Pages

Rabu, 13 Maret 2013

Tanpa Gereja, Tanpa Negara

“Kami tidak melakukan kriminalitas, kami hanya mau beribadah.”

oleh: Henry Adrian

“Hoi! Pulang hoi!” teriak puluhan orang yang menghadang jemaat HKBP Filadelfia pada awal November 2012 lalu. Penghadangan ini selalu terjadi tiap minggu, saat jemaat HKBP Filadelfia hendak melakukan kebaktian di depan lokasi tanah gereja mereka yang disegel Pemda Bekasi.

Jemaat HKBP Filadelfia dihadang sekelompok massa saat hendak beribadah di depan lokasi tanah gereja mereka 
yang disegel Pemda Bekasi. (Henry Adrian)
Palti Panjaitan, Pendeta HKBP Filadelfia, berada di baris depan jemaatnya. Ia hanya bisa tertunduk sabar
di atas motornya sembari mendengarkan berbagai cemooh yang diteriakkan massa penghadang. (Henry Adrian)
Jemaat HKBP Filadelfia berfoto bersama usai melakukan kebaktian bersama GKI Yasmin di depan Istana Negara, Jakarta. (Henry Adrian)
Massa penghadang ini terdiri dari orang-orang muda dan tua. Berbagai cemooh mereka teriakan pada puluhan jemaat HKBP Filadelfia yang hanya bisa tertahan di jalan dan tidak bisa melaksanakan kebaktian. “Masuk neraka kalian nanti!” teriak salah seorang perempuan muda pada jemaat.
“Kita bukannya tidak toleran, tapi kalau mau kebaktian kan ada tempatnya, bukan di pinggir jalan seperti ini!” ungkap Ustad Naimun di baris terdepan massa penghadang. Ia adalah salah satu tokoh utama yang malatarbelakangi penolakan pembangunan Gereja HKBP Filadelfia.
Palti Panjaitan, Pendeta HKBP Filadelfia, berada di baris depan jemaatnya. Ia hanya bisa tertunduk sabar di atas motornya sembari mendengarkan berbagai cemooh yang diteriakkan massa penghadang. Seluruh jemaat bersikap seperti Palti. Mereka lebih memilih diam daripada menanggapi cemooh dari massa penghadang.
Beberapa saat kemudian, Suharto, Camat Tambun Utara datang. Ia meminta Palti dan jemaatnya untuk pergi. Beberapa massa yang mendengar penolakan Palti untuk pergi lantas berteriak. “Ngga bisa! Maunya apa!” teriak mereka.
Akhirnya setelah hampir satu jam bertahan di bawah terik matahari, jemaat HKBP Filadelfia pun mengalah dan membubarkan diri. Sebelum bubar, masing-masing dari mereka berdoa dalam hening. Di tengah teriakan dan hinaan mereka berdoa. Seorang jemaat perempuan muda tampak tertunduk dalam doa sembari menangis.

***

HKBP Filadelfia didirikan pada April 2000 atas inisiatif beberapa komunitas Batak dari Desa Jejalen Jaya, Desa Mangun Jaya, Desa Satria Jaya, dan Desa Sumber Jaya, Kabupaten Bekasi. Secara geografis, beberapa komunitas ini tinggal berdekatan.
Semula, jemaat HKBP Filadelfia beribadah dari rumah ke rumah. Hal ini terus berlangsung hingga terjadi penolakan pada Oktober 2003. “Awal mula gangguannya secara persis saya tidak tahu apa penyebabnya, karena waktu itu saya belum di sini, tapi tiba-tiba muncul penolakan yang besar. Padahal warga HKBP yang tinggal di perumahan ini sehari-hari berinteraksi dengan masyarakat sekitar,” kisah Palti yang mulai bertugas di HKBP Filadelfia sejak 2007 lalu.
Saat itu kebaktian dari rumah ke rumah memang sering memakan tempat sampai di luar rumah. Hal ini disebabkan karena kebanyakan rumah yang digunakan adalah tipe 21 yang hanya berukuran sekitar 60 sampai 70 meter persegi. Sehingga rumah-rumah tesebut tidak muat digunakan sebagai tempat ibadah.
Akhirnya, jemaat HKBP Filadelfia membangun dua ruko di atas tanah yang dibeli di Perumahan Villa Bekasi Indah 2, Desa Sumber Jaya. Ruko tersebut nantinya akan digunakan sebagai tempat ibadah. “Di situ kembali terjadi penolakan. Sampai sekarang ruko itu tidak bisa dipakai. Padahal kita kan mengakomodasi keberatan beberapa warga sekitar,” jelas Palti.
Jemaat HKBP Filadelfia pun kembali beribadah dari rumah ke rumah. Namun pada April 2006 kembali terjadi penolakan. “Sehingga, pimpinan jemaat pada saat itu harus menandatangani surat pernyataan tidak boleh ibadah di perumahan ini, Vila Bekasi Indah 2. Karena tekanan massa, dia harus tandatangani,” ungkap Palti.
Setelah mengalami beragam penolakan, HKBP Filadelfia lantas mencari lahan untuk mendirikan gereja. “Seiring tahun berjalan, warga Batak yang Kristen semakin banyak yang tinggal dan bekerja di daerah ini. Jadi karena migrasi penduduk ke tempat ini, bukan karena untuk kristenisasi, karena ini kebutuhan, ada warga HKBP yang tinggal di tempat ini, maka dibutuhkan sebuah gereja untuk tempat mereka beribadah,” jelas Palti.
Pada Juni 2007, HKBP Filadelfia membeli tanah di Desa Jejalen Jaya, Tambun Utara, Bekasi. “Ketika kita bernegosiasi untuk membeli tanah, kita terang-terangan memberitahu kalau tanah itu nantinya digunakan untuk gereja. Pemilik tanah dan ahli waris setuju. Hal ini disaksikan oleh Kepala Desa waktu itu, Haji Sukardi, dan beberapa warga. Jadi dari awal sudah terang-terangan, tidak ada yang ditutupi,” kisah Palti.
Setelah itu HKBP Filadelfia mencari dukungan dari warga setempat sebagai syarat untuk mendirikan tempat ibadah berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 8 dan No. 9 Tahun 2006. Dalam peraturan tersebut, pemohon diharuskan mendapat persetujuan dari jemaat sebanyak 90 jiwa, dan dari luar pemohon, dalam hal ini warga setempat yang beragama lain, sebanyak 60 jiwa.
“Saya sebenarnya tidak setuju dengan peraturan tersebut. Aturan itu diskriminatif. Bagaimana nanti saya mau membangun gereja jika saya merupakan minoritas di suatu daerah. Namun karena sudah ada aturannya, terpaksa kita harus mengikuti aturan tersebut,” jelas Palti.
HKBP Filadelfia akhirnya berhasil mendapatkan tanda tangan persetujuan dan KTP dari 259 warga Desa Jejalen Jaya. Selain itu, Kepala Desa Jejalen Jaya juga mengeluarkan rekomendasi persetujuan untuk mendirikan Gereja HKBP Filadelfia. “Sebenarnya tanda tangan dan KTP yang belum kita ajukan ke pemerintah daerah masih banyak. Selain karena ada yang terlambat masuk, juga karena kita sortir karena ada KTP yang sudah mati. Jadi KTP yang masih berlaku yang kita ajukan,” ungkap Palti.
Setelah semua syarat terpenuhi, pada April 2008 HKBP Filadelfia mengajukan permohonan rekomendasi izin pendirian Gereja HKBP Filadelfia pada Bupati Bekasi, Departemen Agama Kabupaten Bekasi, dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Bekasi, serta Camat Tambun Utara. HKBP Filadelfia terus mengawasi pengajuan permohonan itu, terutama pada Departemen Agama dan FKUB.
“FKUB itu badan yang dibentuk pemerintah. Salah satu fungsi FKUB adalah membantu rumah-rumah ibadah yang ingin berdiri. Seharusnya FKUB membantu saya sosialiasi ke lingkungan. Kalaupun saya sulit mendapat ijin, seharusnya mereka yang membantu saya. Tapi yang terjadi, dari pengalaman gereja ini, justru FKUB jadi biang kerok masalah. FKUB dan Departemen Agama yang mempersulit,” ucap Palti.
Setelah lebih dari satu tahun tak mendapat jawaban, akhirnya pada Oktober 2009 Panitia Pembangunan Gereja HKBP Filadelfia sepakat untuk melaksanakan ibadah di lokasi tanah gereja. Ibadah pertama jemaat HKBP Filadelfia di lokasi tersebut dilakukan pada hari Natal, 25 Desember 2009. Saat itu jemaat didemo oleh massa. Beberapa hari setelah itu, jemaat HKBP Filadelfia bahkan tidak bisa beribadah di lokasi tanah gereja karena massa telah menduduki lokasi tersebut.
Pada awal Januari 2010, HKBP Filadelfia menerima Surat Keputusan Bupati Bekasi No. 300/675/Kesbangpollinmas/09 tertanggal 31 Desember 2009 perihal penghentian kegiatan pembangunan dan penghentian kegiatan ibadah di lokasi tanah gereja HKBP Filadelfia. Beberapa hari kemudian, Pemda Bekasi bahkan menyegel lokasi tanah gereja dengan dasar pertimbangan Perda No. 7 tahun 1996.
Pada Maret 2010, HKBP Filadelfia mengajukan gugatan pada Bupati Bekasi ke Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung. Saat itu, tim hukum HKBP Filadelfia terdiri dari 31 orang pengacara. “Dulu ketika kita mau membuat tim pengacara, banyak yang bersedia membantu, sebab jarang kasus-kasus seperti ini dimenangkan oleh pengadilan,” ucap Palti.
Akhirnya, pada September 2010 PTUN Bandung mengabulkan gugatan HKBP Filadelfia dan menyatakan batal terhadap Surat Keputusan Bupati Bekasi. Pengadilan memerintahkan tergugat agar memberikan ijin pada penggugat untuk mendirikan tempat ibadah sesuai perundang-undangan yang berlaku.
Bupati Bekasi lantas mengajukan banding atas putusan tersebut. Namun, pada Mei 2011, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta justru memperkuat putusan PTUN Bandung. Bahkan, pada Juni 2011, kasasi Bupati Bekasi ditolak oleh Mahkamah Agung. "Menurut MA, karena ini masalah lokal, tidak bisa diajukan ke MA. Penolakan kasasi itu semakin menguatkan putusan dari Bandung,” jelas Palti.
Meski begitu, hingga kini lokasi tanah gereja HKBP Filadelfia masih disegel oleh Pemda Bekasi. Kelemahan PTUN adalah tidak adanya sanksi tegas terhadap pihak yang tidak melaksanakan putusan pengadilan. Selain itu, jika dalam perkara pidana dan perdata eksekusi dilakukan oleh pengadilan, tidak begitu dengan perkara tata usaha negara. Eksekusi dikembalikan lagi pada institusi, dalam hal ini Bupati Bekasi. Jika Bupati Bekasi tidak juga menindaklanjuti keputusan pengadilan, maka kebijakan terakhir diserahkan kepada Presiden.
“Bagaimana bisa, masa dia menyegel dia yang membuka, itu kan harga diri. Akhirnya ini kembali lagi ke niat baik pelakunya, yaitu Bupati. Sampai sekarang dia tidak berniat baik. Saya disuruh taat hukum, tapi pemerintah dan pemimpin saya tidak taat hukum,” protes Palti.

***

“Palti Panjaitan! Gua habisi lu! Gua tebas!” teriak Abdul Aziz, anak Ustad Naimun, dalam orasinya setelah jemaat HKBP Filadelfia selesai beribadah pada Mei 2012 lalu. Palti telah melaporkan ancaman pembunuhan ini berikut video rekaman orasi tersebut ke Mabes Polri. “Saya tidak tahu apakah itu akan dibawa ke pengadilan atau tidak. Tapi kalau tidak saya laporkan, bisa saja nanti saya disalahkan polisi, maka saya laporkan sebagai antisipasi,” terang Palti.
Ancaman demi ancaman selalu diterima oleh jemaat HKBP Filadelfia dari massa intoleran. Menurut Palti, massa yang melakukan protes dan penghadangan tersebut adalah orang-orang yang sejak awal tidak bersedia menandatangani persetujuan pendirian gereja. “Pada awalnya mereka tidak peduli. Tapi karena ada tokoh yang mengajak, mereka jadi ikut. Kemudian ada yang memprovokasi, sehingga mereka jadi seperti itu,” jelas Palti.
Pada Februari 2008, Ustad Naimun bersama beberapa tokoh lainnya membentuk Forum Komunikasi Umat Islam (FKUI) Jejalen Jaya yang mengatasnamakan umat Islam Desa Jejalen Jaya. Menurut Palti, FKUI Jejalen Jaya dibentuk secara khusus untuk berhadapan dengan HKBP Filadelfia.
“Ini sebenarnya tidak murni penolakan dari masyarakat sekitar, ada nuansa politik juga. Sebab Bupati Bekasi periode lalu, H. Sa’duddin, pernah mengatakan, ‘tidak akan pernah berdiri gereja selama saya menjadi bupati.’ Itu kami dengar langsung saat ia memberi ceramah shalat jumat di masjid sekitar sini. Inilah wajah pemerintah dan pemimpin kita,” kisah Palti.
Semula, jemaat HKBP Filadelfia masih bisa melakukan kebaktian di pinggir jalan, di depan lokasi tanah gereja. Meski begitu, massa yang menolak pembangunan gereja lantas mengganggu dan memprovokasi jalannya kebaktian. Saat kebaktian sedang berjalan, massa intoleran bahkan pernah meletakkan beberapa speaker di dekat lokasi kebaktian dan menyetel rekaman marawis keras-keras. Marawis adalah pelantunan ayat-ayat Al-Qur’an dengan iringan beberapa instrumen musik seperti rebana dan gendang.
Namun, kini jemaat HKBP Filadelfia selalu dihadang oleh massa sehingga tidak bisa melaksanakan kebaktian, bahkan di pinggir jalan sekalipun. Mereka hanya bisa diam menerima cemooh dari massa yang berusaha memprovokasi. Dalam diamnya, sudah berulangkali jemaat terkena lemparan air kencing, air comberan, telur busuk, oli, hingga kotoran manusia dari massa. Hal serupa juga terjadi ketika jemaat HKBP Filadelfia hendak melakukan kebaktian malam Natal tahun 2012 lalu.
Meski selalu tampak teguh menghadapi massa intoleran, Palti tak memungkiri jika ketakutan selalu ada pada dirinya dan jemaatnya. “Kalau dibilang takut, semua manusia pasti memiliki rasa takut. Kami takut memang, tapi pada akhirnya kami melampaui rasa takut itu. Sehingga kami tetap datang beribadah karena kami merasa benar, tidak ada yang salah, kami tidak melakukan kriminalitas, kami hanya mau beribadah,” jelas Palti.
Sejak Maret 2012 lalu, tiap dua minggu sekali jemaat HKBP Filadelfia melakukan kebaktian di depan Istana Negara di Jakarta. Kebaktian di depan Istana Negara ini merupakan inisiatif GKI Yasmin, Bogor, yang juga mendapat perlakuan serupa seperti HKBP Filadelfia. “Kebaktian di sana selalu aman karena kita dikawal polisi. Selain itu, negara juga tidak akan pernah membiarkan terjadi keributan di sana, karena Istana Negara itu salah satu simbol Negara Indonesia,” kata Palti.
Tahun lalu, kebaktian mingguan di depan lokasi tanah gereja HKBP Filadelfia sempat berhenti selama lima bulan sejak Juni 2012. “Ketika itu menjelang bulan suci Ramadhan, kita tidak mau mencederainya. Selain itu, kita juga menghargai usul Bupati yang baru. Beliau meminta, ‘tolong pak pendeta, cooling down dulu, agar saya bisa sosialisasi dengan masyarakat, bagaimana saya sosialisasi kalau tiap minggu ribut-ribut,’” kata Palti seraya menirukan ucapan Neneng Hasanah Hasyin, yang dilantik menjadi Bupati Bekasi pada Mei 2012 lalu.
Pada awal-awal cooling down, jemaat HKBP Filadelfia melakukan ibadah di depan Istana Negara. Selain itu, mereka juga dua kali melakukan ibadah di tempat rekreasi, yaitu di Taman Buah Mekarsari dan Taman Bunga Cibubur. Karena dana yang terbatas, maka dari September sampai November 2012 lalu mereka mulai beribadah di gereja induk. “HKBP Filadelfia kan gereja cabang, jadi ada gereja induknya, tapi jauh dari sini. Soal jarak sudah tidak wajar lagi, saya harus beribadah dengan jarak tempuh 45 menit naik motor,” ungkap Palti.
“Gereja terdekat memang ada di sekitar sini, tapi kan berbeda alirannya, jadi tidak bisa serta merta saya bergabung dengan mereka. Gereja di sekitar sini juga masih banyak yang di rumah dan ruko, jadi masih terancam. Kalau kami ke sana, kami takut mereka juga akan dikejar dan menjadi korban seperti kami,” lanjutnya menerangkan.
Hingga kini, Palti dan jemaat HKBP Filadelfia terus memperjuangkan haknya untuk dapat beribadah dengan tenang. “Saya sebagai warga negara Indonesia juga berhak untuk diperlakukan setara dengan warga yang lain. Saya meminta supaya pemerintah tidak tunduk pada tekanan-tekanan massa, tapi tunduk pada hukum dan konstitusi. Kalau ini tidak diperjuangkan, akan bisa berdampak ke yang lain. Sehingga massa intoleran merasa semakin benar dan kuat, sebab tidak ada tindakan tegas dari pemerintah. Saya harus melawan ini!” kata Palti tegas.

*****


*Liputan untuk tulisan ini dilakukan pada November 2012. Tulisan ini pertama kali dipublikasikan pada pameran foto "In the Name of Faith" di Jogja Galerry, Yogyakarta, pada 8-10 Maret 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tweet Share