“Kami tidak melakukan kriminalitas, kami hanya mau beribadah.”
oleh: Henry Adrian
“Hoi! Pulang hoi!” teriak puluhan orang yang menghadang
jemaat HKBP Filadelfia pada awal November 2012 lalu. Penghadangan ini selalu
terjadi tiap minggu, saat jemaat HKBP Filadelfia hendak melakukan kebaktian di
depan lokasi tanah gereja mereka yang disegel Pemda Bekasi.
![]() |
Jemaat HKBP Filadelfia dihadang sekelompok massa saat hendak beribadah di depan lokasi tanah gereja mereka
yang disegel Pemda Bekasi. (Henry Adrian)
|
![]() |
Jemaat HKBP Filadelfia berfoto bersama usai melakukan kebaktian bersama GKI Yasmin di depan Istana Negara, Jakarta. (Henry Adrian) |
Massa
penghadang ini terdiri dari orang-orang muda dan tua. Berbagai cemooh mereka
teriakan pada puluhan jemaat HKBP Filadelfia yang hanya bisa tertahan di jalan
dan tidak bisa melaksanakan kebaktian. “Masuk neraka kalian nanti!” teriak
salah seorang perempuan muda pada jemaat.
“Kita bukannya
tidak toleran, tapi kalau mau kebaktian kan ada tempatnya, bukan di pinggir
jalan seperti ini!” ungkap Ustad Naimun di baris terdepan massa penghadang. Ia
adalah salah satu tokoh utama yang malatarbelakangi penolakan pembangunan
Gereja HKBP Filadelfia.
Palti
Panjaitan, Pendeta HKBP Filadelfia, berada di baris depan jemaatnya. Ia hanya bisa
tertunduk sabar di atas motornya sembari mendengarkan berbagai cemooh yang
diteriakkan massa penghadang. Seluruh jemaat bersikap seperti Palti. Mereka
lebih memilih diam daripada menanggapi cemooh dari massa penghadang.
Beberapa saat
kemudian, Suharto, Camat Tambun Utara datang. Ia meminta Palti dan jemaatnya
untuk pergi. Beberapa massa yang mendengar penolakan Palti untuk pergi lantas
berteriak. “Ngga bisa! Maunya apa!” teriak mereka.
Akhirnya setelah hampir satu jam bertahan di bawah terik matahari, jemaat HKBP
Filadelfia pun mengalah dan membubarkan diri. Sebelum bubar, masing-masing dari
mereka berdoa dalam hening. Di tengah teriakan dan hinaan mereka berdoa.
Seorang jemaat perempuan muda tampak tertunduk dalam doa sembari menangis.
***
HKBP
Filadelfia didirikan pada April 2000 atas inisiatif beberapa komunitas Batak
dari Desa Jejalen Jaya, Desa Mangun Jaya, Desa Satria Jaya, dan Desa Sumber
Jaya, Kabupaten Bekasi. Secara geografis, beberapa komunitas ini tinggal
berdekatan.
Semula, jemaat
HKBP Filadelfia beribadah dari rumah ke rumah. Hal ini terus berlangsung hingga
terjadi penolakan pada Oktober 2003. “Awal mula gangguannya secara persis saya
tidak tahu apa penyebabnya, karena waktu itu saya belum di sini, tapi tiba-tiba
muncul penolakan yang besar. Padahal warga HKBP yang tinggal di perumahan ini
sehari-hari berinteraksi dengan masyarakat sekitar,” kisah Palti yang mulai
bertugas di HKBP Filadelfia sejak 2007 lalu.
Saat itu kebaktian dari rumah ke rumah memang sering memakan tempat sampai di luar
rumah. Hal ini disebabkan karena kebanyakan rumah yang digunakan adalah tipe 21
yang hanya berukuran sekitar 60 sampai 70 meter persegi. Sehingga rumah-rumah
tesebut tidak muat digunakan sebagai tempat ibadah.
Akhirnya,
jemaat HKBP Filadelfia membangun dua ruko di atas tanah yang dibeli di
Perumahan Villa Bekasi Indah 2, Desa Sumber Jaya. Ruko tersebut nantinya akan
digunakan sebagai tempat ibadah. “Di situ kembali terjadi penolakan. Sampai
sekarang ruko itu tidak bisa dipakai. Padahal kita kan mengakomodasi keberatan
beberapa warga sekitar,” jelas Palti.
Jemaat HKBP
Filadelfia pun kembali beribadah dari rumah ke rumah. Namun pada April 2006
kembali terjadi penolakan. “Sehingga, pimpinan jemaat pada saat itu harus
menandatangani surat pernyataan tidak boleh ibadah di perumahan ini, Vila
Bekasi Indah 2. Karena tekanan massa, dia harus tandatangani,” ungkap Palti.
Setelah
mengalami beragam penolakan, HKBP Filadelfia lantas mencari lahan untuk
mendirikan gereja. “Seiring tahun berjalan, warga Batak yang Kristen semakin
banyak yang tinggal dan bekerja di daerah ini. Jadi karena migrasi penduduk ke
tempat ini, bukan karena untuk kristenisasi, karena ini kebutuhan, ada warga
HKBP yang tinggal di tempat ini, maka dibutuhkan sebuah gereja untuk tempat
mereka beribadah,” jelas Palti.
Pada Juni
2007, HKBP Filadelfia membeli tanah di Desa Jejalen Jaya, Tambun Utara, Bekasi.
“Ketika kita
bernegosiasi untuk membeli tanah, kita terang-terangan memberitahu kalau tanah
itu nantinya digunakan untuk gereja. Pemilik tanah dan ahli waris setuju. Hal
ini disaksikan oleh Kepala Desa waktu itu, Haji Sukardi, dan beberapa warga.
Jadi dari awal sudah terang-terangan, tidak ada yang ditutupi,” kisah Palti.
Setelah itu HKBP Filadelfia mencari dukungan dari warga setempat sebagai syarat untuk
mendirikan tempat ibadah berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri No. 8 dan No. 9 Tahun 2006. Dalam peraturan tersebut,
pemohon diharuskan mendapat persetujuan dari jemaat sebanyak 90 jiwa, dan dari
luar pemohon, dalam hal ini warga setempat yang beragama lain, sebanyak 60
jiwa.
“Saya sebenarnya tidak setuju dengan
peraturan tersebut. Aturan itu diskriminatif. Bagaimana nanti saya mau
membangun gereja jika saya merupakan minoritas di suatu daerah. Namun karena
sudah ada aturannya, terpaksa kita harus mengikuti aturan tersebut,” jelas
Palti.
HKBP
Filadelfia akhirnya berhasil mendapatkan tanda tangan persetujuan dan KTP dari 259
warga Desa Jejalen Jaya. Selain itu, Kepala Desa Jejalen Jaya juga mengeluarkan
rekomendasi persetujuan untuk mendirikan Gereja HKBP Filadelfia. “Sebenarnya tanda tangan dan
KTP yang belum kita ajukan ke pemerintah daerah masih banyak. Selain karena ada
yang terlambat masuk, juga karena kita sortir karena ada KTP yang sudah mati.
Jadi KTP yang masih berlaku yang kita ajukan,” ungkap Palti.
Setelah
semua syarat terpenuhi, pada April 2008 HKBP Filadelfia mengajukan permohonan rekomendasi
izin pendirian Gereja HKBP Filadelfia pada Bupati Bekasi, Departemen Agama
Kabupaten Bekasi, dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Bekasi,
serta Camat Tambun Utara. HKBP Filadelfia terus mengawasi pengajuan permohonan
itu, terutama pada Departemen Agama dan FKUB.
“FKUB itu badan yang dibentuk pemerintah.
Salah satu fungsi FKUB adalah membantu rumah-rumah ibadah yang ingin berdiri.
Seharusnya FKUB membantu saya sosialiasi ke lingkungan. Kalaupun saya sulit
mendapat ijin, seharusnya mereka yang membantu saya. Tapi yang terjadi, dari
pengalaman gereja ini, justru FKUB jadi biang kerok masalah. FKUB dan
Departemen Agama yang mempersulit,” ucap Palti.
Setelah
lebih dari satu tahun tak mendapat jawaban, akhirnya pada Oktober 2009 Panitia
Pembangunan Gereja HKBP Filadelfia sepakat untuk melaksanakan ibadah di lokasi
tanah gereja. Ibadah pertama jemaat HKBP Filadelfia di lokasi tersebut
dilakukan pada hari Natal, 25 Desember 2009. Saat itu jemaat didemo oleh
massa. Beberapa hari setelah itu, jemaat HKBP Filadelfia bahkan tidak bisa
beribadah di lokasi tanah gereja karena massa telah menduduki lokasi tersebut.
Pada awal
Januari 2010, HKBP Filadelfia menerima Surat Keputusan Bupati Bekasi No.
300/675/Kesbangpollinmas/09 tertanggal 31 Desember 2009 perihal penghentian
kegiatan pembangunan dan penghentian kegiatan ibadah di lokasi tanah gereja
HKBP Filadelfia. Beberapa hari kemudian, Pemda Bekasi bahkan menyegel lokasi tanah
gereja dengan dasar pertimbangan Perda No. 7 tahun 1996.
Pada Maret
2010, HKBP Filadelfia mengajukan gugatan pada Bupati Bekasi ke Pengadilan Tata
Usaha Negara Bandung. Saat itu, tim hukum HKBP Filadelfia terdiri dari 31 orang
pengacara. “Dulu
ketika kita mau membuat tim pengacara, banyak yang bersedia membantu, sebab
jarang kasus-kasus seperti ini dimenangkan oleh pengadilan,” ucap Palti.
Akhirnya,
pada September 2010 PTUN Bandung mengabulkan gugatan HKBP Filadelfia dan menyatakan
batal terhadap Surat Keputusan Bupati Bekasi. Pengadilan memerintahkan tergugat
agar memberikan ijin pada penggugat untuk mendirikan tempat ibadah sesuai
perundang-undangan yang berlaku.
Bupati Bekasi lantas mengajukan banding
atas putusan tersebut. Namun, pada Mei 2011, Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara Jakarta justru memperkuat putusan PTUN Bandung. Bahkan, pada Juni 2011,
kasasi Bupati Bekasi ditolak oleh Mahkamah Agung. "Menurut MA, karena ini
masalah lokal, tidak bisa diajukan ke MA. Penolakan kasasi itu semakin
menguatkan putusan dari Bandung,” jelas Palti.
Meski begitu, hingga kini lokasi tanah
gereja HKBP Filadelfia masih disegel oleh Pemda Bekasi. Kelemahan PTUN
adalah tidak adanya sanksi tegas terhadap pihak yang tidak melaksanakan putusan
pengadilan. Selain itu, jika dalam perkara pidana dan perdata eksekusi
dilakukan oleh pengadilan, tidak begitu dengan perkara tata usaha negara.
Eksekusi dikembalikan lagi pada institusi, dalam hal ini Bupati Bekasi. Jika
Bupati Bekasi tidak juga menindaklanjuti keputusan pengadilan, maka kebijakan
terakhir diserahkan kepada Presiden.
“Bagaimana bisa, masa dia menyegel dia
yang membuka, itu kan harga diri. Akhirnya ini kembali lagi ke niat baik
pelakunya, yaitu Bupati. Sampai sekarang dia tidak berniat baik. Saya disuruh
taat hukum, tapi pemerintah dan pemimpin saya tidak taat hukum,” protes Palti.
***
“Palti
Panjaitan! Gua habisi lu! Gua tebas!” teriak Abdul Aziz, anak Ustad Naimun,
dalam orasinya setelah jemaat HKBP Filadelfia selesai beribadah pada Mei 2012
lalu. Palti telah melaporkan ancaman pembunuhan ini berikut video rekaman orasi
tersebut ke Mabes Polri. “Saya tidak tahu apakah itu akan dibawa ke pengadilan atau tidak. Tapi
kalau tidak saya laporkan, bisa saja nanti saya disalahkan polisi, maka saya
laporkan sebagai antisipasi,” terang Palti.
Ancaman demi ancaman selalu diterima oleh
jemaat HKBP Filadelfia dari massa intoleran. Menurut Palti, massa yang melakukan protes dan penghadangan
tersebut adalah orang-orang yang sejak awal tidak bersedia menandatangani
persetujuan pendirian gereja. “Pada awalnya mereka tidak peduli. Tapi
karena ada tokoh yang mengajak, mereka jadi ikut. Kemudian ada yang
memprovokasi, sehingga mereka jadi seperti itu,” jelas Palti.
Pada Februari
2008, Ustad Naimun bersama beberapa tokoh lainnya membentuk Forum Komunikasi
Umat Islam (FKUI) Jejalen Jaya yang mengatasnamakan umat Islam Desa Jejalen
Jaya. Menurut Palti, FKUI Jejalen Jaya dibentuk secara khusus untuk berhadapan
dengan HKBP Filadelfia.
“Ini sebenarnya tidak murni penolakan dari
masyarakat sekitar, ada nuansa politik juga. Sebab Bupati Bekasi periode lalu, H.
Sa’duddin, pernah mengatakan, ‘tidak akan pernah berdiri gereja selama saya
menjadi bupati.’ Itu kami dengar langsung saat ia memberi ceramah shalat jumat
di masjid sekitar sini. Inilah wajah pemerintah dan pemimpin kita,” kisah
Palti.
Semula, jemaat
HKBP Filadelfia masih bisa melakukan kebaktian di pinggir jalan, di depan
lokasi tanah gereja. Meski begitu, massa yang menolak pembangunan gereja lantas
mengganggu dan memprovokasi jalannya kebaktian. Saat kebaktian sedang berjalan,
massa intoleran bahkan pernah meletakkan beberapa speaker di dekat lokasi kebaktian dan menyetel rekaman marawis
keras-keras. Marawis adalah pelantunan ayat-ayat Al-Qur’an dengan iringan
beberapa instrumen musik seperti rebana dan gendang.
Namun, kini jemaat
HKBP Filadelfia selalu dihadang oleh massa sehingga tidak bisa melaksanakan
kebaktian, bahkan di pinggir jalan sekalipun. Mereka hanya bisa diam menerima
cemooh dari massa yang berusaha memprovokasi. Dalam diamnya, sudah berulangkali
jemaat terkena lemparan air kencing, air comberan, telur busuk, oli, hingga
kotoran manusia dari massa. Hal serupa juga terjadi ketika jemaat HKBP
Filadelfia hendak melakukan kebaktian malam Natal tahun 2012 lalu.
Meski selalu
tampak teguh menghadapi massa intoleran, Palti tak memungkiri jika ketakutan
selalu ada pada dirinya dan jemaatnya. “Kalau dibilang takut, semua manusia pasti
memiliki rasa takut. Kami takut memang, tapi pada akhirnya kami melampaui rasa
takut itu. Sehingga kami tetap datang beribadah karena kami merasa benar, tidak
ada yang salah, kami tidak
melakukan kriminalitas, kami hanya mau beribadah,” jelas Palti.
Sejak Maret
2012 lalu, tiap dua minggu sekali jemaat HKBP Filadelfia melakukan kebaktian di
depan Istana Negara di Jakarta. Kebaktian di depan Istana Negara ini merupakan
inisiatif GKI Yasmin, Bogor, yang juga mendapat perlakuan serupa seperti HKBP
Filadelfia. “Kebaktian di sana selalu aman karena kita dikawal polisi. Selain itu,
negara juga tidak
akan pernah membiarkan terjadi keributan di sana, karena Istana Negara itu
salah satu simbol Negara Indonesia,” kata Palti.
Tahun lalu,
kebaktian mingguan di depan lokasi tanah gereja HKBP Filadelfia sempat berhenti
selama lima bulan sejak Juni 2012. “Ketika itu menjelang bulan suci Ramadhan, kita tidak mau
mencederainya. Selain itu, kita juga menghargai usul Bupati yang baru. Beliau
meminta, ‘tolong pak pendeta, cooling
down dulu, agar saya bisa sosialisasi dengan masyarakat, bagaimana saya
sosialisasi kalau tiap minggu ribut-ribut,’” kata Palti seraya menirukan ucapan
Neneng Hasanah Hasyin, yang dilantik menjadi Bupati Bekasi pada Mei 2012 lalu.
Pada awal-awal cooling down, jemaat HKBP Filadelfia melakukan ibadah di depan
Istana Negara. Selain itu, mereka juga dua kali melakukan ibadah di tempat
rekreasi, yaitu di Taman Buah Mekarsari dan Taman Bunga Cibubur. Karena dana
yang terbatas, maka dari September sampai November 2012 lalu mereka mulai
beribadah di gereja induk. “HKBP Filadelfia kan gereja cabang, jadi ada gereja
induknya, tapi jauh dari sini. Soal jarak sudah tidak wajar lagi, saya harus
beribadah dengan jarak tempuh 45 menit naik motor,” ungkap Palti.
“Gereja terdekat memang ada di sekitar
sini, tapi kan berbeda alirannya, jadi tidak bisa serta merta saya bergabung
dengan mereka. Gereja di sekitar sini juga masih banyak yang di rumah dan ruko,
jadi masih terancam. Kalau kami ke sana, kami takut mereka juga akan dikejar
dan menjadi korban seperti kami,” lanjutnya menerangkan.
Hingga kini,
Palti dan jemaat HKBP Filadelfia terus memperjuangkan haknya untuk dapat
beribadah dengan tenang. “Saya sebagai warga negara Indonesia juga berhak untuk diperlakukan
setara dengan warga yang lain. Saya meminta supaya pemerintah tidak tunduk pada
tekanan-tekanan massa, tapi tunduk pada hukum dan konstitusi. Kalau ini tidak
diperjuangkan, akan bisa berdampak ke yang lain. Sehingga massa intoleran
merasa semakin benar dan kuat, sebab tidak ada tindakan tegas dari pemerintah.
Saya harus melawan ini!” kata Palti tegas.
*****
*Liputan untuk tulisan ini dilakukan pada November 2012. Tulisan ini pertama kali dipublikasikan pada pameran foto "In the Name of Faith" di Jogja Galerry, Yogyakarta, pada 8-10 Maret 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar