Pages

Selasa, 12 Maret 2013

Mengungsi di Negeri Sendiri

Pemerintah sudah tidak menganggap kami, jadi kami menyimpulkan kalau yang bisa menyelesaikan masalah ini hanya kami sendiri.

oleh: Henry Adrian & Dody Andri

Serangan yang menimpa jemaat Ahmadiyah di Dusun Sambielen, Desa Loloan, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Barat terjadi pada tanggal 22 Juni 2001. Massa penyerang yang berjumlah ratusan datang dengan membawa parang, batu, dan dirigen berisi bensin.

Syahidin berdiri di depan reruntuhan rumahnya di Dusun Ketapang, Desa Gegerung, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat. (Henry Adrian)

Seorang jemaat Ahmadiyah yang biasa disapa Pak Haji duduk di dalam kamarnya di Transito. Satu-satunya harta yang berhasil diselamatkannya sebelum rumahnya dihancurkan massa adalah potret dirinya yang sedang berdampingan dengan Hadhrat Mirza Tahir Ahmad, khalifah ke-empat Ahmadiyah. (Henry Adrian)
Seorang jemaat Ahmadiyah yang biasa disapa Pak Haji duduk di dalam kamarnya di Transito. Satu-satunya harta yang berhasil diselamatkannya sebelum rumahnya dihancurkan massa adalah potret dirinya yang sedang berdampingan dengan Hadhrat Mirza Tahir Ahmad (pojok kiri atas foto). (Henry Adrian)
Sebelum massa datang, jemaat Ahmadiyah sudah meninggalkan rumah mereka dan bersembunyi. Hal ini disebabkan karena sebelumnya mereka sudah mendapat peringatan dari seorang jemaat Ahmadiyah yang mengetahui rencana penyerangan tersebut. Meski begitu, seorang jemaat Ahmadiyah yang bernama Papuq Hasan menolak untuk meninggalkan rumahnya.
“Biar saya mati, saya harus mati di sini, rumah saya ini biar dibakar, biar habis, yang penting saya pertahankan mushola itu. Masak dia tega, orang-orang  yang datang itu kan kenal saya, mereka saudara saya, anak-anak saya juga, ucap Hasan saat itu seperti ditirukan oleh Syahidin, seorang jemaat Ahmadiyah yang waktu itu mengajak Hasan untuk meninggalkan rumahnya.
“Serbu! Allahu Akbar! Kafir! Kafir! Ahmadiyah Kafir! Serbu!” teriak ratusan orang yang datang menyerang. Mendengar teriakan itu, Hasan pun langsung menuju mushola untuk menghalau massa. Namun massa yang tak menghiraukannya justru memukuli Hasan dengan kayu dan batu. Telinganya terkena sabetan parang. Hasan yang sudah berlumuran darah ahkirnya terjatuh dengan beberapa luka di tubuhnya.
Melihat suaminya dikeroyok massa, Inaq Ruqiah berusaha menolongnya. Saat ia berlari, salah seorang dari penyerang mengejarnya dan menusukan keris ke dada sebelah kanannya dari arah belakang. Inaq Ruqiah ditusuk sebanyak delapan kali hingga akhirnya jatuh dan tak sadarkan diri.
Di kebun yang berjarak 200 meter dari lokasi penyerangan, Syahidin bersama jemaat Ahmadiyah lainnya bersembunyi. Dari tempat itu, ia menyaksikan massa memasukan bebek ke dalam karung, mengambil piring, pipa, dan barang-barang lain. Setelah isi rumah telah habis dijarah, massa mulai membakar rumah.
Setengah jam setelah penyerangan, sekitar jam setengah enam petang, massa mulai meninggalkan perkampungan Ahmadiyah. Warga Ahmadiyah yang tadinya bersembunyi kembali ke perkampungan untuk menengok rumah mereka. Di depan mushola, Syahidin melihat Hasan yang kondisinya lemah mencoba untuk berdiri tetapi terjatuh lagi. Kepala dan wajahnya penuh dengan darah. Hari itu juga Hasan menghembuskan nafas terakhirnya dalam perjalanan menuju rumah sakit karena kehabisan darah. 
Inaq Ruqiah, istri Hasan, ditemukan tergeletak di sebuah lapangan tak jauh dari rumahnya. Ia ditemukan dalam keadaan bersimbah darah. Walaupun sempat tak sadarkan diri selama tiga hari, namun ia mampu bertahan hidup. Saat ini Inaq bekerja sebagai juru masak di Polda Mataram.
Setelah api melahap habis rumah jemaat Ahmadiyah, Syahidin dan 38 jemaat Ahmadiyah lainnya mengungsi di Kantor Kecamatan Bayan. Setelah semalam tinggal di sana, Pengurus Jemaat Ahmadiyah Tingkat Daerah akhirnya memindahkan pengungsi ke rumah jemaat Ahmadiyah yang berada di Medas, Lombok Timur. Hal ini disebabkan karena pengungsi tidak mendapat jaminan keamanan selama mengungsi di Kantor Kecamatan Bayan.
Kedatangan jemaat Ahmadiyah yang hendak mengungsi di Medas tidak diterima oleh Kepala Desa Medas. Akhirnya malam itu juga, pengurus Ahmadiyah langsung memindahkan pengungsi ke Pancor, Lombok Timur. Seperti di Medas, Kepala Desa Pancor juga tak menghendaki kehadiran pengungsi Ahmadiyah. Meski begitu, para pengungsi tetap dititipkan ke anggota-anggota jemaat Ahmadiyah yang tinggal di sana selama semalam. Esok harinya, mereka lantas dititipkan di rumah-rumah warga Ahmadiyah yang ada di kota Mataram.
Setelah tinggal tiga bulan di Mataram, beberapa pengungsi lantas pindah ke Empan, Sumbawa, untuk memulai kehidupan yang baru, sedangkan sisanya pindah ke Lombok Tengah dan Lombok Timur. Namun, para pengungsi yang pindah ke Empan ini hanya mampu bertahan satu tahun di sana. Hal ini disebabkan karena mereka kembali diusir oleh pemerintah setempat. Alasannya, masyarakat Empan tidak bersedia menerima mereka. Akhirnya para pengungsi ini kembali lagi ke Mataram.
Pada 11 September 2002, penyerangan dan pengusiran terhadap jemaat Ahmadiyah kembali dialami oleh 383 orang jemaat Ahmadiyah yang tinggal di Pancor. Massa meluluhlantahkan lebih dari 80 rumah milik jemaat Ahmadiyah. Bahkan, massa juga menjarah barang-barang milik jemaat Ahmadiyah saat mereka mengungsi di Polres Lombok Timur. 
Pengungsi dari Pancor menetap di Polres Lombok Timur selama seminggu. Saat tinggal disana, pernah semua jemaat Ahmadiyah dikumpulkan di Masjid. Setelah semua berkumpul, Kapolres lantas memberikan tawaran pada mereka. “Siapa yang mau keluar dari Ahmadiyah akan dipulangkan ke rumahnya, jika rumahnya sudah dibakar, akan dibangunkan rumah baru dan diberi dana santunan!”
Salah satu dari jemaat Ahmadiyah lantas menimpali tawaran Kapolres tersebut. “Siapa yang ingin tetap menjadi Ahmadiyah silahkan berdiri dan yang ingin keluar dari Ahmadiyah silahkan duduk!” Hanya dua orang yang memilih duduk, selebihnya memilih berdiri.
Setelah seminggu tinggal di Polres Lombok Timur, para pengungsi tersebut lantas dipindahkan ke Asrama Transito di Mataram. Transito adalah sebuah bangunan pemerintah yang didirikan pada tahun 1974 untuk calon transmigran yang akan dikirim  ke luar pulau.
Kami bertemu dengan Syahidin saat mengunjungi Transito pada 20 Februari 2012 lalu. Kini ia menjadi koordinator pengungsi di Transito. Sebelum tinggal di Transito, Syahidin telah mengalami delapan kali pengusiran. Pengusiran pertama terjadi saat ia tinggal di Sambi Elen. Ia termasuk salah satu orang yang pindah ke Empan, Sumbawa, namun terusir lagi dari sana.
Pada tahun 2004, organisasi Ahmadiyah membeli sebuah perumahan BTN di Dusun Ketapang, Desa Gegerung, Lingsar, Lombok Barat, seluas 1,6 hektar dan kemudian dijual murah pada jemaat Ahmadiyah yang diusir dari Bayan, Pancor, dan Praya. Syahidin merupakan salah satu jemaat Ahmadiyah yang membeli rumah tersebut. Ia membeli rumah di BTN seharga 12,5 juta setelah menjual tanah warisan neneknya di Lombok Tengah. Syahidin dan keluarganya pun mulai menata kehidupan lagi.
Dua tahun setelah tinggal di perumahan BTN, Syahidin dan jemaat Ahmadiyah lainnya kembali mengalami penyerangan dan pengusiran. Penyerangan yang terjadi pada 4 Februari 2006 tersebut menyebabkan 137 jemaat Ahmadiyah kembali mengungsi. Peristiwa tersebut juga mengakibatkan enam rumah jemaat Ahmadiyah hangus dibakar dan 18 rumah lainnya rusak berat. Rumah Syahidin merupakan salah satu rumah yang dibakar massa.
Syahidin mengaku jemaat Ahmadiyah berusaha mempertahankan diri dengan melawan massa penyerang. Namun karena kalah jumlah, beberapa jemaat Ahmadiyah yang berusaha mempertahankan diri dan rumahnya terpaksa mundur. Akhirnya mereka hanya dapat menyaksikan massa mengambil ternak, merusak, dan membakar rumah mereka. “Di sini katanya kota seribu masjid, tapi kejahatannya justru berjuta-juta,” ucap Syahidin.
Jemaat Ahmadiyah yang mengungsi tidak sempat menyelamatkan harta bendanya. Bahkan, seorang jemaat Ahmadiyah yang kerap disapa Pak Haji hanya membawa sebuah foto. Menurutnya, hanya foto ini yang berharga. Dalam foto ini terdapat potret dirinya sedang berdiri berdampingan dengan Hadhrat Mirza Tahir Ahmad. Ia bertemu Khalifah ke IV Ahmadiyah ini di Bali pada tahun 2000. Khalifah adalah pimpinan tertinggi Ahmadiyah, seperti halnya Paus yang memimpin umat Katolik.
Para pengungsi dari perumahan BTN Ketapang ini akhirnya dievakuasi ke Asrama Transito di Mataram. Di asrama yang terdiri dari tiga buah bangunan berbentuk aula yang memanjang ke belakang ini mereka tinggal. Mereka tinggal di dalam aula dan menggunakan tirai untuk menyekat ruangan. Tirai yang dipakai beragam, ada yang dari spanduk partai, sarung, kardus, dan kain bekas. Setiap keluarga menempati ruangan seukuran 3 x 2 meter persegi. Di dalam ruangan yang kecil ini, tempat tidur dan dapur menjadi satu.
Dalam satu bangunan terdapat sekitar sembilan bilik yang telah disekat. Penerangan hanya berasal dari jendela dan ventilasi karena listrik hanya menyala di malam hari. Satu bangunan memiliki satu lampu yang digunakan bersama-sama. Saat malam, biasanya anak anak belajar di mushola.
Di dekat mushola terdapat enam kamar mandi tanpa lampu, namun air selalu mengalir.  Sebelumnya petugas PDAM sempat memutuskan layanan air bersih sebanyak empat kali. Namun warga selalu menyambungnya kembali. “Sekarang bapak putus, nanti setelah bapak pergi akan saya cangkul dan sambung lagi. Kalau bapak putus, anak-anak di sini mau minum apa?” ungkap Syahidin kepada petugas PDAM yang akan memutuskan layanan air bersih.
 Pemerintah sudah tidak menganggap kami, jadi kami menyimpulkan kalau yang bisa menyelesaikan masalah ini hanya kami sendiri. Di sini kami merasa mengungsi di negeri sendiri. Di satu sisi kami bangga karena setiap 17 Agustus merayakan kemerdekaan, namun di sisi lainnya kita merasa belum bebas, belum merdeka. Padahal yang menciptakan lagu Indonesia Raya seorang jemaat Ahmadiyah, tapi kenapa kami diperlakukan seperti ini, jelas Basir, seorang mubaligh Ahmadiyah yang tinggal di Transito.
Pada awal mengungsi di Transito, anak-anak Ahmadiyah harus pindah ke sekolah yang baru. Syahidin mengungkapkan jika beberapa dari mereka diperlakukan berbeda. “Satu lembar rapor yang anak saya terima bertuliskan ‘Rapor Sementara Anak-Anak Ahmadiyah’. Kenapa ada yang beragama Hindu, Kristen, dan agama lain tidak dibegitukan juga?” ucap Syahidin. Pihak sekolah sendiri baru mengganti rapor ini ketika banyak media massa mengekspos peristiwa tersebut.
Pada 2010, beberapa jemaat Ahmadiyah memutuskan membangun kembali rumah mereka di Perumahan BTN yang dibakar dan dirusak massa saat penyerangan 2006 lalu. Rumah-rumah itu mulai dibersihkan, batu-batu besar disingkirkan, atap diperbaiki, dan genteng-genteng dipasang kembali.
Belum lama diperbaiki dan kembali dihuni, sekitar seratus massa kembali menyerang perumahan tersebut pada 26 November 2010. Tiga rumah hangus dibakar, sisanya dirusak, bahkan ada yang diratakan. Batu-batu besar dilemparkan dan beberapa tembok dirobohkan. Tidak ada korban jiwa dalam penyerangan tersebut karena jemaat Ahmadiyah yang sebelumnya telah mengetahui rencana penyerangan itu telah meninggalkan rumahnya. 
Setelah serangan kedua ini, warga Ahmadiyah kembali mengungsi ke Asrama Transito. Mereka kembali tinggal di bilik-bilik sempit dengan penerangan seadanya. Tapi hanya di sinilah warga Ahmadiyah aman.
“Kami di sini menderita bukan karena politik, tapi karena keyakinan. Mudah-mudahan seperti yang dinasehatkan Nabi Isa, jika kita menderita di jalan Tuhan, kita akan mendapatkan Surga. Makanya di sini disebut emperan Surga, bukan Asrama Transito,” ucap Nasirudin, mubaligh Ahmadiyah Lombok sembari tersenyum.
Pada 2011 lalu, jemaat Ahmadiyah di Transito mendapat ‘pembinaan’ dari pemerintah. Pemerintah mengharapkan pembinaan ini akan ‘mengembalikan’ jemaat Ahmadiyah ke Islam. ‘Pembinaan’ ini diisi oleh perwakilan sejumlah organisasi Islam dan Tuan Guru. Tuan Guru adalah sebutan bagi tokoh Islam berpengaruh di Lombok. Pembinaan yang dilakukan Tuan Guru beragam, kadang ada yang moderat, kadang ada yang keras.
Pembinaan tersebut berlangsung selama enam bulan dan baru berakhir pada Desember 2011 lalu. Tak satupun jemaat Ahmadiyah di Transito yang ‘kembali’. “Kalau yang diucapkan Tuan Guru bahwa Ahmadiyah memiliki syahadat lain, digaji, dan nabinya berbeda itu benar, mungkin kami sudah keluar dari dulu!” tegas Syahidin mantap.
Setelah enam tahun berlalu, situasi di Transito tak banyak berubah. Mereka tetap tinggal di ruangan yang disekat dengan tirai seadanya. Meski hidup dalam pengungsian, tak terlihat raut penderitaan dan keputusasaan dalam diri mereka. “Setiap orang yang mengatakan dirinya beriman memang harus diuji,” ungkap Syahidin ketika kami bertanya tentang apa yang membuatnya bertahan dari semua pengusiran dan penderitaan yang dialaminya sebagai seorang jemaat Ahmadiyah.

                                                                                                               
*****


*Liputan untuk tulisan ini dilakukan pada Februari 2012. Tulisan ini pertama kali dipublikasikan pada pameran foto "In the Name of Faith" di Jogja Galerry, Yogyakarta, pada 8-10 Maret 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tweet Share