut benar. Oleh karena itu, Iklil meminta bantuan pada pihak kepolisian untuk melakukan pencegahan dan pengamanan.
Bukan hanya Iklil yang berusaha meminta bantuan pada kepolisian. Dari Malang, Tajul Muluk juga berusaha menghubungi kepolisian untuk mengantisipasi ancaman penyerangan tersebut. “Sama kakak ditelepon, katanya ada gerakan massa yang sudah mulai mengumpulkan bensin. Setelah itu saya langsung informasikan itu ke kepolisian,” ucap Tajul. 
Meski sudah ditelepon, polisi tak kunjung datang ke lokasi kejadian. “Alasannya masih di jalan, ada kendala ini dan itu, padahal saya teleponnya sudah setengah jam sebelum kejadian. Berarti kan tidak ada gerak cepat sebetulnya, jelas Tajul.
Saat penyerangan di Misbahul Huda terjadi, terdapat dua orang personil keamanan di lokasi kejadian. Kedua orang ini adalah seorang personil kepolisian dari Polsek Omben dan seorang tentara dari Koramil Omben. Keduanya tak berusaha melakukan tindakan pencegahan apapun. Mereka hanya merekam aksi pembakaran tersebut menggunakan kamera ponsel.
Kapolsek Omben dan 25 personil Brimob bersenjata lengkap baru tiba di lokasi kejadian sekitar jam setengah sebelas siang. Mereka terlambat tiba lebih dari satu jam. Waktu itu bangunan madrasah sudah terbakar setengah. Sesampainya di lokasi, mereka pun seakan tak serius menghalau massa sehingga aksi pengrusakan dan pembakaran terus berlangsung.
Ketika aksi pembakaran di madrasah masih berlangsung, beberapa orang dalam kerumunan massa berteriak untuk mengajak para penyerang membakar rumah Tajul dan Iklil. “Sesudah madrasah, kita bakar rumah Tajul, sesudah itu kita bakar rumah Iklil,” ucap Iklil menirukan teriakan yang ia dengar.
Mendengar itu, Iklil langsung meminta bantuan pada Kapolsek Omben yang sudah ada di lokasi kejadian. Iklil khawatir, massa akan benar-benar membakar rumahnya yang terletak tak jauh dari madrasah. “Tolong pak, mereka mau menyerang rumah saya. Tolong diamankan. Kalau bapak tidak mampu, biar kami Jamaah Syiah yang menghadang,” ungkap Iklil.
“Sudah pak, di sana sudah ada petugas, bapak tenang saja,” jawab Kapolsek Omben menanggapi permintaan Iklil. Meski begitu Iklil tak begitu saja percaya. Ia lantas menelepon istrinya dan menanyakan kehadiran personil kepolisian di rumahnya. Namun keberadaan personil tersebut ternyata tidak pernah ada. Akhirnya setelah membakar madrasah, massa kemudian dengan leluasa membakar rumah Iklil. Beruntung, istri dan anaknya selamat dalam serangan tersebut.

***

“Besok pagi-pagi, kamu tunggu di Hotel Royal Quds Jalan Iskandar Muda lantai empat nomor 404,” tulis Iklil pada pertengahan Februari 2012 lalu di sebuah pesan pendek yang dikirimnya pada penulis. Hotel Royal Quds terletak di kawasan Sunan Ampel, Surabaya. Di kawasan ini, terdapat Masjid Ampel dan Makam Sunan Ampel. Daerah yang terletak di utara kota Surabaya ini banyak dihuni oleh warga keturunan Arab.
Di tempat tersebut, Tajul Muluk sudah menunggu bersama seorang rekannya. Saat itu ia mengenakan kemaja lengan panjang polos berwarna oranye tua. Rambutnya sedikit botak. Kulitnya sawo matang. Bicaranya tenang dan teratur. Sikapnya ramah.
Tajul Muluk lahir di Dusun Nangkernang, 22 Oktober 1972. Ia delapan bersaudara. Tajul lahir dari keluarga Sunni. Sunni dan Syiah adalah mazhab dalam Islam. Kedua mazhab ini memiliki perbedaan pandangan tentang penerus kepemimpinan Nabi Muhammad. Sunni berpendapat jika penerus kepemimpinan tidak harus berasal dari keluarga nabi. Sedangkan Syiah berpendapat jika kepemimpinan ini harus berasal dari keluarga nabi. Selain itu, tidak ada perbedaan mendasar antara Sunni dan Syiah.
Indonesia banyak mengadopsi tradisi Syiah dalam kehidupan sehari-harinya. Beberapa tradisi yang diadopsi ini seperti perayaan maulid, haul atau peringatan atas meninggalnya seseorang, sampai mencium tangan orang tua dan imam.
Perkenalan Tajul dengan Syiah terjadi ketika ia bersekolah di Pondok Pesantren Alma’hadul Islami, Yayasan Pesantren Islam (YAPI) di Desa Kenep, Beji, Pasuruan. Tempat ini seringkali diserang oleh sekelompok massa yang menganggap pesantren ini beraliran Syiah.
“Dulu jaman saya di YAPI, semua mazhab diajarkan. Tapi Syiah tidak diajarkan secara detail, jadi saya mendalaminya sendiri. Tujuan dari pesantren ini supaya santri-santrinya tidak gampang menyalahkan orang lain ketika menemukan perbedaan di masyarakat. Jadi bisa beradaptasi dengan lingkungan, jelas Tajul.
Tajul belajar di YAPI selama empat tahun. Meski begitu, ia tak menyelesaikan pendidikannya di tempat tersebut. Pada tahun 1993, ia dikirim oleh Kiai Makmun, ayahnya, untuk belajar di Mekkah. Menurut Tajul, keputusan ayahnya untuk mengeluarkannya dari YAPI dipengaruhi oleh Ali Karrar, sepupu Kiai Makmun yang merupakan pemimpin Pondok Pesantren Darut Tauhid di Pamekasan.
Ketika saya mondok di YAPI, orang tua saya itu diprovokasi.Hati-hati, ustad-ustadnya itu Syiah, nanti anak kamu juga ikut Syiah, sudah diberhentikan saja, nanti kamu taruh di Mekkah,’” ungkap Tajul menirukan ucapan Ali Karrar.
Kiai Makmun sebenarnya mengaggumi sosok Ayatullah Khomeini, Imam Besar Syiah Iran. Menurut Tajul, ketertarikan ini dilatarbelakangi oleh perjuangan dan keberanian Ayatullah Khomeini dalam menentang kekuatan barat. “Cuma tertarik sama itu saja awalnya, ketika difitnah sama Ali Karrar goyang,” jelas Tajul.
Meski begitu, Kiai Makmun yang semula menganut Sunni pada akhirnya justru memilih Syiah. Setelah saya diberhentikan dari YAPI, buku-buku saya tentang Syiah itu diambil sama ayah, dipelajari sama dia. Setelah dipelajari dan dibandingkan dengan paham Sunni akhirnya dia memilih Syiah, ungkap Tajul.
Selain Tajul dan Kiai Makmun, dua saudara Tajul yaitu Iklil dan Hanik pada akhirnya juga menganut Syiah. “Ibu tetap Sunni, kalau masih ada ayah saya biasa, adik-adik saya juga Sunni, hanya setelah ayah tidak ada mulai banyak kepentingan dari saudara-saudara, ucap Tajul.
Sesampainya di Mekkah, Tajul belajar di Pesantren Syekh Maliki. Namun Tajul tidak antusias belajar di tempat tersebut. Setelah beberapa bulan ia pun memutuskan untuk keluar. “Di pesantren itu hanya beberapa bulan saja, ngga menarik lalu saya berhenti terus kerja,” jelas Tajul.
Pilihan Tajul untuk keluar dari Pesantren Syekh Maliki ini membuatnya berkenalan dengan orang-orang Syiah. Di sinilah awal mula ketertarikan Tajul pada Syiah. “Pada waktu kerja itu saya bertemu dengan berbagai macam orang dan jadi kenal juga sama orang-orang Syiah. Dari mereka ini saya minta buku-buku tentang Syiah. Jadi akhirnya belajar sendiri lewat kitab-kitab mereka. Mulai tertarik dari situ awalnya,” kisah Tajul. 
Di Arab Saudi Tajul tidak memiliki pekerjaan tetap. Ia pernah bekerja di restoran, garmen, hingga toko kaset. “Kadang-kadang kerja, kadang-kadang ngga. Kadang kalau sudah ngga kerja itu susah, untuk bayar kontrakan kan sulit,” jelas Tajul.
Pada tahun 1999, Tajul akhirnya memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Setibanya di Nangkernang, Tajul pun mulai bekerja sebagai pedagang. Selain berdagang, ia juga mulai mengenalkan ajaran Syiah di kampung halamannya. Kegiatan Tajul dalam mengenalkan Syiah ini semula ditentang oleh Kiai Makmun karena dianggap berisiko.
“Apa salahnya kita mengenalkan Syiah?” tanya Tajul pada ayahnya.
“Tapi resikonya bahaya itu, nanti kamu bisa dibunuh orang.”
“Kalau masalah resiko itu ngga ada pekerjaan yang ngga ada resikonya. Nabi Ibrahim dibakar, Nabi Yahya disembelih, nabi kita juga dilempari kotoran, mau dibunuh,” jawab Tajul.
Selain mengenalkan Syiah, Tajul juga berusaha merubah tradisi yang dianggap membebani masyarakat di desanya. Salah satu tradisi yang ingin diubah Tajul adalah perayaan Maulid Nabi. Saat Maulid Nabi, setiap warga diharuskan oleh kiai setempat untuk mengadakan perayaan di rumahnya masing-masing. Hal ini menyebabkan banyak warga yang terpaksa berutang dan bahkan menggadaikan tanahnya hanya agar bisa memperoleh dana untuk perayaan Maulid Nabi.
“Saya kan melihat itu kasihan, karena perekonomian semakin sulit, apalagi orang-orang petani. Jadi saya punya ide perayaan disatukan saja ke masjid. Mereka bebas bayar berapa, tidak mampu juga tidak perlu bayar. Nanti kalau ada kelebihan uang kita taruh di kas masjid untuk keperluan pembangunan. Kita ini muslim yang mayoritas, masa kalau mau bikin masjid ngemis-ngemis di jalan, kan sangat memalukan. Akhirnya banyak orang mulai tertarik karena tidak membebani mereka,” ucap Tajul.
Sejak kembali dari Arab Saudi, Tajul juga kerap diminta tetangganya untuk mengajari anak-anak mereka mengaji. “Saya awalnya tidak mau ngajar karena sudah banyak sekolah di daerah situ. Cuma tetangga-tetangga itu pada ngantar anaknya ke tempat saya. Saya disuruh ngajari ngaji,” kenang Tajul.
Lambat laun anak-anak yang datang belajar mengaji di tempat Tajul semakin banyak. Pada tahun 2004, Tajul pun mendirikan Pesantren Misbahul Huda di Nangkernang. Misbahul huda sendiri berarti pelita hidayah.
Pendirian pesantren tersebut sebenarnya sudah mendapat tentangan dari beberapa pihak sejak awal. Menurut Tajul, penentangan ini sebenarnya dilatarbelakangi oleh unsur iri. Namun Tajul tidak pernah mempedulikannya. “Sebetulnya dari unsur iri itu. Kalau semakin besar, nanti murid-muridnya pindah ke tempat saya. Tapi menurut saya, apa salahnya pendirian ini, kita kan hidup di negara hukum, kalau hukum ngga menyalahkan ya terserah kalau mereka mau menyalahkan, jawab Tajul.
Dana pembangunan Pesantren Misbahul Huda diperoleh dari bantuan jemaah Tajul. Meski Tajul merupakan penganut Syiah, namun pesantren yang didirikannya ini tidak memaksa para santrinya untuk menganut Syiah. “Di tempat saya diberi kebebasan berpikir. Semua mazhab dipaparkan, sistemnya sama dengan di YAPI, terserah santrinya, jelas Tajul.

***

Serangan yang terjadi di Dusun Nangkernang pada 29 Desember 2011 lalu itu tak meninggalkan korban jiwa. Sebelum penyerangan terjadi, keluarga Tajul Muluk telah diungsikan oleh Iklil. Para santri yang sebelumnya masih berada di ruang kelas pun sudah disuruh pulang ke keluarga masing-masing.
Meski begitu, serangkaian intimidasi pada penganut Syiah yang berpuncak pada penyerangan tersebut menghasilkan arus pengungsian besar-besaran penganut Syiah yang tinggal di lokasi penyerangan. Usai pembakaran selesai, polisi mengevakuasi Jemaah Syiah ke Gedung Olah Raga (GOR) Sampang. Tercatat 335 orang penganut Syiah meninggalkan desanya dan mengungsi ke tempat itu.
Intimidasi yang diterima penganut Syiah tidak hanya berasal dari para pelaku penyerangan. Bahkan, intimidasi juga sering mereka terima dari dalam keluarga. “Ada beberapa orang yang tanahnya dirampas sama keluarganya sendiri. Tanah itu kan tanah warisan dari orang tua, jadi dianggap kalau sudah Syiah berarti kafir. Mereka menganggap pemberian ini tidak sah jadi diambil lagi. Malah ada juga yang sudah punya keluarga terus diceraikan paksa,” kisah Tajul.
Setelah beberapa hari mengungsi di GOR, Pemkab Sampang memaksa para pengungsi untuk kembali ke desanya. Pemkab beralasan jika GOR Sampang akan digunakan untuk rapat pada tanggal 12 Januari 2012. Belakangan diketahui jika pengusiran itu disebabkan oleh rencana Pemkab Sampang untuk melaksanakan lomba voli dan bulutangkis dalam rangka HUT Kabupaten Sampang yang akan dilaksanakan di GOR tersebut.
Para pengungsi menolak meninggalkan GOR dan kembali ke desanya karena menilai aparat keamanan tidak bisa menjamin keselamatan mereka. Jaminan yang dimaksud para pengungsi ini adalah dengan menangkap para pelaku pembakaran dan memprosesnya secara hukum.
Sebenarnya Iklil dan Tajul memiliki nama-nama yang menjadi aktor penyerangan. Mereka adalah tetangga-tetangga Iklil dan Tajul sendiri. Usai peristiwa pembakaran, nama-nama tersebut sudah diserahkan Iklil pada pihak kepolisian.
Selain itu, Tajul pun menuding Roisul Hukama, adik kandungnya, sebagai otak di balik penyerangan. “Sebenarnya yang memprakarsai itu warga sana duluan, karena ngga mungkin orang luar itu datang kalau ngga ada yang mengundang. Jadi yang jadi ujung tombaknya warga sana, termasuk Roisul yang memberikan semangat pada mereka, karena anaknya Roisul juga ikut membakar, keponakan saya itu,” ucap Tajul.
Pada 2 Januari 2012, Polisi telah menetapkan seorang tersangka bernama Musikrah atas kasus penyerangan tersebut. Setelah divonis tiga bulan sepuluh hari, pria lima puluh tahun itu dibebaskan pada 10 April lalu. “Padahal ada tujuh nama yang kita laporkan tapi tidak ditangkap. Musikrah bukan warga Nangkernang. Sedangkan pelaku pertama penyerangan adalah warga Nangkernang,” jelas Iklil.
Menurut Tajul, keengganan polisi untuk mengusut pelaku penyerangan disebabkan karena mereka tidak ingin repot. “Mungkin polisi ingin penyelesaian yang enak untuk dia, bukan untuk masyarakat. Jadi pasti membantu yang mayoritas karena mereka ngga mau resiko dapat ancaman. Malah ada oknum polisi yang bilang pada orang-orang yang mau unjuk rasa ‘sudah berangkat saja, cepat bakar saja rumahnya itu,” ungkap Tajul.
Teror yang menimpa para penganut Syiah ini sebenarnya telah berlangsung sejak beberapa tahun yang lalu. Bahkan dua belas hari sebelum Misbahul Huda dibakar, rumah Muhammad Siri, penganut Syiah di Desa Karang Penang, sudah terlebih dahulu dibakar oleh sekelompok orang. Alasannya, pria yang sudah berusia lima puluh tahun lebih ini dianggap ikut mengajak tetangga-tetangganya menganut Syiah.
“Sebenarnya mulai tahun 2004 sudah ada gejala. Awalnya mungkin karena masyarakat sudah banyak condong ke saya jadi kiai-kiai pada akhirnya iri. Lantas mereka mulai mengangkat isu Syiah dengan referensi yang tidak benar dan memprovokasi masyarakat. Tapi kami ngga tanggapi karena selain situasinya bisa semakin memanas, mereka ini bukan mau cari kebenaran, tapi karena benci dan cemburu saja, jadi percuma,” jelas Tajul.
Setelah sempat sedikit reda, pergesekan antara Syiah dan Sunni kembali menyeruak pada tahun 2009. Hal ini terjadi setelah Roisul Hukama, adik kandung Tajul Muluk yang juga penganut Syiah, memutuskan keluar dari Syiah dan kembali ke Sunni.
Keluarnya Roisul ini menurut Tajul disebabkan karena masalah perempuan. Tahun 2009 lalu, Tajul diminta oleh Abdul Latif, salah satu santrinya di Pesantren Misbahul Huda, untuk meminangkannya dengan gadis bernama Halimah. Gadis yang belum lulus Sekolah Dasar ini merupakan santri di pesantren yang diasuh Roisul, sekitar 500 meter di utara Pesantren Misbahul Huda.
Setelah pertunangan terjadi Roisul pun mendatangi Tajul. Ia tidak terima Tajul meminangkan Abdul Latif dengan Halimah. Belakangan diketahui jika Roisul ternyata menyukai Halimah dan hendak mempersuntingnya. Sejak peristiwa inilah Roisul keluar dari Syiah. Setelah itu, Roisul kerap dituding Tajul memprovokasi warga dengan mengatakan jika ajaran Syiah itu sesat. “Rois ini motivasi pertamanya dari masalah perempuan, karena Rois dulu orang Syiah juga,” ungkap Tajul.
Meski begitu, Roisul sendiri membantah pernyataan Tajul tersebut. Ia mengatakan jika penyerangan terhadap Pesantren Misbahul Huda disebabkan karena tingkah polah Tajul sendiri yang terlalu keras dalam berdakwah sehingga mengusik penganut Sunni yang mayoritas.
Sejak April 2011 lalu, Tajul Muluk diusir dari Madura oleh pemerintah Sampang. Pengusiran ini dipengaruhi oleh situasi di Nangkernang yang kembali memanas. Pemerintah Sampang beralasan jika pengusiran ini dilakukan untuk cooling down.
“Nanti akan saya berikan pengarahan, nanti kalau sudah baik sampeyan bisa pulang setelah satu tahun.”
“Apa bisa dipercaya omongan sampeyan?”
“Iya, kalau ngga terbukti sampeyan boleh pulang, batalkan saya punya janji.”
Tajul yang semula menolak permintaan itu kemudian bersedia meninggalkan Madura. Ia lantas tinggal di Malang. Meski begitu, setelah satu tahun Tajul tetap tidak diperbolehkan kembali ke Nangkernang. “Namanya orang politik, setelah itu alasannya, ‘saya bukan ngga bekerja, tapi para tokoh ini ngga bisa didekati untuk diberi pemahaman, ngga bisa,’ itu alasannya,” ungkap Tajul.
Sembari menerawang, Tajul lantas melanjutkan kata-katanya. “Yang paling saya rindukan itu jemaah-jemaah saya karena saya tahu betul mereka ini orang-orang baik sebenarnya, sama seperti saudara sendiri. Kalau rindu sama tanah kelahiran itu kan semua orang,” ungkapnya lirih.

***
               
Kamis, 12 Juli 2012 lalu, Tajul Muluk divonis dua tahun penjara dalam persidangan di Pengadilan Negeri Sampang. Sidang yang dipimpin oleh Purnomo Amin Cahyo tersebut menilai Tajul telah terbukti melakukan penistaan agama dengan menyebarkan ajaran Syiah dan mengajarkan Al-Quran yang tidak asli. Padahal, di persidangan sudah dibuktikan jika Al-Quran yang digunakan Tajul tidak berbeda dengan yang dipakai umat Islam lainnya. Tajul dan kuasa hukumnya pun mengajukan banding atas hasil tersebut.
Banding Tajul di Pengadilan Tinggi Jawa Timur justru memperberat hukumannya. Pertengahan September lalu, hukumannya justru bertambah menjadi empat tahun penjara. Berdasarkan hasil sidang tersebut, Tajul melakukan kasasi ke Mahkamah Agung. Namun, kasasi Tajul ini ditolak oleh Mahkamah Agung.
Keputusan pengadilan yang menganggap sesat ajaran Syiah ini baru pertama kali terjadi di dunia. Perdebatan dan kajian tentang ajaran Syiah yang kini dianut oleh lebih dari dua ratus juta orang ini telah berlangsung sejak era kematian Nabi Muhammad hingga hari ini. Meski begitu, hanya dalam beberapa hari, hakim telah memutuskan jika ajaran ini sesat.
Bahkan dalam deklarasi Amman yang dibuat di Yordania dikatakan jika Syiah adalah bagian dari Islam sehingga tidak perlu diperdebatkan. Deklarasi Amman merupakan hasil dari konferensi Islam internasional yang diadakan di Amman pada Juli 2005. Konferensi ini dihadiri oleh dua ratus tokoh Islam terkemuka dari lima puluh negara.
Deklarasi Amman berisi putusan tiga masalah mendasar dalam Islam. Delapan tokoh organisasi dan akademisi Islam di Indonesia menandatangani putusan tersebut. Beberapa diantaranya seperti Hasyim Muzadi, mantan Ketua Umum PBNU, Din Syamsuddin, Ketua Umum Muhammadiyah, serta Muhammad Maftuh Basyuni, Menteri Agama pada Kabinet Indonesia Bersatu periode pertama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Ketiga putusan tersebut kemudian secara aklamasi diadopsi oleh para pemimpin politik dunia Islam dalam konferensi Organisasi Kerja Sama Islam di Mekah pada Desember 2005. Hingga Juli 2006, ketiga putusan tersebut secara aklamasi juga diadopsi oleh enam dewan akademis Islam internasional. Puncak pengakuan tersebut terjadi pada International Islamic Fiqh Academy of Jeddah yang diadakan Juli 2006. Lebih dari lima ratus akademisi Islam di dunia mengakui putusan ini.
Dalam deklarasi tersebut dikatakan jika setiap orang yang menganut empat mazhab Sunni (Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali), dua mazhab Syiah (Ja’fari dan Zaidi), mazhab Ibadi, dan mazhab Thahiri, adalah seorang Muslim. Para penganut mazhab tersebut tidak boleh dikatakan murtad dari Islam. Darah, kehormatan, dan harta dari para penganut mazhab tersebut tidak boleh diganggu. Selain itu, sesuai fatwa dari Syekh Al-Azhar, para penganut Ash’ari, Sufisme, dan Salafi juga tidak boleh dikatakan murtad dari Islam.
Di dalam negeri, kriminalisasi terhadap Tajul Muluk dikecam oleh banyak pihak. Aliansi Solidaritas Kasus Sampang yang terdiri dari beberapa NGO seperti Kontras, Elsam, Wahid Institute, Setara Institute, dan YLBHI mengecam proses pengadilan Tajul yang dipaksakan.
Menurut mereka, hakim dan jaksa tidak bisa mengkriminalisasi Tajul dengan saksi dan bukti yang tidak memadai. Dalam sidang di Pengadilan Negeri Sampang, jaksa hanya memiliki dua saksi yang tidak cakap dan tidak memiliki bukti. Sedangkan Tajul memiliki enam belas saksi yang cakap dan kompeten untuk membantah dakwaan jaksa atas tuduhan penistaan agama.
Bahkan, Jaksa Penuntut Umum sempat berulangkali salah menyebutkan pasal yang digunakan untuk menjerat Tajul. Berkali-kali jaksa menyebutkan pasal 165 KUHP. Padahal, pasal yang dikenakan pada Tajul adalah pasal 156a KUHP tentang penodaan agama. Salah satu saksi ahli Tajul yang kesal lantas menegur dan mengingatkan jaksa jika ia salah menyebut pasal. Jaksa yang sempat bersikeras jika pasal yang disebutnya itu benar lantas membuka buku KUHP dan malu setelah mendapati dirinya salah.
Selain mendapat kecaman dari dalam negeri, dunia internasional pun turut mengecam kriminalisasi terhadap Tajul Muluk. Amnesty International, sebuah NGO yang memperjuangkan Hak Asasi Manusia, mengecam keras perlakuan pemerintah Indonesia terhadap Tajul. Dalam pernyataan terbukanya, NGO yang berpusat di London ini meminta pemerintah Indonesia untuk mencabut tuduhan penistaan agama yang ditujukan pada Tajul. Mereka berpendapat jika yang dilakukan Tajul adalah bagian dari kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama.
               
***

Sore, sekitar jam lima, tanggal 12 Januari 2012, para pengungsi yang semula menolak paksaan Pemkab Sampang untuk meninggalkan GOR Sampang akhirnya bersedia pulang meski tanpa jaminan keamanan. Para pengungsi itu diangkut ke kampung halamannya masing-masing dengan truk yang disediakan oleh Pemkab Sampang. Kepulangan mereka tidak dikawal oleh aparat kepolisian.
Sementara itu, Tajul Muluk, Iklil Al Milal, Ali, dan Saiful Ulum tidak diperbolehkan pulang ke rumahnya di Nangkernang oleh Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Sampang dengan alasan warga sekitar belum menerima kehadiran mereka. Istri Tajul dan Ummi Hanik, adik Tajul, juga tidak diijinkan untuk kembali menginjakkan kaki di Sampang. Bahkan, ibu Tajul yang menganut Sunni pun dilarang kembali.
Menurut Tajul, setelah pulang para pengungsi tersebut masih tetap mendapat intimidasi. Nasibnya tidak lebih baik dengan di pengungsian. Mereka diintimidasi terus seperti mau dibunuh, dibakar, harus tanda tangan menyatakan berhenti dari Syiah. Jadi mereka ini sudah lebih hebat dari Tuhan, karena Tuhan tidak memaksa. Buktinya, Nabi tidak pernah memaksa orang dalam beragama, padahal Nabi itu kan perintah dari Tuhan. Jadi kalau ini bisa memaksa berarti kan di atas Tuhan, jelas Tajul.
Anak-anak jemaah Syiah yang masih sekolah di SDN 4 Karang Gayam pun tak luput dari intimidasi. Mereka kerap dihina oleh teman-temannya sebagai anak pengikut aliran sesat. Seringkali mereka juga dihukum tanpa alasan yang jelas. Orang tua mereka pun dipersulit saat mengurus surat-surat ketika ingin memindahkan sekolah anaknya.
Beberapa bulan usai kembali dari pengungsian, penganut Syiah di Desa Karang Gayam kembali diserang oleh ratusan massa. Penyerangan yang terjadi pada 26 Agustus 2012 lalu ini menimpa jemaah Syiah yang tinggal di Dusun Nangkernang dan Gading Laok. Lebih dari 50 rumah jemaah Syiah dibakar dalam peristiwa ini. Seorang penganut Syiah bernama Abu Hamamah tewas setelah dilempari batu dan ditikam oleh massa penyerang. Ia adalah sahabat dekat Tajul.
Usai penyerangan tersebut, arus pengungsian kembali mengalir ke Gedung Olah Raga (GOR) Sampang. Ratusan penganut Syiah meninggalkan rumah dan harta bendanya untuk menyelamatkan diri. Kini, sudah setengah tahun mereka terkurung di GOR Sampang. Mereka tidak tahu kapan bisa kembali ke kampung halamannya lagi.


*****

*Tulisan ini pertama kali dipublikasikan pada pameran foto "In the Name of Faith" di Jogja Gallery, Yogyakarta, pada 8-10 Maret 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tweet Share