Kisah Penghuni Garis Batas yang Dituduh Melakukan Kejahatan Serius
di Timor Leste
oleh: Henry Adrian
oleh: Henry Adrian
Sore itu Maternus Bere merasa
was-was. Belum lama anggota intelijen datang ke rumah Komandan Kompi Laksaur
Kota Suai ini. Intelijen Kodim Suai tersebut mengatakan jika rumah Maternus
hendak diserang.

Maternus Bere, mantan Komandan Kompi Laksaur Kota Suai. (Henry Adrian)
Laksaur adalah kelompok
milisi utama di Covalima, Timor Leste. Menjelang Jajak Pendapat 1999, banyak
kelompok milisi yang bermunculan di Timor Leste. Kelompok yang berpihak pada
Indonesia tersebut sering dianggap bertanggungjawab atas pelanggaran HAM yang
banyak terjadi di Timor Leste sekitar periode Jajak Pendapat.
Kekhawatiran
Maternus ini bertambah saat ia ingat jika senapannya sudah ditarik oleh Olivio
Mendonza, Komandan Bataliyon Laksaur. Penarikan ini dilakukan beberapa hari
sebelum Jajak Pendapat atas perintah Kodim Suai. Sebelumnya, Maternus sempat
membawa senapan G3 dan SKS.
Malam itu Maternus
tidak bisa tidur. Ia berjaga di rumah semalaman. Hingga pagi ternyata tak ada
seorangpun yang menyerang rumahnya. “Setelah semalam suntuk tidak tidur, jam
tujuh pagi baru saya tidur, tapi tidur ini seperti mati, tidak sadar diri,”
ungkap Maternus.
Sekitar jam sepuluh
pagi, Stefanus Heran, anak buah Maternus di Laksaur, berusaha membangunkan
Maternus dari tidurnya. “Pak Danki… pak Danki... tolong bangun dulu, Pastor
Hilario menyuruh saya agar pak Danki segera ke gereja dulu. Pastor Hilario
bilang urgent,” kata Maternus menirukan Stefanus kala itu.
Meski telah
dibangunkan namun Maternus masih tetap tertidur. Stefanus pun beranjak dari
rumah Maternus. “Suaranya ini masuk di telinga saya seperti suara nyamuk. Saya
tidak bisa bangun. Badan saya ini berat seperti ditekan oleh batu,” papar
Maternus.
Beberapa saat
kemudian Stefanus pun datang lagi. Kali ini giliran Virginia Pereira, istri
Maternus yang membangunkan. “Heh, bangun dulu, ini Stefanus sudah datang untuk
yang kedua kali, Pastor Hilario yang suruh,” ucap Maternus menirukan istrinya.
Namun Maternus
tetap tidak bisa bangun ataupun membuka matanya. Hingga hari ini dia tidak tahu
kenapa dia tidak bisa terjaga meski sudah dibangunkan dua kali. “Apa karena
tadi malam saya tidak tidur, apa karena saya dihipnotis, ini saya tidak tahu
lagi,” jelas Maternus.
Sekitar jam dua
siang, terdengar suara senapan berentet dari dalam kota. Kala itu Virginia kembali bergegas membangunkan Maternus. “Hei bangun dulu! Senjata bunyi banyak
sekali di dalam kota ini!” ungkap Maternus menirukan kegelisahan istrinya.
Kala itu juga
Maternus terbangun. Berbekal pedang, ia dan seorang anak buahnya yang bernama Alo Suri
bergegas menuju Gereja Ave Maria Suai, arah datangnya suara tembakan.
Menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, ia menuju gereja dengan mengambil
jalan memutar.
Pelaku penembakan telah pergi ketika Maternus tiba di depan gereja. Ia melihat puluhan orang terkapar terkena tembakan. Persitiwa tersebut menewaskan 27 orang, termasuk tiga orang pastor yang bernama Hilario Mandeira, Tarcisius Dewanto, dan Francisco
Soares. “Dulu tahun 75/76, perang pakai senjata, bukan hanya pedang dan busur,
tetapi namanya gereja, pastor, dan suster, orang tidak sentuh,” kenang pria
kelahiran Auren, 1 April 1956 ini.
Tak ada yang berani
mengangkat mayat yang bergelimpangan di gereja tersebut, termasuk
Maternus. Keadaan waktu itu sudah sangat sepi karena orang-orang yang semula
mengungsi di gereja sudah pergi menyelamatkan dirinya masing-masing.
Menurut pengakuan
Maternus, esok paginya, Kasdim Suai, Ahmad Syamsuddin, datang ke rumahnya. Ia
meminta bantuan Maternus dan anak buahnya untuk ikut mengumpulkan mayat bersama
anggota Kodim dan Polres.
“Setelah mayat
semua dikumpulkan, semuanya diserahkan ke Laksaur Kota Suai. Jadi, orang lain
yang serang, kami yang diperintahkan kumpul mayat dan cari penguburan. Mau saya
kubur di mana, siapa berani kubur orang begini banyak, gali kuburnya di mana,” ungkap
Maternus.
Akhirnya dengan
terpaksa Maternus bersedia menguburkan mayat-mayat tersebut. Ia mengangkutnya
dengan sebuah truk. “Saya angkut ke desa kelahiran saya. Saya angkut dan kuburkan
di Pantai Weluli. Tiga orang pastor satu kubur tersendiri, sisanya satu kubur
tersendiri juga,” terang Maternus sembari menunjuk Desa Alas Selatan, Kobalima
Timur, NTT, sebagai lokasi penguburan.
***
Pada tanggal 9
September 2009, Kementrian Luar Negeri Timor Leste melalui nota diplomatik NV.
no. 289/DAB/09, menyampaikan daftar orang-orang yang didakwa melakukan kejahatan serius di Timor Leste pada KBRI di Dili. Dakwaan ini terkait dengan kerusuhan sekitar Jajak
Pendapat di Timor Leste.
Nota diplomatik
tersebut memuat nama 401 orang, termasuk Jenderal Wiranto. Dalam nota
diplomatik tersebut dikatakan, tanpa fasilitas dari Timor Leste, orang-orang
dalam daftar tersebut akan ditangkap dan diajukan ke pengadilan jika memasuki
Timor Leste. Maternus Bere termasuk satu diantaranya. Banyak pihak menuduh
Maternus sebagai salah satu pelaku pembantaian di Gereja Ave Maria Suai.
Sekitar satu bulan
sebelum nota diplomatik tersebut dikeluarkan, pagi tanggal 5 Agustus 2009 Maternus memasuki Timor Leste untuk pertama kalinya sejak ia mengungsi ke
Indonesia pada 1999. Saat itu ia hendak ke Suai, mengunjungi ibu mertuanya yang
sakit keras. Pada 25 Oktober 2011 kemarin, ibu mertuanya ini pada akhirnya
meninggal.
Lindsay Murdoch,
seorang penulis untuk harian Sidney Morning Herald dalam artikelnya berjudul "How an Alleged War Criminal in East Timor Escaped Justice" mengatakan Maternus
memasuki Timor Leste secara diam-diam. Meski begitu, hal ini dibantah keras
oleh Maternus. “Saya tidak memasuki Timor Leste secara diam-diam, passport dan
dokumen saya lengkap, saya lewat dari Motamasin,” ungkap pria yang pernah menjadi guru bahasa Indonesia di Sekolah Dasar Katolik Debos, Timor Leste ini.
Dalam artikel yang
sama, Lindsay mengatakan jika kedatangan Maternus di Suai ini disambut oleh
kemarahan penduduk lokal. Namun hal ini kembali dibantah oleh Maternus. “Saya tidak merasa terancam sama sekali,
tidak ada ancaman. Dari tanggal 6 sampai 8 Agustus mereka juga undang
saya untuk makan dan minum di rumah mereka, tidak ada apa-apa,” kisah Maternus.
“Akhirnya tanggal 9
pagi saya memberanikan diri ke gereja, karena di Suai ini kasus paling berat
kan kasus gereja, siapa berani ke sana. Saya ke gereja, selama dalam perjalanan
tidak ada yang mengancam saya. Kami saling berjabat tangan dan berpelukan,”
ungkap Maternus menceritakan kepergiannya ke Gereja Ave Maria Suai.
Sorenya, saat Maternus sedang beristirahat di
rumah mertuanya, sebuah mobil PBB yang membawa empat penumpang datang.
“Hai, boa tarde
senhor Maternus,” ucap salah seorang polisi PBB sembari tersenyum dan menjabat
erat tangan Maternus.
“Senhor Maternus
datang kapan?”
“Saya datang hari Rabu.”
“Datang untuk apa?”
“Saya menengok
mertua saya.”
“Bisa kita ke
kantor untuk omong-omong? Tidak apa-apa, hanya omong-omong, omong main-main.”
Maternus pun
menyanggupi ajakan polisi PBB tersebut tanpa menaruh curiga. Sesampainya di kantor polisi, ia dibawa masuk ke ruang yang di atas pintunya tertulis kata
investigasi. “Di dalam hati, berarti saya dibawa ke sini untuk
diinterogasi,” ucap Maternus.
Di dalam ruang
investigasi tersebut Maternus ditanyai berbagai hal. “Tapi bagusnya mereka itu
tidak memaksa, tidak memukul, tidak sakiti, tidak tindas dengan kaki kursi atau
kaki meja, tidak setrum, mereka hanya bertanya saja,” jelas Maternus.
Setelah selesai
mengajukan pertanyaan, salah satu polisi mengatakan jika besok pagi Maternus
akan dibawa ke Kejaksaan Suai. Selain itu, ia juga tidak memperbolehkan
Maternus untuk pulang. Hal ini disebabkan karena ada informasi yang mengatakan
jika terdapat sekelompok pemuda yang berniat menyerang Maternus. “Padahal saya
jalan ke pasar dan gereja jarak begitu jauh saja tidak ada yang mengancam saya,
itu kan hanya bahasa dari mereka,” kata Maternus.
Esoknya setiba di kejaksaan, Maternus menunggu cukup lama untuk kembali diinterogasi. Saat
itu polisi PBB sedang mencari saksi sekaligus korban dari tindakan
Maternus di masa lalu. Polisi PBB tersebut akhirnya membawa tujuh orang.
“Orang-orang ini dulu ada yang dipukul sama anak buah saya tapi saya yang
selamatkan, ada yang mantan anak murid saya. Mereka datang tangan ini penuh
dengan semen,” ungkap Maternus.
“Hei pak Maternus,
kami ini tidak tahu apa-apa. Kami kerja cari uang, lihat tangan kami, kami
sedang kerja got, saluran air. Tiba-tiba mereka datang angkut kami dengan
mobil. Mereka bilang untuk jadi saksi. Kami tidak mau, kami mau pergi cari
uang,” kata Maternus menirukan ucapan para saksi yang lantas pergi sebelum sempat bersaksi.
Usai berhadapan
dengan jaksa, Maternus dibawa ke pengadilan. “Saya juga tidak tahu persis pak
punya kesalahan, nanti di pengadilan baru bisa tahu, sekarang pak bisa kembali,
tapi nanti jam dua sidang di kantor pengadilan,” kisah Maternus menirukan
ucapan jaksa yang merupakan mantan muridnya tersebut.
Jam dua siang,
dengan ditemani oleh seorang pengacara, Maternus disidang di Pengadilan
Suai. “Saat sidang, semua berisi tuduhan pada saya, tapi dalam asas praduga tak
bersalah, karena saya pegang senjata tak bisa menutup mata rakyat Covalima, dan
pegang senjata dicurigai keras untuk melakukan tindak kekerasan dan pembunuhan,
jadi divonis tahan enam bulan di Bekora, Dili,” kenang Maternus yang sewaktu di
Bekora dipenjara di Blok A, sel nomor 18.
Berita penahanan
Maternus ini pada akhirnya sampai di telinga KBRI di Dili. Setibanya Maternus
di Dili, empat orang staf KBRI datang untuk mewawancarainya. Selain itu, berita
penangkapan ini juga menyebar hingga ke Atambua. “Waktu itu kalau saya tidak
dibebaskan, teman-teman ancam batas ini mau ditutup. Bupati Belu, Joachim Lopez
juga sudah terang-terangan,” ungkap Maternus.
Akhirnya, setelah sempat
ditahan di Bekora selama 18 hari, Maternus dibebaskan oleh pemerintah Timor
Leste. Pembebasan Maternus ini tak lepas dari campur tangan Hasan Wirajuda,
Menteri Luar Negeri Indonesia kala itu. Saat Maternus ditahan, sebagai
perwakilan Indonesia, Hasan mendapat undangan untuk menghadiri upacara
peringatan sepuluh tahun Jajak Pendapat Timor Leste. Hasan mengancam pemerintah
Timor Leste jika ia tidak akan datang selama Maternus tak dibebaskan.
***
Maternus kini telah
pensiun dari pekerjaannya sebagai Sekertaris Camat Kobalima Timur. Bapak empat
anak ini kini hidup sederhana bersama istrinya di rumah yang berukuran sekitar
8 x 8 meter di Dusun Lalebun, Kobalima Timur, Belu, NTT.
Sama seperti
Maternus dulunya, beberapa anaknya kini bekerja di Timor Leste. Anak pertama
dan keduanya bahkan telah menjadi warga negara Timor Leste. Meski dulu ia
merupakan milisi yang berpihak pada Indonesia, tapi ia tetap menghormati
pilihan anaknya yang memilih Timor Leste sebagai negaranya.
Bahkan, secara
khusus Maternus berterima kasih pada Xanana Gusmao, Perdana Menteri Timor Leste
saat ini. Hal itu disebabkan karena pada 2006 lalu, Xanana telah membela
anaknya, Cornelius Coli, yang mendapat beasiswa pendidikan kedokteran di luar
negeri saat kuliah di UNTL (Universidade
Nacional de Timor-Leste).
“Begitu anak saya
ikut tes dan lulus, 80 orang lebih dari Suai tanda tangan surat protes. Mereka
bilang orang ini bapaknya pro otonomi, bapaknya orang Indonesia, bapaknya
Komandan Laksaur, kenapa pemerintah kasih kesempatan untuk ikut tes kedokteran.
Tapi Xanana panggil mereka semua dan memberikan penjelasan. ‘Bapaknya yang
Laksaur, anaknya bukan Laksaur,’ oleh karena itu, menurut saya Xanana itu orang
baik,” ungkap Maternus.
Saat ini Maternus
berharap agar permasalahan yang menjeratnya masuk dalam daftar terdakwa kejahatan serius segera diselesaikan agar ia dapat masuk kembali ke Timor Leste. “Kita
yang di sini keluarga besar di sana. Sampai dilarang tidak boleh menemui keluarga
ini kan batinnya luar biasa. Hubungan kekerabatan yang dekat, karena pergolakan
jadi terpisah. Saya dan saudara saya, yang hanya dibatasi oleh sebuah sungai,
tapi karena adanya daftar ini, kami hanya bisa saling lihat dari jauh, tidak
bisa bertemu karena saya tidak bisa masuk ke sana,” ucap Maternus seraya berseru.
***
Zito Da Silva a.k.a
Zito Zaek. Nama itu tertulis di urutan terakhir dalam daftar 401 orang yang
dituduh melakukan serious crime terkait dengan kerusuhan sekitar Jajak Pendapat
di Timor Leste. Ia anggota milisi Laksaur di Tilomar, Covalima.
Awal 2010 lalu,
Zito mendapat undangan dari Eurico Guteress, mantan Wakil Panglima PPI (Pejuang
Pro Integrasi) di Timor Leste. Ia diundang untuk menghadiri rapat di sebuah
sekolah dasar yang terletak di dekat Katedral Atambua. “Sampai di sana baru
tahu kita ini kena kasus pelanggaran HAM internasional. Kita tidak terima, oleh
karena itu kita membuat surat penolakan,” jelas Zito.
Penolakan Zito ini
dilatarbelakangi oleh ketidakjelasan tuduhan yang ditujukan padanya. “Kita
tidak tahu kita ada salah apa di Timor Leste hingga dimasukkan dalam daftar
ini. Waktu itu kita ngomong untuk mempertahankan kita punya hak. Tiba-tiba kita
didaftar. Jadi tuduhannya apa kita belum tahu juga,” ucap pria kelahiran
Foholulik tahun 1966 tersebut.
Bersama sebelas
anggota milisi Laksaur lainnya, Zito bertugas untuk mengawal Olivio Mendonza,
Komandan Bataliyon Laksaur. Dalam pergolakan 75/76, Olivio merupakan anggota
Fretilin yang banyak membunuh tentara Indonesia. Namun setelah tertangkap oleh
Indonesia, ia berpindah haluan dan berbalik menghantam Fretilin. Olivio sendiri
meninggal pada 5 September 2000 lalu. Ia dibunuh oleh sekelompok orang di
Atambua. Badannya dimutilasi dan dibuang ke berbagai tempat agar rohnya tak
kembali lagi.
Kematian Olivio ini
memancing kerusuhan di Atambua keesokan harinya. Massa yang marah
berdemonstrasi sembari mengarak jenazah Olivio. Beberapa dari mereka lantas menyerang
kantor UNHCR yang terletak sekitar seratus meter dari kantor DPRD II Belu di Atambua.
Dalam penyerangan tersebut, tiga staf UNHCR tewas. Penyerangan ini
mengakibatkan PBB memberi status keamanan siaga lima bagi kota Atambua. Seluruh
LSM internasional pun segera keluar dari Atambua setelah peristiwa tersebut.
Kini Atambua berstatus siaga dua.
Selama menjadi
pengawal Olivio, selain membawa pedang Zito juga membawa senapan rakitan yang
dibuatnya sendiri. “Kalau dibakar dia meledak sendiri. Jadi kalau sudah mulai
ada ancaman kita mulai bakar rokok. Siap-siap. Sekali bakar, boooommmm! Keluar
bisa sampai sepuluh biji. Begitu habis kita harus pegang batu atau pedang untuk
jaga diri,” jelas Zito.
Saat bergabung di
Laksaur Zito beberapa kali terlibat bentrok dengan orang-orang pro kemerdekaan.
Salah satunya terjadi di Pasar Suai, beberapa hari setelah hasil Jajak Pendapat
diumumkan. “Kita di pasar diejek, ‘kamu di Indonesia mau tinggal di kolong
jembatan atau di mana.’ Kita emosi, namanya manusia biasa. Akhirnya kita pakai
senapan rakitan ini tembak sembarang. Tidak tahu itu yang kena manusia biasa
atau yang mengejek, namanya perang,” cerita Zito.
***
Zito lahir dari
keluarga pro integrasi. Sejak awal,
ayahnya, Wilhelmus Berektobo, memilih bergabung dengan Apodeti (Associacao
Popular Democratica de Timorense) atau Asosiasi Rakyat Timor Demokrat. Apodeti adalah sebuah partai politik yang menginginkan Timor Leste berintegrasi dengan Indonesia. Partai ini diketuai oleh
Arnaldo dos Reis Araujo yang menjadi gubernur pertama Timor Leste saat daerah tersebut masih menjadi koloni Indonesia.
Keputusan Wilhelmus
memilih Apodeti ini akhirnya membuat dia ditangkap oleh Fretilin. “Waktu tahun
1975 saya mengungsi. Saat itu bapak saya disiksa oleh Fretilin karena memilih
Apodeti. Dia ditangkap di Foholulik kemudian ditahan di Tilomar dengan om saya
dua orang. Di sana dia dipukul, disiksa, terus dimasukkan ke dalam sel yang
angin tidak bisa masuk,” kenang Zito yang saat itu masih berusia sembilan
tahun.
Setelah seminggu
ditahan, salah seorang keluarga Zito dari Bobonaro yang merupakan anggota
Fretilin datang ke Tilomar. Ia meminta supaya Wilhelmus dan dua saudaranya
dilepaskan. “Kita kan berjuang untuk masyarakat, bukan untuk diri sendiri,”
ucap Zito menirukan saudaranya.
Selang tiga bulan
setelah dibebaskan, Wilhelmus bertemu dengan pasukan Batalyon 507 dari
Indonesia. “Bapak kemudian bantu TNI sebagai informan. Setelah itu, meski buta
huruf, ia diangkat jadi kepala desa pada tahun 1976,” jelas Zito.
Pilihan Wilhelmus
untuk berpihak pada Indonesia ini ditiru oleh Zito. Menurut Zito, pilihan inilah
yang membuatnya ikut terlibat dalam milisi. “Dulu waktu 1975, bapak saya sudah
memilih Indonesia. Jadi saya juga harus ikut dengan hak bapak saya. Indonesia
juga baik untuk kita karena dia membangun,” ungkap Zito.
Keputusan Zito
untuk berpihak pada Indonesia ini membuat Zito harus meninggalkan desanya di
Maudemo, Salele, Covalima. Bersama puluhan ribu orang lainnya, Zito ikut dalam
arus pengungsian ke Timor Barat beberapa hari setelah hasil Jajak Pendapat
diumumkan. Zito mengungsi bersama istri dan kedua anaknya yang masih balita dengan
menggunakan mikrolet.
“Datang ke sini
terus tinggal di tenda-tenda yang dikasih UNHCR. Perjalanan dari sana ke sini
aman. Dulu pro kemerdekaan mereka ke hutan semua, dikuasai oleh kita yang pro
otonomi. Begitu turun, mereka kuasai sana terus kita menghindar ke sini,” cerita
Zito sembari merujuk tempat tinggalnya saat ini di Dusun Metamauk, Kobalima
Timur.
Tidak semua saudara
dalam keluarga besar Zito memilih integrasi. Dari keempat saudaranya, seorang
adik perempuannya memilih berpihak pada kelompok pro kemerdekaan. “Dulu waktu
1999 sempat bersitegang juga, tapi tidak ada tatap muka karena ada yang lari ke
hutan dan sebagainya. Tetapi setelah pengumuman ya sudah, kita tidak saling
ganggu, karena hubungan tradisi masih tetap,” kisah Zito.
Saat ini Zito
bekerja sebagai petani. Ia menggarap lahan seluas 50 meter persegi yang dipinjamnya
dari penduduk setempat. Di lahan tersebut ia menanam ubi, jagung, dan kacang.
Tanaman-tanaman itulah yang menjadi sumber pendapatannya saat ini. Dulu di Timor Leste Zito bekerja
di HTI (Hutan Tanaman Industri) yang terletak di Salele. Di sana ia memiliki
sekitar 20 pegawai.
Meski sekarang
kehidupannya di settlement serba terbatas, namun Zito tak pernah berniat untuk
kembali ke Timor Leste. Selain terkendala karena namanya masuk daftar terdakwa kejahatan serius, rumahnya di Desa Maudemo juga sudah dibakar oleh sekelompok orang. “Untuk
apa pulang, di sana kan negara kecil dan saya sudah memilih untuk di sini. Di sana
juga sama kita kerja dulu baru makan. Daripada nyawa saya jadi taruhan kan
lebih baik saya di sini,” jelas Zito.
***
Mantan milisi ABLAI ini masih
belum tahu apakah nama Adriano Lopez yang tercantum dalam daftar 401 orang yang
dituduh melakukan kejahatan serius tersebut merujuk pada dirinya. “Nama
Adriano Lopez itu di sini ada dua, entah saya atau teman saya yang di Yonif
744. Di antara kedua ini tidak ada yang bisa ke Timor, kalau ke Timor akan
ditangkap. Saya dan dia kan asalnya sama,” ucap pria asal Same ini.
![]() |
Adriano Lopez, mantan Komandan Kompi ABLAI Same. (Henry Adrian) |
Pada 31 Desember 1978, Yonif
744 turut melakukan penyergapan terhadap Fretilin di lembah Mindelo, sekitar 40
kilometer selatan Dili. Penyergapan ini menewaskan Nicolau Lobato, pemimpin
Fretilin sekaligus perdana menteri pertama Timor Leste berdasarkan Deklarasi
Fretilin pada tanggal 28 November 1975. Namanya kini digunakan sebagai nama
bandara internasional di Dili.
Adriano adalah
Komandan Kompi ABLAI di Same. ABLAI yang merupakan akronim dari Aku Berjuang
Lestarikan Amanat Integarasi ini adalah organisasi milisi yang dibentuk di Same,
Manufahi, pada Maret 1999. Nama ABLAI diambil dari nama Gunung Kablaki. Kablaki
berasal dari bahasa Tetun. Di Same, gunung ini disebut sebagai Gunung Ablai
karena bahasa yang digunakan oleh penduduk setempat adalah bahasa Mambai.
“Awal mula masuk
ABLAI karena melihat situasi politik yang sudah berubah. Kita terus bekumpul
dan mendirikan organisasi ini untuk mengamankan situasi karena dari tahun 1997
sampai 1998 itu ada kerusuhan dan kekacauan di mana-mana. Kita melahirkan
organisasi ini bukan untuk mengacaukan, membunuh, atau merampok, tetapi untuk
mengamankan situasi,” jelas pria yang saat di ABLAI memiliki sekitar seratus
anak buah ini.
Menurut Adriano,
sebagian besar penduduk Same merupakan pendukung pro kemerdekaan. Selama
bergabung di ABLAI, Adriano sering terlibat bentrok dengan orang-orang pro
kemerdekaan. Bermula dari saling ejek dan lempar batu, bentrokan ini kadang
berakhir dengan kematian di salah satu kelompok. Meski begitu, ketika ditanya
lebih rinci Adriano mengaku tak ingat lagi dengan bentrokan-bentrokan tersebut
karena sudah lewat belasan tahun.
Perselisihan yang
sering terjadi antara orang-orang pro kemerdekaan dan pro integrasi inilah yang
membuat Adriano Lopez mengungsi setelah hasil Jajak Pendapat diumumkan. Pada
tanggal 4 September 1999, bersama istri dan ketiga anaknya, ia dan ribuan orang
lainnya dari Manufahi menuju ke Pantai Betano yang terletak di selatan Manufahi.
Di pantai tersebut
telah tersedia beberapa kapal TNI untuk mengangkut para pengungsi ke berbagai
daerah. “Ada tiga kapal TNI yang masuk, setiap kapal muat bolak-balik dua kali.
Jadi enam kali dia muat. Sekali muat tiga sampai empat ribu orang. Kita ada
kabupaten kan punya empat kecamatan, hanya satu kecamatan yang tidak keluar,
tapi tiga kecamatan hampir keluar semua,” kisah Adriano.
Namun, tingginya
jumlah pengungsi membuat banyak orang tidak kebagian tempat di dalam kapal,
termasuk Adriano dan keluarganya. Setelah menunggu berhari-hari, ia akhirnya
memilih mengambil jalan darat menuju Timor Barat. Pada 16 September 1999,
Adriano akhirnya tiba di Desa Alas Selatan, Kobalima Timur. “Saya jalan hanya
bawa motor satu, tas kecil, dan badan saja. Harta dan kekayaan saya tinggalkan.
Saya tahu kalau datang ke Indonesia akan dikasih kembali. Ternyata datang, Indonesia tidak memberikan,” ucap pria yang dulu di Timor Leste bekerja sebagai
PNS di BKKBN ini dengan kesal.
Terkadang Adriano
menyimpan keinginan untuk pulang ke tanah kelahirannya di Timor Leste. Namun keinginan ini surut ketika ia ingat rumahnya yang dihancurkan sekelompok
orang di Same. “Kita bisa lihat rumah ini benda mati, jadi kalau tembok rumah
ini semua dikasih rata dengan tanah, berarti orang benci sama kita kan. Benda
mati saja sampai seperti ini, apalagi manusia. Oleh karena itu lebih baik
di sini saja tenang-tenang tidak ada gangguan,” ungkap Adriano.
***
Sama seperti Zito,
sejak awal keluarga Adriano berpihak pada
Indonesia. Pilihan ini menyebabkan ayah dan delapan anggota keluarganya
meninggal dalam sebuah pertempuran dengan Fretilin di Desa Surucraik, Ainaro,
pada tanggal 7 Mei 1976.
“Siangnya kita upacara naikkan bendera Indonesia, malamnya
orang datang serbu. Saya ditembak Fretilin di kaki, punggung belakang, kepala,
pipi, semua empat tembakan. Saat itu saya usia 12 tahun, jadi hansip karena
tenaga tidak ada,” kenang Adriano sembari kemudian menunjukkan bekas-bekas
lukanya.
Peristiwa tersebut menyebabkan keluarga
Adriano yang tersisa mengungsi ke Desa Kassa, Ainaro. “Kita mengungsi ke kita
punya keluarga Apodeti. Dulu di
Ainaro ini kan semua Fretilin, Apodeti hanya ada di dua desa,” ungkap Adriano.
Ibu Adriano
meninggal tiga tahun kemudian, setamatnya Adriano dari Sekolah Dasar pada 1979.
Sejak saat itu Adriano hidup sendiri dengan lima saudara kandungnya. “Kita lalu
hidup sendiri, sekolah dengan keringat sendiri. Adik laki-laki yang nomor dua
itu dia tidak sekolah, dialah yang membiayai saya kembali untuk sekolah. Enam
orang saling bantu,” ucap Adriano.
Berpisahnya Timor
Leste dari Indonesia juga membuat Adriano harus berpisah dengan beberapa
saudaranya, termasuk adiknya yang kedua. “Tapi saya punya prinsip begini, saya
satu negara dia satu negara, maka anda adalah musuh saya. Apabila kita sudah
berkumpul dan bersatu, maka kamu adalah saudara saya dan saya adalah saudara
kamu. Tetapi selagi anda masih di sana, anda adalah musuh saya,” jelas Adriano
bersemangat.
*****
Ebook "Di Balik Garis Batas" yang berisi rangkaian cerita dan foto yang diangkat Atma Jaya Photography Club di perbatasan Indonesia-Timor Leste dapat didownload di sini.
*Liputan untuk tulisan ini dilakukan pada Mei 2012. Tulisan ini pertama kali dipublikasikan pada pameran foto "Di Balik Garis Batas" di Bentara Budaya, Yogyakarta, pada 1-7 Maret 2013.
*Liputan untuk tulisan ini dilakukan pada Mei 2012. Tulisan ini pertama kali dipublikasikan pada pameran foto "Di Balik Garis Batas" di Bentara Budaya, Yogyakarta, pada 1-7 Maret 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar