“Pemerintah sudah tidak menganggap kami, jadi kami menyimpulkan kalau yang bisa menyelesaikan masalah ini hanya kami
sendiri.”
oleh: Henry Adrian & Dody Andri
Serangan yang menimpa jemaat
Ahmadiyah di Dusun Sambielen, Desa Loloan, Kecamatan Bayan,
Kabupaten Lombok Barat terjadi pada tanggal 22 Juni 2001. Massa
penyerang yang berjumlah ratusan datang dengan membawa parang, batu, dan
dirigen berisi bensin.
![]() |
Syahidin berdiri di depan reruntuhan rumahnya di Dusun Ketapang, Desa Gegerung, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat. (Henry Adrian) |
Sebelum massa datang, jemaat Ahmadiyah sudah meninggalkan rumah mereka dan
bersembunyi. Hal ini
disebabkan karena sebelumnya mereka sudah mendapat peringatan dari seorang
jemaat Ahmadiyah yang mengetahui rencana penyerangan tersebut. Meski
begitu, seorang jemaat Ahmadiyah yang bernama Papuq Hasan menolak
untuk meninggalkan rumahnya.
“Biar saya mati, saya harus mati di sini, rumah saya ini biar dibakar,
biar habis, yang penting saya pertahankan mushola itu. Masak dia tega,
orang-orang yang datang itu kan kenal saya, mereka saudara saya, anak-anak saya juga,” ucap Hasan saat itu seperti ditirukan oleh Syahidin, seorang
jemaat Ahmadiyah yang waktu itu mengajak Hasan untuk meninggalkan rumahnya.
“Serbu! Allahu Akbar! Kafir!
Kafir! Ahmadiyah Kafir! Serbu!” teriak ratusan
orang yang datang menyerang. Mendengar
teriakan itu, Hasan pun langsung
menuju mushola untuk menghalau massa. Namun massa yang tak
menghiraukannya justru memukuli Hasan dengan kayu dan batu. Telinganya terkena
sabetan parang.
Hasan yang sudah berlumuran darah ahkirnya terjatuh dengan beberapa luka di tubuhnya.
Melihat suaminya dikeroyok massa, Inaq Ruqiah berusaha
menolongnya. Saat ia berlari,
salah seorang dari penyerang mengejarnya dan menusukan keris ke dada sebelah
kanannya dari arah
belakang. Inaq Ruqiah ditusuk sebanyak delapan kali hingga akhirnya jatuh dan tak sadarkan diri.
Di kebun yang berjarak 200 meter dari lokasi penyerangan, Syahidin bersama jemaat Ahmadiyah lainnya bersembunyi. Dari tempat itu, ia menyaksikan massa memasukan bebek ke dalam karung, mengambil piring, pipa, dan barang-barang lain. Setelah isi rumah telah habis dijarah, massa mulai membakar rumah.
Di kebun yang berjarak 200 meter dari lokasi penyerangan, Syahidin bersama jemaat Ahmadiyah lainnya bersembunyi. Dari tempat itu, ia menyaksikan massa memasukan bebek ke dalam karung, mengambil piring, pipa, dan barang-barang lain. Setelah isi rumah telah habis dijarah, massa mulai membakar rumah.
Setengah
jam setelah penyerangan, sekitar
jam setengah enam petang, massa mulai meninggalkan
perkampungan Ahmadiyah. Warga Ahmadiyah yang tadinya bersembunyi kembali
ke perkampungan untuk menengok rumah mereka. Di depan mushola, Syahidin melihat
Hasan yang kondisinya lemah mencoba untuk berdiri tetapi terjatuh lagi. Kepala
dan wajahnya penuh dengan darah. Hari itu juga Hasan menghembuskan nafas terakhirnya dalam perjalanan menuju
rumah sakit karena
kehabisan darah.
Inaq
Ruqiah, istri Hasan, ditemukan tergeletak di sebuah lapangan tak jauh dari rumahnya.
Ia ditemukan dalam keadaan bersimbah
darah. Walaupun sempat tak sadarkan diri selama tiga hari, namun
ia mampu bertahan hidup. Saat ini Inaq bekerja sebagai juru masak di Polda
Mataram.
Setelah api melahap habis rumah jemaat
Ahmadiyah, Syahidin dan 38 jemaat Ahmadiyah lainnya mengungsi di Kantor
Kecamatan Bayan. Setelah semalam tinggal di sana, Pengurus Jemaat Ahmadiyah Tingkat Daerah akhirnya memindahkan pengungsi ke rumah jemaat
Ahmadiyah yang berada di Medas, Lombok Timur. Hal ini disebabkan karena pengungsi tidak mendapat jaminan
keamanan selama
mengungsi di Kantor Kecamatan Bayan.
Kedatangan jemaat Ahmadiyah yang hendak
mengungsi di Medas tidak diterima oleh Kepala Desa Medas. Akhirnya malam itu
juga, pengurus Ahmadiyah langsung memindahkan pengungsi ke Pancor, Lombok Timur.
Seperti di Medas, Kepala Desa Pancor juga tak menghendaki kehadiran pengungsi
Ahmadiyah. Meski begitu, para pengungsi tetap dititipkan ke anggota-anggota
jemaat Ahmadiyah yang tinggal di sana selama semalam. Esok harinya, mereka
lantas dititipkan
di rumah-rumah warga Ahmadiyah yang ada di kota Mataram.
Setelah tinggal tiga
bulan di Mataram, beberapa pengungsi lantas pindah ke Empan, Sumbawa,
untuk memulai kehidupan
yang baru, sedangkan sisanya pindah ke Lombok Tengah dan
Lombok Timur. Namun, para pengungsi
yang pindah ke Empan ini hanya
mampu bertahan satu tahun di sana. Hal ini disebabkan karena mereka kembali diusir
oleh pemerintah setempat. Alasannya, masyarakat
Empan tidak bersedia menerima mereka.
Akhirnya para pengungsi ini kembali
lagi ke Mataram.
Pada 11 September 2002, penyerangan dan
pengusiran terhadap jemaat Ahmadiyah kembali dialami oleh 383 orang jemaat
Ahmadiyah yang tinggal di Pancor. Massa meluluhlantahkan lebih dari 80 rumah
milik jemaat Ahmadiyah. Bahkan, massa juga menjarah barang-barang milik jemaat
Ahmadiyah saat mereka mengungsi di Polres Lombok Timur.
Pengungsi dari Pancor menetap di Polres
Lombok Timur selama seminggu. Saat tinggal disana, pernah semua jemaat
Ahmadiyah dikumpulkan di Masjid. Setelah semua berkumpul, Kapolres lantas
memberikan tawaran pada mereka. “Siapa yang mau keluar dari Ahmadiyah akan
dipulangkan ke rumahnya, jika rumahnya sudah dibakar, akan dibangunkan rumah
baru dan diberi dana santunan!”
Salah satu dari jemaat Ahmadiyah lantas
menimpali tawaran Kapolres tersebut. “Siapa yang ingin tetap menjadi Ahmadiyah
silahkan berdiri dan yang ingin keluar dari Ahmadiyah silahkan duduk!” Hanya
dua orang yang memilih duduk, selebihnya memilih berdiri.
Setelah seminggu tinggal di Polres Lombok
Timur, para pengungsi tersebut lantas dipindahkan ke Asrama Transito di
Mataram. Transito adalah sebuah bangunan pemerintah yang didirikan pada tahun
1974 untuk calon transmigran yang akan dikirim ke luar pulau.
Kami bertemu dengan Syahidin saat
mengunjungi Transito pada 20 Februari 2012 lalu. Kini ia menjadi koordinator
pengungsi di Transito. Sebelum tinggal di Transito, Syahidin telah mengalami
delapan kali pengusiran. Pengusiran pertama terjadi saat ia tinggal di Sambi
Elen. Ia termasuk salah satu orang yang pindah
ke Empan, Sumbawa, namun terusir lagi dari sana.
Pada tahun 2004, organisasi Ahmadiyah
membeli sebuah perumahan BTN di Dusun
Ketapang, Desa Gegerung, Lingsar, Lombok Barat, seluas 1,6 hektar dan kemudian dijual
murah pada jemaat Ahmadiyah yang diusir dari Bayan, Pancor, dan Praya. Syahidin
merupakan salah satu jemaat Ahmadiyah yang membeli rumah tersebut. Ia membeli
rumah di BTN seharga 12,5 juta setelah menjual tanah warisan neneknya di Lombok
Tengah. Syahidin dan keluarganya pun mulai menata kehidupan lagi.
Dua tahun setelah tinggal di perumahan
BTN, Syahidin dan jemaat Ahmadiyah lainnya kembali mengalami penyerangan dan
pengusiran. Penyerangan yang terjadi pada 4 Februari 2006 tersebut menyebabkan 137 jemaat Ahmadiyah kembali
mengungsi. Peristiwa tersebut juga mengakibatkan enam rumah jemaat Ahmadiyah hangus
dibakar dan 18 rumah lainnya rusak
berat. Rumah Syahidin merupakan salah satu
rumah yang dibakar massa.
Syahidin mengaku jemaat Ahmadiyah berusaha
mempertahankan diri dengan melawan massa penyerang. Namun karena kalah jumlah,
beberapa jemaat Ahmadiyah yang berusaha mempertahankan diri dan rumahnya
terpaksa mundur. Akhirnya mereka hanya dapat menyaksikan massa mengambil
ternak, merusak, dan membakar rumah mereka. “Di sini katanya kota seribu
masjid, tapi kejahatannya justru berjuta-juta,” ucap Syahidin.
Jemaat Ahmadiyah yang mengungsi tidak
sempat menyelamatkan harta bendanya. Bahkan, seorang jemaat Ahmadiyah yang
kerap disapa Pak Haji hanya membawa sebuah foto. Menurutnya, hanya foto ini
yang berharga. Dalam foto ini terdapat potret dirinya sedang berdiri
berdampingan dengan Hadhrat Mirza Tahir Ahmad. Ia bertemu Khalifah
ke IV Ahmadiyah ini di Bali pada tahun 2000. Khalifah adalah pimpinan tertinggi
Ahmadiyah, seperti halnya Paus yang memimpin umat Katolik.
Para pengungsi dari perumahan BTN Ketapang
ini akhirnya dievakuasi ke Asrama Transito di Mataram. Di asrama yang terdiri
dari tiga buah bangunan berbentuk aula yang memanjang ke belakang ini mereka
tinggal. Mereka tinggal di dalam aula dan menggunakan tirai untuk menyekat
ruangan. Tirai yang dipakai beragam, ada yang dari spanduk partai, sarung,
kardus, dan kain bekas. Setiap keluarga menempati ruangan seukuran 3 x 2 meter
persegi. Di dalam ruangan yang kecil ini, tempat tidur dan dapur menjadi satu.
Dalam satu bangunan terdapat sekitar
sembilan bilik yang telah disekat. Penerangan hanya berasal dari jendela dan
ventilasi karena listrik hanya menyala di malam hari. Satu bangunan memiliki
satu lampu yang digunakan bersama-sama. Saat malam, biasanya anak anak belajar
di mushola.
Di dekat mushola terdapat enam kamar mandi
tanpa lampu, namun air selalu mengalir. Sebelumnya petugas PDAM sempat
memutuskan layanan air bersih sebanyak empat kali. Namun warga selalu
menyambungnya kembali. “Sekarang bapak putus, nanti setelah bapak pergi akan
saya cangkul dan sambung lagi. Kalau bapak putus, anak-anak di sini mau minum
apa?” ungkap Syahidin kepada petugas PDAM yang akan memutuskan layanan air bersih.
“Pemerintah sudah tidak menganggap kami, jadi kami menyimpulkan kalau yang
bisa menyelesaikan masalah ini hanya kami sendiri. Di sini kami merasa mengungsi di negeri sendiri. Di satu sisi kami bangga
karena setiap 17 Agustus merayakan kemerdekaan, namun di sisi lainnya
kita merasa belum bebas, belum merdeka. Padahal yang menciptakan lagu Indonesia Raya seorang jemaat Ahmadiyah, tapi kenapa kami diperlakukan
seperti ini,” jelas Basir, seorang mubaligh Ahmadiyah
yang tinggal di Transito.
Pada
awal mengungsi di Transito, anak-anak Ahmadiyah harus pindah ke sekolah yang
baru. Syahidin mengungkapkan jika beberapa dari mereka diperlakukan berbeda.
“Satu lembar rapor yang anak saya terima bertuliskan ‘Rapor Sementara Anak-Anak
Ahmadiyah’. Kenapa ada yang beragama Hindu, Kristen, dan agama lain tidak
dibegitukan juga?” ucap Syahidin. Pihak sekolah sendiri baru mengganti rapor
ini ketika banyak media massa mengekspos peristiwa tersebut.
Pada
2010, beberapa jemaat Ahmadiyah memutuskan membangun kembali rumah mereka di
Perumahan BTN yang dibakar dan dirusak massa saat penyerangan 2006 lalu.
Rumah-rumah itu mulai dibersihkan, batu-batu besar disingkirkan, atap
diperbaiki, dan genteng-genteng dipasang kembali.
Belum lama diperbaiki dan kembali dihuni,
sekitar seratus massa kembali menyerang perumahan tersebut pada 26 November
2010. Tiga rumah hangus dibakar, sisanya dirusak, bahkan ada yang diratakan.
Batu-batu besar dilemparkan dan beberapa tembok dirobohkan. Tidak ada korban
jiwa dalam penyerangan tersebut karena jemaat Ahmadiyah yang sebelumnya telah
mengetahui rencana penyerangan itu telah meninggalkan rumahnya.
Setelah serangan kedua ini, warga
Ahmadiyah kembali mengungsi ke Asrama Transito. Mereka kembali tinggal di
bilik-bilik sempit dengan penerangan seadanya. Tapi hanya di sinilah warga
Ahmadiyah aman.
“Kami di sini
menderita bukan karena politik, tapi karena keyakinan. Mudah-mudahan seperti
yang dinasehatkan Nabi Isa, jika kita menderita di jalan Tuhan, kita akan
mendapatkan Surga. Makanya di sini disebut emperan Surga, bukan Asrama
Transito,” ucap Nasirudin, mubaligh Ahmadiyah Lombok sembari tersenyum.
Pada 2011 lalu, jemaat Ahmadiyah di
Transito mendapat ‘pembinaan’ dari pemerintah. Pemerintah mengharapkan
pembinaan ini akan ‘mengembalikan’ jemaat Ahmadiyah ke Islam. ‘Pembinaan’ ini
diisi oleh perwakilan sejumlah organisasi Islam dan Tuan Guru. Tuan Guru adalah
sebutan bagi tokoh Islam berpengaruh di Lombok. Pembinaan yang dilakukan Tuan
Guru beragam, kadang ada yang moderat, kadang ada yang keras.
Pembinaan tersebut berlangsung selama enam
bulan dan baru berakhir pada Desember 2011 lalu. Tak satupun jemaat Ahmadiyah
di Transito yang ‘kembali’. “Kalau yang diucapkan Tuan Guru bahwa Ahmadiyah
memiliki syahadat lain, digaji, dan nabinya berbeda itu benar, mungkin kami
sudah keluar dari dulu!” tegas Syahidin mantap.
Setelah enam tahun berlalu, situasi di
Transito tak banyak berubah. Mereka tetap tinggal di ruangan yang disekat
dengan tirai seadanya. Meski hidup dalam pengungsian, tak terlihat raut
penderitaan dan keputusasaan dalam diri mereka. “Setiap orang yang mengatakan
dirinya beriman memang harus diuji,” ungkap Syahidin ketika kami bertanya
tentang apa yang membuatnya bertahan dari semua pengusiran dan penderitaan yang
dialaminya sebagai seorang jemaat Ahmadiyah.
*****
*Liputan untuk tulisan ini dilakukan pada Februari 2012. Tulisan ini pertama kali dipublikasikan pada pameran foto "In the Name of Faith" di Jogja Galerry, Yogyakarta, pada 8-10 Maret 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar